Islam telah lama menerapkan sistem demokrasi dalam segala lini kehidupan manusia. Sistem demokrasi tersebut bahkan sudah lahir jauh sebelum Amerika Serikat, negara yang hari ini disebut-sebut sebagai negara paling demokrasi di dunia, mendeklarasikan kemerdekaannya.
Hal inilah salah satu intisari yang disampaikan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Babul Maghfirah Aceh Besar, Ustaz Masrul Aidi Lc, dalam pengajian Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Aceh yang dihelat secara daring, dari ruang VIP Kantin SMEA Lampineung, Banda Aceh, Selasa malam (25/8/2020).
Sebelumnya pengajian KWPSI Aceh sempat berhenti beberapa waktu lantaran pandemi virus corona.
Pengajian yang dipandu oleh Dosi Elfian tersebut mengangkat tema “Pemerintah yang Berintegritas dalam Pandangan Islam”.
Dalam tausiahnya, Ustaz Masrul Aidi menyebutkan sengkarut kepemimpinan dalam sejarah Islam dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw. Saat itu, menurutnya, ada pergolakan politik antara kaum Anshar (Madinah) dengan kaum Muhajirin (Mekkah) untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah. Gara-gara kemelut politik tersebut membuat jenazah Rasulullah sempat tidak terurus selama tiga hari. Suksesi itu kemudian berakhir dengan terpilihnya Abubakar sebagai penerus kepemimpinan dalam Islam.
Padahal menurut Ustaz Masrul Aidi, sahabat Abubakar saat itu justru memilih Umar bin Khattab. Namun, setelah mempertimbangkan hadis nNabi, maka Abubakar ditetapkan sebagai pemimpin Islam masa itu.
Penunjukkan Abubakar sebagai pemimpin Islam untuk menggantikan Rasulullah berlangsung secara demokratis, tetapi tanpa pemilu. Abubakar sendiri terpilih secara aklamasi setelah mempertimbangkan hadis nabi bahwa pemimpin Islam itu berasal dari kaum Quraisy.
Hal ini berbeda ketika kepemimpinan Islam beralih kepada Saidina Umar lantaran adanya wasiat dari Abubakar. Meskipun demikian, Umar merasa tidak sepadan dengan jabatan yang diemban Rasulullah dan juga jauh dari layak sebagai khalifah seperti Abubakar. Sejak saat itu pemimpin Islam dikenal sebagai ‘amirul mukminin dengan sistem khilafah.
Namun, hal berbeda terjadi sepeninggal Umar. Di masa setelah kepemimpinan Umar, ada sistem baru dalam Islam untuk memilih seorang pemimpin dengan menyerahkannya kepada ahli-ahlinya. Sistem ini di zaman modern dikenal sistem parlementer atau perwakilan.
Sistem dinasti dalam kepemimpinan Islam baru terjadi kelak, setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib. Penggunaan sistem dinasti ini terjadi lantaran ijtihad untuk menghindari konflik internal dalam Islam.
Lebih lanjut, Masrul Aidi mengatakan, seorang pemimpin dalam Islam tidak boleh zalim, baik kepada manusia apalagi terhadap Allah Swt.
Dalam tausiahnya, ia juga menyebutkan bahwa sistem demokrasi dan kesetaraan gender pertama kali diperkenalkan oleh Islam. Menurutnya Islam telah mengangkat harkat dan martabat manusia jauh sebelum Christoper Columbus menemukan benua Amerika.
Terkait kesetaraan ras dan warna kulit tersebut dikisahkan Ustaz Masrul ketika Bilal bin Rabbah dipilih oleh Rasulullah sebagai muazin. Saat itu pemilihan Bilal sebagai muazin sempat dipertentangkan karena faktor warna kulit dan berasal dari budak. Hal inilah yang membuat Rasul mengatakan bahwa semua manusia itu diciptakan oleh Allah dari Adam, “Dan Adam Allah jadikan dari tanah.”
Anehnya, saat ini banyak yang menganggap sistem demokrasi dalam Islam sudah ketinggalan zaman. Ini pula yang membuat kita cenderung “berkiblat” ke Amerika Serikat sebagai pelopor demokrasi dunia, yang bahkan mereka sendiri belum selesai dengan persoalan demokrasinya.
“Mereka masih mempersoalkan Mohammad Ali yang kulit hitam karena menjuarai tinju olimpiade pada waktu itu. Kemudian menjadi polisi dunia untuk mengatur-atur demokrasi itu dengan standar mereka (AS),” kata Ustaz Masrul Aidi.
Begitu pula dengan pola demokrasi yang dibangun oleh Indonesia ketika hanya memiliki tiga partai, kemudian berubah menjadi banyak partai lantaran desakan barat. Padahal, kata Masrul, Amerika Serikat yang menganjurkan banyak partai dalam setiap pemilihan umum hingga saat ini hanya memiliki dua partai.
“Kita diprovokasi menerima perempuan untuk menjadi presiden, tetapi mereka menolak Hillary Clinton untuk menjadi presiden dan lebih memilih Donald Trump,” kata Ustaz Masrul Aidi.
Ustaz Masrul Aidi juga menyentil soal sistem pemilihan langsung yang diperkenalkan oleh Amerika Serikat kepada dunia. Terkait sistem ini kemudian juga dipakai oleh Indonesia dalam setiap pemilihan presiden dan pemimpin daerah. Namun, yang menjadi masalah sekarang adalah administrasi negara sendiri masih tidak rapi.
Hal ini jauh berbeda dengan sistem yang diperkenalkan oleh Islam, di mana secara administrasi, binatang saja sudah terdata. Pendataan itu diperlukan karena dalam Islam adanya ibadah kurban, akikah, diyat, dan dam. Untuk pelaksanaan ibadah tersebut ada ketentuan usia hewan yang akan dikurbankan atau akikah.
“Seperti kambing dan lembu harus berusia dua tahun, serta unta berusia lima tahun. Pertanyaannya dari mana kita tahu usia lembu itu dua tahun? Harus ada akte kelahiran, itu dalam Islam. Islam itu dari 14 abad yang silam, sudah mengharuskan binatang itu sudah memiliki akte kelahiran,” kata Ustaz Masrul Aidil sembari tersenyum.
Sistem dan administrasi kenegaraan tersebutlah yang membuat pola demokrasi dalam Islam lebih baik. Hal ini, menurutnya berbanding terbalik dengan kondisi administrasi negara saat ini yang belum baik. Tentunya dengan kondisi administrasi negara yang belum baik tersebut membuat sistem pemilihan pemimpin secara langsung patut dipertanyakan.
Begitu pula dengan sistem calon independen yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, di setiap pemilihan. Ada kekhawatiran dari Ustaz Masrul Aidi jika seseorang yang memiliki akses modal dapat mencalonkan diri sebagai pemimpin.
“Maka sekarang pemimpin tidak lagi lahir dari perjuangan keberpihakan kepada masyarakat, pemimpin sekarang hanya lahir dari perjuangan kampanye. Siapa yang berdarah-darah dalam kampanye dengan timsesnya membentuk sebuah citra dalam masa kampanye itulah yang berhasil, itulah yang membuat rusak,” pungkas Ustaz Masrul.[]
Editor : Ihan Nurdin