ACEHTREND.COM,Jakarta- Di ujung pekan terakhir Agustus 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), membuat Nusantara nyaris bahagia. Bahkan sebagian kelompok diskusi ekonomi di Aceh hampir tak sabar membuat kenduri sie iték sembari diskusi perihal “industri ganja”. Kegembiraan itu wujud dari rasa syukur setelah SYL menetapkan tanaman cannabis sativa sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.
Walau baru heboh pada Sabtu (29/8/2020), sesungguhnya SYL sudah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari lalu.
Dalam Kepmen tersebut ganja masuk dalam lampiran jenis tanaman obat yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura.
Total ada 66 jenis tanaman obat yang dibina Ditjen Hortikultura. Selain ganja, jenis tanaman obat lain yang dibina antara lain kecubung, mengkudu, kratom, brotowali, hingga purwoceng.
Komoditas binaan Kementerian Pertanian meliputi komoditas binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Begitulah bunyi diktum kesatu Kepmen Komoditas Binaan yang diunduh dari laman Kementerian Pertanian.
Dalam diktum kelima Direktur Jenderal dalam menetapkan komoditas binaan dan produk turunannya sebagaimana dimaksud dalam diktum keempat harus berkoordinasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Direktorat Jenderal teknis Lingkup Kementerian Pertanian, pakar/perguruan tinggi, dan Kementerian/Lembaga.
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Demikian bunyi diktum ketujuh.
Tapi, ibarat pepatah Melayu : Belum tumbuh sudah disiangi. Belum pun diwacanakan lebih jauh, masuknya ganja ke dalam daftar komunitas binaan Kementan, segera menuai persoalan. Apalagi ganja selama ini masuk dalam jenis narkotika golongan I menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
UU Nomor 35/2009 juga melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I.
Setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan narkotika golongan I diancam hukuman pidana penjara hingga maksimal seumur hidup atau hukuman mati. Sementara bagi penyalahguna narkotika golongan I diancam pidana paling lama 4 tahun.
SYL seperti menubruk tembok. Karena dengan UU tersebut selama ini aparat hukum gilang gemilang melakukan operasi pemusnahan ganja di seluruh Nusantara. Walau hal yang tidak dapat dipungkiri juga, semakim diberantas, perkebunan ganja tumbuh bak cendawan di musim hujan. Terus ada dan seakan tidak akan pernah berakhir.
Akhirnya, dalam hitungan jam setelah Kepmentan itu viral, Syahrul Yasin Limpo mencabut aturan yang ia buat dalam Kepmentan RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang di dalamnya menyatakan ganja sebagai tanaman obat binaan Dirjen Hortikultura.
SYL mengatakan bahwa pihaknya akan mengkaji dengan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional RI (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder (pemangku kepentingan) terkait,” Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha dalam keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (29/8/2020).
Dengan dicabutnya Kepmentan tersebut, sejumlah pihak menilai bila peraturan tersebut lahir prematur. SYL tidak berkomunikasi dengan lintas sektor yang selama ini getol menyampanyekan bila ganua merupakan benda haram yang dilarang.
Dari berbagai sumber.
Komentar