ABU DOTO–panggilan akrab Zaini Abdullah–lama tak muncul ke permukaan publik setelah tidak lagi menjadi Gubernur Aceh. Namun, di akhir Agustus 2020 ini, mantan orang nomor satu di Aceh itu muncul dengan membuat kejutan. Ya, bukan sekadar muncul, tetapi ia hadir untuk meluncurkan buku biografinya berjudul Abu Doto: Perjuangan Tanpa Akhir.
Biografi ini ditulis oleh duet jurnalis Aceh Mohsa El Ramadan dan Mujahid Ar Razi. Keduanya merupakan penggawa situs berita kba.one. Sebagai tanda bahwa kisah hidupnya siap untuk “dikonsumsi” publik, Doto Zaini pun meluncurkan buku biografi tersebut dengan mengambil momentum bulan Agustus yang memang memiliki arti khusus bagi rakyat Aceh. Tak terkecuali bagi Abu yang memang menjadi bidan di balik lahirnya perdamaian Aceh yang ditandai dengan perjanjian damai pada 15 Agustus 2005. Seremoni acara ini berlangsung di Hotel Kyriad, Banda Aceh, Senin (31/8/2020).
Mengenakan setelan batik, Doto Zaini tiba di Aula Sigli Hotel Kyriad sekitar pukul 10.30 WIB. Ia didampingi adiknya Hasbi Abdullah–mantan ketua DPRA–dan adik iparnya Ustaz Muzakir. Di usianya yang sudah 80 tahun, Abu Doto masih terlihat bugar. Sebelumnya, sejumlah undangan tampak telah hadir, di antaranya mantan kepala Dinas Syariat Islam Prof Syahrizal Abbas, mantan kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh Nasir Dzalba, mantan kepala Bappeda Prof Abubakar A Karim, mantan petinggi GAM Yahya Muaz, dan para awak media. Acara ini memang tidak banyak mengundang orang karena pertimbangan protokol kesehatan.
Tak lama berselang, acara pun dimulai dan dipandu oleh Akhiruddin. Doto Zaini selaku penulis langsung mengambil tempat yang sudah disiapkan khusus untuk pembicara. Begitu juga dengan Mohsa El Ramadan mewakili penulis dan Hasbi Abdullah mewakili pihak keluarga.
Mohsa El Ramadan dalam kesempatan itu mengatakan, kisah hidup Doto Zaini menarik ditulis dan layak dibukukan untuk melengkapi literatur sejarah Aceh terutama terkait sepak terjang tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka. Pascadamai kata Ramadan, ada beberapa tokoh GAM yang kisah hidupnya telah ditulis baik dalam bentuk biografi maupun autobiografi. Dari cerita-cerita itulah tersingkap bagaimana peran tokoh-tokoh tersebut dalam menggerakkan organisasi GAM selama puluhan tahun.
“Selama rentang 40 tahun ke belakang sejak kehadirannya, Aceh Merdeka menjadi perbincangan. Tak hanya secara nasional dan regional, dunia ikut membicarakan kelompok perlawanan tersebut,” katanya.
Namun, meskipun satu per satu tokoh-tokoh GAM muncul ke publik, tetapi kisah hidup dan kiprah mereka hanya diketahui secara sepenggal-sepenggal melalui literatur di media massa yang terbatas. Oleh karena itu, buku-buku seperti ini penting sekali ditulis untuk melengkapi penggalan-penggalan kisah yang sebelumnya sudah ada.
Setidaknya kata Ramadan, ada tiga hal yang menarik terkait perjalanan hidup Abu Doto, yaitu pada masa pergolakan DI/TII, Prang Cumbok, dan Aceh Merdeka. Semua kisah itu dirangkum dalam tiga bagian, yaitu pada masa belia Abu Doto, masa-masa berjuang dengan GAM, dan masa-masa dirinya menakhodai Pemerintah Aceh sebagai gubernur yang merekam banyak prestasi. Semua itu terangkum ke dalam lima belas bab.
“Porsi terbesar buku ini berisi pencapaian saat Abu Doto menjadi gubernur. Salah satunya proyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman yang diperindah dengan payung seperti di Masjid Nabawi dan area parkir bawah tanah. Selain itu juga menceritakan kiprahnya dalam mengubah Bak Aceh menjadi Bank Aceh Syariah dan upaya Abu ‘mengislamkan’ sistem perbankan di Aceh,” kata Ramadan.
Berawal dari Permintaan Jusuf Kalla

Abu Doto barangkali sebelumnya tak pernah menyangka apabila kisah hidupnya akan dikemas demikian apik hingga menjadi sebuah buku. Selain karena permintaan dari para sejawat dan jurnalis (Mohsa El Ramadan), yang membuat Abu Doto semakin teguh untuk membuat buku ialah karena permintaan Jusuf Kalla.
“Yang paling berkesan saat saya jumpa Pak JK, beliau bilang ‘Doto Zaini tulis buku’ sehingga saya bulat dan teguh menulis buku ini,” katanya.
Jusuf Kalla mengamini pernyataan tersebut. Ia mengatakan jika dirinya dan Abu Doto tetap menjalin komunikasi untuk membicarakan mengenai perkembangan Aceh walaupun dirinya sudah tidak lagi sebagai wakil presiden.
“Dengan deretan pengalaman empirik yang dimilikinya itu, sayalah yang menyarankan agar Zaini Abdullah menulis buku,” kata JK sebagaimana termaktub dalam sambutannya di dalam buku ini.
Buku inilah kata JK, kelak akan menjadi ‘penyambung lidah’ dari rentetan sejarah yang dilalui seorang Zaini Abdullah agar tidak menjadi tuturan belaka dari mulut ke mulut, “yang pada gilirannya pelan-pelan akan hilang ditelan masa.”
Abu Doto bercerita, jika ketertarikannya pada perjuangan bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, tetapi telah tumbuh sejak ia masih belia. Sejak kecil ia telah terpanggil.
“Ini karena darah tentunya. Ayah saya Abdullah Hanafiah dekat sekali dengan Hasan di Tiro yang saya panggil paman,” katanya.
Ia juga mengatakan, apa pun yang ia ceritakan dalam buku ini merupakan fakta sejarah, meskipun tak semuanya bisa diceritakan dengan baik karena faktor ingatan, terutama kisah-kisah yang berkaitan dengan masa kecilnya. Namun, ia menggarisbawahi, semua fakta yang ada di dalam buku ini bukanlah untuk mengungkit masa lalu, melainkan menjadi iktibar untuk masa depan.
“Semoga kehadiran buku ini menambah khazanah sejarah kita untuk berpikir, oleh kita untuk kita, supaya tercapai apa yang diinginkan rakyat dan pemimpin,” katanya.

Hal lain yang diceritakan Abu Doto dalam peluncuran buku ini ialah bagaimana ia selaku kepala pemerintahan di Aceh pada masanya terus mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat Aceh sebagai estafet perjuangan sebelumnya. Ia mencontohkan Buloh Seuma di Aceh Selatan yang selama puluhan tahun belum merasakan “kemerdekaan” dalam hal pembangunan.
Cerita tentang Buloh Seuma ini sangat berkesan bagi Doto Zaini atas keberhasilannya membuka jalan darat sebagai akses transportasi utama mereka. Selaku gubernur Aceh saat itu ia telah datang ke Buloh Seuma untuk melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat di sana.
“Sebelumnya mereka itu sangat terisolir, kalau mau ke Trumon harus lewat laut dan itu sangat berbahaya dan berisiko tinggi. Sekarang mereka sudah punya akses jalan darat.”
Kini Abu Doto memang sudah bukan lagi menjadi gubernur Aceh. Meminjam istilah yang dilontarkan Doto dalam forum tersebut, saat ini ia sedang menghabiskan sisa waktunya di usia yang sudah “bakda Isya”. Namun, seperti judul buku biografinya perjuangan itu masih tanpa akhir.[]