Oleh Muhibuddin Hanafiah*
Bang Qusaiyen, begitu sebagian kami menyapanya, telah wafat pada Jumat, 28 Agustus 2020, sekitar pukul 19.30 WIB di Rumah Sakit Meuraxa Banda Aceh. Namun, bagi saya pribadi dan kami para sahabat serta koleganya di UIN Ar-Raniry merasakan beliau seperti masih hidup dan masih hadir dalam ingatan dan lubuk hati kami. Saat menerima kabar via medsos atas kewafatannya, banyak di antara kami yang tidak percaya. Sebab baru tiga hari sebelumnya masih berkomunikasi dan sehari setelah itu kami mendapatkan kabar beliau dirawat di rumah sakit.
Beliau adalah kakak kelas (senior) kami semasa kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry sekitar tahun 1990-an. Pertama kali saya mengenal beliau saat kami masih sama-sama aktif di Lembaga Pengembangan Bahasa (LDC) IAIN Ar-Raniry. Kala itu saya mengikuti kursus bahasa Arab dan Inggris, sedangkan beliau justru telah menjadi staf pengajar di sana. Status kami baru setara ketika sama-sama menjadi peserta SPU (Study Purna Ulama) masih di LDC sekitar tahun 1995. Bisa dikatakan saat itu waktu keseharian beliau didedikasikan pada pengembangan bahasa calon tenaga pengajar muda yang baru lulus pendidikan sarjana.
Keakraban berlanjut saat kami sama-sama aktif dalam sebuah kegiatan latihan bela diri tenaga dalam “Jara” yang latihannya sore hari, tiga kali dalam seminggu dan terkadang malam hari. Di sini lagi-lagi saya menjadi muridnya, sedangkan beliau adalah “suhu” atau sang guru. Menjadi tambah akrab ketika sama-sama sebagai mahasiswa Program Magister Agama di Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dengan beasiswa penuh dari Kementerian Agama RI tahun 1997.
Semasa kuliah S2 tersebut, kami tinggal di asrama mahasiswa di kompleks pascasarjana. Di sini kami bertambah-tambah akrab karena selalu menyelesaikan tugas kuliah bersama, berdiskusi hingga larut malam, berburu buku ke pustaka, berada dalam satu unit kelas kuliah. Paling berkesan lagi saat saya sering diajak ke rumahnya di Lambaro Sukon Siem. Di sana saya diperlakukan seperti adik kandungnya, makan dengan apa yang ada di rumah beliau. Dan yang paling memorial lagi adalah saat beliau menawarkan seorang gadis dari keluarga dekatnya untuk menjadi calon istri saya. Namun, sepertinya saat itu kami belum jodoh sehingga rencana beliau itu tidak berlanjut. Tidak saja saya yang beliau sering dibantu, bahkan semua mahasiswa perantau dari luar Aceh saat itu mendapatkan sentuhan tangan beliau tentang apa saja yang mereka butuhkan. Beliau sangat welcome terhadap saudaranya sesama muslim tanpa memandang daerah asal.
Saat kami masih kuliah di pascasarjana, asrama kedua kami adalah rumah beliau di Lambaro Sukon itu. Saat itu di rumahnya hanya didiami oleh sang ibu yang telah tua, tampaknya Bang Qusaiyen merupakan anak bungsu, ayahnya almarhum Tgk Aly as-Su’udi atau Abucut Ali–nama akrab di masyarakat. Tgk Ali as-Su’udi adalah sepupu atau anak paman Tgk Hasan Krueng Kalee (Tgk Su`ud bin Abbas). Abucut Li adalah guru dan pengurus Dayah Meunasah Blang Siem (dayah pertama sebelum ada dayah di Krueng Kalee). Saya tidak tahu banyak tentang keluarga beliau, kecuali beberapa keturunan dari ulama besar dan kharismatik Aceh itu. Di antaranya seperti Tgk H Waisul Qarani Aly dan Tgk Shalahuddin al-Fata (keduanya abang kandung Bang Qusaiyen), Tgk Muhammad Faisal dan Tgk Musannif (Pimpinan dayah Darul Ihsan Siem sekarang), serta Ibu Siti Khasinah (dosen Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry). Saya yakin masih banyak lagi anggota keluarga Bang Qusaiyen yang masih hidup dan merupakan tokoh penting di Aceh sekarang.

Seiring dengan kemajuan perangkat komunikasi modern, smartphone telah menjadi media penghubung dalam pergaulan dengan beliau dalam keseharian. Disebabkan masing-masing kami memiliki kesibukan tugas di kampus sehingga sudah terbilang jarang bertemu langsung dengan beliau, walaupun kami masih satu fakultas di Tarbiyah. Sebagai dosen dengan tugas tambahan, beliau lebih instens dalam rutinitas kegiatan akademik di fakultas, khususnya di Prodi Bahasa Arab, dan sesekali di lembaga pengembangan bahasa (LDC). Ditambah lagi dengan kegiatan sosial-keagamaan yang setahu saya sangat jarang beliau tidak terlibat.
Beliau juga dipercaya oleh Pemerintah Arab Saudi sebagai mediator program-program pendidikan dan kerja sama di Aceh. Selain itu beliau juga menjabat sebagi pimpinan Dayah Darul Ihsan di bawah Yayasan Tgk Haji Hasan Kruengkale. Paling hanya sesekali bertemu tanpa direncanakan seperti di tempat finger print Fakultas Tarbiyah sebelum pandemi Covid -19 ini mewabah. Ketika itu beliau sering bepergian bersama istri yang mendampingi beliau disebabkan saat itu masih dalam kondisi kurang sehat.
Ketika bertemu di tempat finger print fakultas, beliau selalu menegur dan saling bertanya kabar. Tidak jarang menyampaikan nasihat singkat dengan penuh keakraban. Satu yang unik dari beliau adalah ketika bersalaman nyaris selalu diiringi dengan berangkulan sebagai gaya khas simbol persahabatan. Beliau memanggil kami yang lebih junior darinya dengan sebutan “dek”. “Dek, paken sengap that lawet nyoe, hana meupue ye, tuleh laju (Dek, kenapa diam sekali akhir-akhir ini, jangan takut, tulis saja),” ujar beliau suatu waktu. Beliau selalu memotivasi saya untuk menyampaikan kebenaran atau kritik konstruktif terhadap ketimpangan yang terjadi di kampus. Karena beliau tahu bahwa saya terkenal aktif mengkritisi kebijakan pimpinan di kampus. Kemudian akhir-akhir ini saya mencoba jeda sesaat lantaran melihat kondisi yang kurang kondusif.
Sebagai putra daerah, cucu ulama besar, tumbuh dan besar dalam keluarga terpandang, dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, tidak membuat beliau sombong dan menjaga jarak dengan mahasiswa pendatang seperti kami. Beliau sangat rendah hati, suka membantu apa saja dan siapa saja yang memerlukan bantuan. Mulai dari bantuan ekonomi (pinjaman uang), referensi bacaan (kitab), penghubung tempat kos mahasiswa, administrasi akademik di kampus, serta peminjaman fasilitas transportasi (motor). Bahkan sebagai mahasiswa dengan status anak kos yang tidak menentu makan-minumnya, beliau selalu membawa kami makan siang di rumahnya. Sungguh persahabatan yang sangat tulus dan tidak pandang bulu telah beliau terapkan sepanjang hidupnya. Postur badan yang tegap berisi dengan tinggi yang ideal menjadikan beliau guru ilmu bela diri yang disegani oleh orang-orang yang hendak mengganggu mahasiswa perantau seperti kami yang tinggal di sekitar Kopelma Darussalam.
Akhir-akhir ini atau tiga bulan sebelum berpulang, kami berkomunikasi sangat instens melalui media sosial seperti Facebook dan WhatsApp. Dalam kasus pemagaran jalan di dalam kampus Kopelma Darussalam oleh Unsyiah, selaku putra daerah dan dari civitas akademika yang berasal tokoh masyarakat Darussalam, ia merasa sangat marah terhadap sikap sepihak tersebut. Beliau sangat aktif mengampanyekan perlawanan terhadap tindakan yang main hakim sendiri di tanah Kopelma Darussalam tersebut. Dalam konteks ini kami sangat sependapat dan sepaham untuk menolak dan melawan tindakan aneksasi tanah Kopelma Darussalam oleh Unsyiah. Sementara itu dalam kasus sosialisasi (share) berita-berita tentang ajakan mewaspadai bahaya virus korona dan jumlah korban Covid-19 serta siapa saja yang telah meninggal, beliau tidak setuju jika korban disebut identitasnya secara vulgar, padahal cukup menyebut inisialnya saja. Karena menurut beliau akan membuat kesedihan keluarga korban dan membawa dampak yang kurang etis terhadap sisi kemanusiaan korban dan keluarga.
Walaupun hubungan saya dengan beliau sebagai sahabat sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak jarang di antara kami kerap terjadi perbedaan pendapat. Namun, perbedaan itu tersampaikan secara bijak dan santun serta masih saling menghargai. Perbedaan itu sering mencuat di media sosial ketika saya memposting isu-isu yang sedikit mengkritisi kelompok masyarakat tertentu yang kebetulan tergolong kepada kelompok masyarakat beliau, maka dengan spontan beliau merespons dengan tangapan yang begitu keras. Karena saya tahu karakter beliau bukan tipe pendendam, maka sesegera mungkin saya inbox beliau untuk meluruskan postingan tersebut. Setelah berbalas pantun di medsos beliau seperti biasa lagi seperti tidak terjadi apa-apa di antara kami. Kami beralih ke topik yang lebih soft dan menghindari postingan yang menimbulkan kegaduhan sosial. Demikian juga jika ada postingan teman atau kolega di kampus yang kurang beliau senangi, maka dalam waktu yang tidak lama beliau menjapri saya untuk mengutarakan pandangannya tentang masalah tersebut.
Terakhir saya berjumpa dengan beliau secara luring kira-kira seminggu yang lalu di kedai buah-buahan depan Kampus Tgk Chiek Pantekulu. Beliau mengendari motor sendirian entah dari mana hendak pulang ke kediamannya di Lam Duroe, Tungkop, Aceh Besar. Saat itu beliau menegur saya yang kebetulan usai membeli buah-buahan di sana. Ketika itu saya bersama anak laki-laki kedua saya. Saya masih sangat ingat ketika beliau menanyakan apakah ini anak sulung saya? Saya katakan, “Bukan Bang, ini anak ketiga.” Beliau sedikit heran, sebab dalam bayangan beliau anak-anak saya belum sebasar seperti sekarang. “Masya Allah lagei awak Turki lagoe, Dek” (agak kebulean; tinggi dan berkulit putih). Ekspresinya waktu itu sangat gembira, senang dan penuh semangat. Saya menilai beliau sangat ceria dan bugar sebagaimana lazimnya setiap kami bertemu. Bawaannya selalu penuh semangat dan senyum semringah serta menampilkan kesan keakraban yang luar biasa. Itulah kepribadian beliau sehari-hari dengan siapa pun tanpa membeda-membedakan.
Kini engkau telah mendahului kami. Namun, masih banyak kisah di antara kita yang masih selalu hadir di sini. Fisikmu memang tidak di alam fana ini lagi, tetapi kebaikanmu masih melekat kuat di relung dada kami. Jerih ikhlasmu, ringan tanganmu dalam membantu, pemaafmu yang begitu terbuka, rangkulan tangan dan pelukan persahabatanmu yang kukuh, tegur sapa dan keramahtamahanmu yang tiada membeda-bedakan. Kami semua yakin Allah lebih sayang kepadamu dari kami semua. Pulanglah sahabat karena Allah telah menantimu di syurga-Nya dengan segala kenikmatan yang telah Allah siapkan untuk amal salehmu. Insya Allah.
Kami telah ikhlaskan engkau pergi mendahului kami, tiada cela sedikit pun yang engkau tinggalkan pada kami. Maafkan saya bila selama ini melukai perasaanmu dalam berkomunikasi yang terkadang menyentuh hal-hal yang menurutmu tidak pantas. Sekali lagi maafkan saya duhai sahabat. Sekali lagi, selamat jalan, selamat bertemu dengan Tuhanmu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadilah dirimu sebagai hamba-Nya, masuklah ke dalam syurga-Nya dengan tenang dan damai duhai saudaraku.[]
Kopelma Darussalam, 30 Agustus 2020
*Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Editor : Ihan Nurdin