ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Idekonomi yang menaruh fokus pada kajian dan diskusi ekonomi mengangkat topik stunting dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, serta bagaimana kebijakan pemerintah dalam penyediaan fasilitas kesehatan bagi perempuan menjadi salah satu alternatif penting untuk menekan angka stunting di Indonesia.
Kegiatan yang dikemas dalam podcast tersebut menghadirkan Anda Sapardan, Co-Founder Sehati & TeleCTG, sebuah perusahaan teknologi di bidang kesehatan yang fokus menyediakan wadah untuk mendeteksi secara dini faktor resiko yang mempengaruhi kematian ibu dan bayi, serta mencegah stunting sedari dini. Selain itu, Idekonomi juga menghadirkan Syarifah Liza Munira, Research Fellow di Bidang Ekonomi Kesehatan di Australian National University.
Anda menyampaikan bahwa stunting atau dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai ‘tengkes’ merupakan terjadinya kegagalan pertumbuhan linear pada awal kehidupan anak karena kekurangan gizi.
“Stunting berbahaya karena meningkatkan morbiditas dan mortalitas, jadi ada penyakit dan kematian. (Stunting) juga menurunkan kapasitas fisik, pertumbuhan saraf, dan naiknya risiko penyakit metabolisme di saat dewasa nanti. Dan secara umum, stunting ini juga menunjukkan adanya ketimpangan pelayanan kesehatan anak,” kata Anda melalui siaran pers yang diterima aceHTrend Rabu (2/9/2020).
Pencegahan stunting perlu mempertimbangkan pentingnya menjaga kesehatan anak di 1.000 hari pertama kehidupan (1000 HPK). Anda menyampaikan bahwa pencapaian 1000 HPK ini memiliki keterkaitan yang kuat dengan peran perempuan.
“1000 HPK dimulai dari masa konsepsi, jadi bukan saat anak itu lahir, hingga umur 2 tahun. Menurut Pediatric International, 1000 HPK ini menjadi masa penting untuk melakukan intervensi. Misal, di saat kandungan itu (ibu hamil) dapat mendeteksi risiko-risiko yang menyebabkan anak itu stunting, itu akan sangat baik dan menjadi upaya preventif,” ujar Anda.
Anda melanjutkan dengan menyampaikan bahwa 40% dari pertumbuhan otak dan sel anak itu dimulai dalam rahim. Sehingga, kualitas manusia yang juga menjadi penting untuk pemanfaatan bonus demografi Indonesia juga penting untuk menjaga kualitas masa-masa 1000 HPK tersebut.
“Pada 2045, (baiknya) kita melihat bonus demografi ini juga sebagai dividen demografi. Sehingga itu bisa menjadi bonus atau bisa menjadi beban (bagi Indonesia). Kalau penduduknya banyak, tapi kualitasnya tidak baik, itu kan menjadi beban, ya,” menurut Anda.
Dengan begitu besarnya peran perempuan dalam menjaga kualitas 1.000 HPK tersebut, nyatanya banyak tantangan yang meliputi perempuan untuk menjaga kualitas di 1.000 HPK, atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Namun, Anda menyampaikan bahwa penyelesaian tantangan tersebut tidak hanya bisa diserahkan kepada perempuan.
“Anak itu kan bukan cuman Ibunya saja yang bertanggung jawab, karena bapak juga ikut membuat. Kalau menurut saya yang harus disadari pertama adalah bahwa keputusan memiliki anak itu merupakan sebuah investasi yang besar. Pada saat tersebut, orang tua sedang membuat ‘mahakarya’ di dalam perut ibu, sehingga butuh (dukungan) yang terbaik,” ujar Anda.
Tantangan-tantangan hadir secara internal, seperti kurangnya awareness dan juga banyaknya perempuan yang masih belum memiliki hak atas tubuhnya sendiri misalnya ditemukannya sebagian perempuan yang belum bisa mengambil keputusan karena ketergantungan finansial dari keluarganya atau juga dari aspek sosial budaya yang mendorong kehamilan di saat perempuan tersebut belum tentu ingin hamil. Semua ini dapat memengaruhi bagaimana cara perempuan tersebut menjaga kandungannya. Dari sisi eksternalnya, misal dari sisi regulasi yang belum sepenuhnya mendukung dan juga ditambah kurangnya support system dari suami atau mertua atau lingkungan dan adat istiadat.
Liza menambahkan bahwa tantangan-tantangan tersebut juga muncul dari perspektif ekonomi.
“Stunting itu merupakan isu multidimensi, karena ia erat kaitannya dengan kehadiran fasilitas kesehatan, ketahanan pangan, pendidikan, pertanian, industri makanan, sanitasi, dan lainnya. Sehingga, penting koordinasi yang baik antar sektor-sektor ini, then we’ll see a difference in stunting (prevalence) rate,” menurut Liza.
Liza menambahkan bahwa dari hasil survei Riskesdas, sekitar 1 dari 3 anak Indonesia (di bawah usia 5 tahun) mengalami stunting. Jika melihat jumlah populasi Indonesia yang sangat tinggi, maka perhatian pemerintah terhadap isu ini yang saat ini sudah sangat tinggi juga patut didukung lebih lanjut.
Dari perspektif perekonomian, menurut studi World Bank pada 2016, stunting dapat menghambat pertumbuhan produktivitas dan perekonomian serta dapat berpotensi menghilangkan pendapatan manusia dewasa. Di Indonesia, menurut Liza, dampak stunting juga penting dalam skala nasional.
“Anak yang stunted memiliki kondisi kognitif yang tidak optimal. Kemampuan (anak tersebut) dalam menyerap pendidikan di sekolah nantinya akan sulit (berkembang). Dan pada akhirnya (anak tersebut) akan tumbuh menjadi manusia Indonesia yang menjadi tenaga kerja yang tidak kompetitif. Kelompok populasi yang stunted juga akan mengalami banyak masalah kesehatan. Kelompok ini memiliki risiko obesitas dan penyakit kronis lainnya, sehingga beban-beban ini akan ditanggung oleh sektor kesehatan untuk negara secara keseluruhan,” menurut Liza.
Dengan berkaca pada kondisi tersebut, stunting pada akhirnya tidak jauh keterkaitannya dengan bonus demografi yang diprediksi akan dicapai pada 2045. Pada 2045, sekitar 15 persen penduduk diprediksi akan berusia 15 -24 tahun pada tahun tersebut yang akan lahir di tahun-tahun ini dan di tahun-tahun mendatang.
“Jika sepertiga dari kelompok penduduk tersebut stunted, mereka jadi tidak produktif dan malah menjadi beban bagi perekonomian di saat harusnya bisa menjadi bonus demografi. Kelompok-kelompok ini malah akan menambah beban di sektor kesehatan. Untuk itu, 2035 – 2045 itu perlu kita treat menjadi sebuah deadline bagi kita untuk mengatasi stunting,” menurut Liza.
Pemerintah dan pihak swasta serta masyarakat dapat bersama-sama menekan angka stunting di masa depan. Poin penting yang perlu diperhatikan adalah pengoleksian data.
“Sebenarnya, kita harus terus mengukur berapa angka stunting kita, dimana daerah-daerah yang memiliki angka stunting. Dengan data yang baik dan juga (pemahaman mengenai) risiko ibu hamil dari trimester kehamilan yang pertama dan kita dapat melakukan intervensi di masa-masa tersebut, harapannya kita dapat melakukan sesuatu untuk mencegah (stunting),” menurut Anda.
Inisiatif dapat dimulai dari penyediaan fasilitas kesehatan dan teknologi kesehatan yang fokus untuk mencegah stunting. Menurut Anda, problematika di Indonesia saat ini berkaitan dengan hal tersebut adalah akses pelayanan kesehatan yang kurang, kegagalan ibu mendeteksi faktor risiko kehamilan, dan kompetensi dan persebaran tenaga kesehatan yang masih perlu ditingkatkan. Selain itu, Liza menambahkan contoh dimana posyandu dan bisnis seperti minimarket dapat saling berkolaborasi dengan memanfaatkan perilaku masyarakat.
“Atensi pemerintah sudah cukup kuat untuk isu (stunting) ini. Namun, kolaborasi lebih lanjut dapat memanfaatkan ruang kesempatan yang ada seperti misalnya pendirian posyandu sementara di minimarket pada hari-hari tertentu itu telah memanfaatkan perilaku masyarakat yang mungkin belum ada awareness untuk ke posyandu. Lalu, penting juga untuk memberdayagunakan kader-kader di RT, RW, dan tingkat pemerintahan lokal lainnya,” ujar Liza.
Dalam kacamata ekonomi, penting bagi suatu kebijakan itu memanfaatkan behavioral nudges seperti contoh sebelumnya. Pendistribusian buku pedoman menyusui di luar puskesmas juga menjadi salah satu alternatif bagi ibu hamil untuk mendistribusikan informasi kepada masyarakat luar.
“Informasi pedoman kehamilan dan ibu menyusui yang simpel, concise, dan diberikan di saat yang diperlukan seperti pada saat kunjungan antenatal agar ibu hamil dan keluarga dapat mendapatkan wawasan. Semua ini penting untuk mencegah stunting, karena kondisi stunting itu tidak bisa dihindari apabila sudah terjadi,” menurut Liza.[]