• Tentang kami
  • Redaksi
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
aceHTrend.com
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil

Jangan Takut Memperkenalkan Diksi Baru

Redaksi aceHTrendRedaksi aceHTrend
Sabtu, 05/09/2020 - 10:07 WIB
di OPINI, Celoteh
A A
Ilustrasi

Ilustrasi

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Syarifah Aini*

Sekali waktu, saya pernah mengikuti webinar yang dibuat sebuah penerbit mayor. Pembicara seminar kali ini menghadirkan Dee Lestari dan Ivan Lanin, dua sosok yang tak asing lagi di dunia penulisan dan kebahasaan. Saya setuju dengan pernyataan Ivan Lanin bahwa penulis adalah garda terdepan untuk pelestarian bahasa. Bahasa bisa berkembang seiring zaman.

Kalau mengandalkan penutur, mereka akan pergi satu per satu, makanya penulislah yang harus menggunakan diksi-diksi baru.

Menurut saya, pembaca tak akan keberatan kalau selain dapat hiburan, ia pun dapat pengetahuan baru saat membaca sebuah tulisan, baik itu artikel, cerpen, atau novel.

BACAAN LAINNYA

Hamdani Mulya

Menjaga Kedaulatan Bahasa Indonesia

16/12/2020 - 09:24 WIB
Ilustrasi

Ingin Jago Menulis Kisah Nyata Inspiratif, Yuk Ikut Pelatihan Ini

24/07/2020 - 20:09 WIB
aceHTrend.com

Bertemu Ivan Lanin

28/04/2020 - 09:00 WIB
Pegiat literasi Hayatullah Pasee @aceHTrend/Ihan Nurdin

Santri Baitul Arqam Mulai Ikuti Kelas Mentoring Menulis

19/01/2020 - 10:44 WIB

Orang yang membaca karya Andrea Hirata, Dee, Tere Liye, mereka bukan cuma terhibur, tetapi juga menjadi pintar setelah membaca karya itu, itulah sebenarnya ‘permainan’ diksi.

Bahasa terus dimutakhirkan, tugas para penulis adalah memberantas buta huruf abad 21 seperti yang disebutkan Alvin Toffler. Ketika semua orang sudah bisa membaca, tapi tak bisa memahami makna karena menanggalkan pelajaran sebelumnya, enggan belajar, dan tidak mau mengulang kaji. Itulah buta huruf yang sebenarnya di abad ini. Jadi, bukan lagi soal tak bisa membaca. Namun, bagaimana memahami esensi dari teks itu sendiri.

Kalau penulis tidak memakai diksi-diksi baru dalam tulisannya, bagaimana bahasa Indonesia bisa berkembang? Bagaimana bahasa Indonesia bisa populis?

Maka, banyak sekali orang saat ini lebih kenal bahasa orang lain daripada bahasanya sendiri. Orang lebih karib dengan kata passion daripada renjana, bahkan penulis yang katanya pegiat literasi pun lebih tahu plot hole daripada rumpang alur.

Bagaimana penulis terlampau khawatir kening pembaca akan berkerut mengatakan diksinya sulit dimengerti, padahal tugas penulis membuat pembaca memahami apa yang ia tulis dengan cara meletakkan diksi pada tempatnya.

Seorang ahli linguistik pernah mengatakan kalau penulislah yang punya andil besar untuk mengembangkan diksi-diksi baru, jangan pernah sungkan memakai diksi baru dan membuatnya diketahui khalayak umum. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud akan memasukkan diksi tersebut jika perlu.

Jadi sekarang, siapa yang akan memopulerkan diksi-diksi itu kalau bukan penulis? Siapa yang akan tahu bahwa serendipiti itu adalah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba dan itu adalah bahasa Indonesia?

Ide adalah sebuah hak kekayaan intelektual yang harus dijabarkan dalam diksi-diksi yang tak sekadar mudah dipahami sambil lalu, tetapi buatlah ia rekat dalam ingatan dengan cara mengemasnya dengan bahasa yang apik.

Menurut hemat saya, jangan menjengkali kemampuan pembaca. Para penulis, wartawan, dan pegiat literasilah yang harus mendongkrak keterampilan literasi para pembaca. Jangan heran jika tingkat literasi kita semakin tertinggal, kalau bahasa kita sendiri pun harus kita ‘sembunyikan’ dengan memilihkan yang ‘sudah biasa’ bagi pembaca. Utamakan bahasa Indonesia dalam menulis, baru bahasa Inggris. Ketika padanan katanya belum ada dalam bahasa Indonesia, saya kira sah-sah saja kita menjadi xenoglosofilia alias ‘keminggris’.

Apakah penulis dalam berkarya harus melulu menuruti selera pasar? Saya tidak sedang membicarakan idealisme karena sejatinya idealisme itu sendiri terkadang merupakan standar ideal untuk tiap-tiap orang. Namun, kenapa kita tidak ‘memasarkan’ diksi-diksi baru kita kepada khalayak agar ia bisa dinikmati berbagai kalangan.

Ini adalah PR besar penulis, wartawan, pegiat literasi, dan tentu saja para pencinta bahasa. Sebab bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bahasa adalah identitas bangsa.[]

Penulis adalah pegiat literasi

Editor : Ihan Nurdin

Tag: bahasa indonesiadee lestaridiksiIvan Laninmenulismotivasi menulis
Share9TweetPinKirim
Sebelumnya

LMC (41): Sejarah Pandemi, Kenapa Rupanya? (III)

Selanjutnya

Pasca Sekda Langsa Positif Covid-19 103 Pegawai Rapid Test Hasilnya 5 Reaktif

BACAAN LAINNYA

Ahmadi M. Isa.
Celoteh

Generasi Muda Aceh Harus ‘Divaksin’

Kamis, 21/01/2021 - 09:40 WIB
Mukhlis Puna
OPINI

Asal Mula Siswa Berkarakter Berawal dari Guru

Rabu, 20/01/2021 - 11:46 WIB
Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Unsyiah.
OPINI

LMC (76): Orang Tua dan Covid-19: Kenapa Harus Serius?

Selasa, 19/01/2021 - 18:48 WIB
Bendera Pemerintah Otonomi Bangsamoro. Foto?ist.
Jambo Muhajir

Jalan Tengah untuk Bendera Aceh

Selasa, 19/01/2021 - 16:03 WIB
aceHTrend.com
OPINI

Digitalisasi di Sekolah, Burukkah?

Senin, 18/01/2021 - 10:52 WIB
Sadri Ondang Jaya. Foto/Ist.

Sadri Ondang Jaya dan Singkel

Sabtu, 16/01/2021 - 23:47 WIB
Ilustrasdi dikutip dari website seni.co.id.
Jambo Muhajir

Kolom: Pelacur

Kamis, 14/01/2021 - 18:47 WIB
Fitriadi.
Artikel

Sekolah Butuh Pemimpin atau Pimpinan?

Rabu, 13/01/2021 - 09:26 WIB
Ilustrasi tewasnya Abrahah dan pasukan gajahnya saat akan menghancurkan Ka'bah / kicknews.today
Pandemi, Sejarah, dan Kebijakan

LMC (75): Era Islam Klasik, Wabah, dan Peradaban

Selasa, 12/01/2021 - 11:16 WIB
Lihat Lainnya
Selanjutnya
Ilustrasi disinfeksi

Pasca Sekda Langsa Positif Covid-19 103 Pegawai Rapid Test Hasilnya 5 Reaktif

Kolomnis - Ahmad Humam Hamid
  • Salah satu hasil perundingan damai antara Moro Islamic Liberation Front (MILF) dengan Pemerintah Filipina, adalah lahirnya otonomi. Salah satunya adalah dibenarkannya bendera Bangsamoro berkibar di daerah otonomi tersebut. Foto/Ist kiriman Nur Djuli.

    Rayakan Otonomi, Bendera Bangsamoro Berkibar di Cotabato

    928 shares
    Share 928 Tweet 0
  • KIP Aceh Tetapkan Tahapan Pilkada 2022

    255 shares
    Share 255 Tweet 0
  • Politik Bendera dan Parlok Bangsamoro di Filipina

    16 shares
    Share 16 Tweet 0
  • Siswa dari Pesantren Tradisional yang Tidak Memiliki NISN Terancam Dikeluarkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asal Mula Siswa Berkarakter Berawal dari Guru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Ikatan Guru Indonesia

UPDATE TERBARU

aceHTrend.com
BERITA

Prajurit TNI Bantu Mantan Kombatan dan Korban Konflik di Aceh Utara

Mulyadi Pasee
21/01/2021

aceHTrend.com
BERITA

Komisi VI DPRA Minta Anggaran Rp3,5 Triliun di Dinas Pendidikan Aceh Tepat Sasaran

Ihan Nurdin
21/01/2021

Safrizal dan Siti Hilmi Amirulloh @ist
LIFE STYLE

Luncurkan Produk Terbaru, Yalsa Boutique Siap Kuasai Pasar Busana Muslim

Ihan Nurdin
21/01/2021

aceHTrend.com
BERITA

Bupati Abdya Letakkan Batu Pertama Pembangunan Masjid Al-Ikhlas Padang Panjang 

Masrian Mizani
21/01/2021

  • Tentang kami
  • Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak kami
  • Kebijakan Privasi
  • Sitemap
Aplikasi Android aceHTrend

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.

Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • BERITA
  • BUDAYA
  • EDITORIAL
  • LIFE STYLE
  • LIPUTAN KHUSUS
  • MAHASISWA MENULIS
  • OPINI
  • SPECIAL
  • SYARIAH
  • WISATA

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.