Oleh Muhajir Juli*
Beberpara tahun setelah damai Aceh, di Universitas Almuslim Peusangan, diadakan sosialisasi tentang ideologi bangsa. Salah satu pematerinya adalah petinggi militer di Bireuen. Rektor Umuslim Dr. Amiruddin Idris ikut didapuk sebagai pembicara.
Di dalam materinya, petinggi militer itu menampilkan slide foto berisi gambar-gambar spanduk pilkada 2006 dan pileg 2009 berwarna merah berles hitam. Intinya ia menyampaikan bahwa masih ada orang-orang yang menginginkan Aceh tidak aman. Bibit-bibit separatisme terus didengungkan. Mahasiswa yang hadir diminta untuk tidak terprovokasi dan tetap mencintai Pancasila.
Sebagai mahasiswa yang lahir dan tumbuh di tengah konflik, saya acungkan tangan. Kepada sang perwira saya sarankan agar ideologi Pancasila bukan hanya ditanamkan kepada kami. Karena sejak SD Pancasila merupakan mata pelajaran wajib. Hingga kuliah itu tetap kami pelajari melalui mata kuliah kewiraan. Apalagi narasi seakan-akan golongan merah berles hitam tidak ikhlas berdamai. Padahal GAM telah dengan gentlemen menandatangani MoU Helsinki di Finlandia.
Saya sarankan bila sosialisasi tersebut juga disampaikan kepada Pemetintah Pusat, kepada partai politik, kepada militer dan polisi, yang menggunakan Pancasila sebagai alat gebuk suara kritis untuk menutupi kecurangan. Untuk menutupi ketidakadilan.
Di ujung, saya menyebutkan “Bila setelah ini sesuatu terjadi terhadap saya, ada kaitannya dengan ini. Semoga saya tidak apa-apa.”
Sembari tersenyum sang perwira berkata di depan ratusan mahasiswa. “Karena bukan pertanyaan maka apa yang disampaikan Muhajir tidak perlu saya jawab. Saya jamin bahwa yang disampaikan tadi adalah isi hati mahasiswa.”
Kemarin Lidah Puan Maharani, putrinya Ibu Mega, tergelincir. Ia menyebutkan bila dukungan parpolnya terhadap salah satu paslon Pilgub Sumbar, semoga dapat menjadikan Sumatera Barat mendukung negara Pancasila.
“Semoga Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila, bismillahirrohmanirrohmin. Merdeka,” kata Puan saat membacakan rekomendasi PDIP secara daring, Rabu (2/9/2020).
Puan latah. Ini ciri khas orang-orang yang menamakan dirinya Pusat, melihat orang-orang di daerah dengan kacamata kuda. Sehingga siapapun yang berkuasa, mereka yang telah menjadi Pusat, selalu saja sumir melihat daerah. Kali ini Puan. Terlepas bahwa dia tidak bermaksud menyakiti hati rakyat Sumbar, tapi pernyataannya itu tidak pantas. Apalagi ia Mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di periode pertama Jokowi menjadi Presiden RI. Seharusnya, ketimbang orang lain, dialah yang harus lebih dewasa menata kalimat di ruang publik. Apalagi dia sekarang pimpinan Parlemen RI. Puan bukan demostran yang bisa bicara sesuka hati.
Benar bahwa pada Pilpres 2019 suara Jokowi-Ma’ruf jeblok di sana. Tapi [menyampaikan narasi] meragukan ke-Pancasila-an orang-orang Sumatera Barat sesuatu yang keliru. Karena nasionalisme Indonesia ikut dibentuk oleh putera-putera “Padang”. Puan mungkin belum lupa sosok Moh. Hatta yang merupakan pejabat tinggi RI yang paling bersih, paling jujur dan paling idealis. Bahkan setelah tak sepaham dengan soekarno, Hatta yang berkuliah di Belanda, lebih memilih undur diri dari jabatan wapres, ketimbang membangun front perlawanan dengan kakeknya Puan. Hatta mengajarkan rakyat Indonesia, walaupun ia didikan Belanda, tapi nasionalismenya terhadap RI bukan isapan jempol belaka. Dia tidak butuh kekuasaan. Dia ingin kesejahteraan rakyat terwujud melalui alam kemerdekaan. Hatta juga mengajarkan betapapun perbedaan tidak bisa dihindari, tapi menerbitkan kata-kata yang menyakitkan hati, bukanlah pilihan orang-orang besar. Karena orang besar tentu berjiwa besar.
Kita juga tidak lupa dengan Tan Malaka, pendiri Partai Murba yang kini menjadi bagian aliansi Partai Demokrasi Indonesia. Bahkan orang-orang Murba hingga saat ini masih ada di dalam aliansi besar yang mayoritas dikuasai oleh kader idelogis PNI, partai yang didirikan oleh soekarno, kakeknya Puan. Tan Malaka adalah peletak dasar konsep Indonesia. Walau di dalam perjalanan politiknya, ia ditembak mati oleh prajurit negara yang ia dirikan bersama koleganya.
Banyak sekali partisipasi orang-orang Padang terhadap Republik Indonesia, jauh sebelum Pemerintah dan Parlemen RI diisi oleh orang-orang yang sibuk menyelenggarakan seminar nasionalisme ketimbang berbuat lebih nyata mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kita tentu tidak boleh lupa jasa CTC Padang yang ikut didirikan oleh dua putera Bireuen. Ingat pesawat RI-003 yang jatuh di Tanjong hantu, Malaya? Itu pesawat terbang pertama milik RI yang dibeli perwira militer republiken yang bermarkas di Sumbar. Modalnya dari perdagangan CTC di Sumbar.
Nasionalisme Indonesia sedari dulu dibela mati-matian oleh orang-orang yang kini disebut orang daerah. Orang-orang Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga pulau-pulau kecil. Merekalah yang berada di front-front tempur membela merah putih; membela Pancasila. Walau kemudian, orang-orang itu dilibas oleh Pusat karena melakukan perlawanan bersebab aspirasi mereka tidak lagi didengar setelah Republik Indonesia merdeka.
Bila hanya karena kalah dalam pemilu, kalimat-kalimat seperti yang disampaikan Puan diutarakan ke publik, ini sungguh tidak bijak. Karena pemilu adalah kontestasi. Di negara demokrasi, berbeda adalah sunnatullah. Sesuatu yang benar di dalam konstitusi.
Orang daerah, terlepas pendukung 01 atau 02 di Pilpres 2019, semuanya penjaga kedaulatan RI. Bila ada satu dua yang membonceng, itu terjadi di dalam semua gelombang politik. Ada di tiap partai politik. Ada di tiap ormas. Ada di tiap ideologi. Tidak boleh disamaratakan.
Berhentilah merasa diri paling Pancasila. Paling nasionalis. Salam untuk Mbak Puan.
*)Jurnalis aceHTrend. Pendiri Aliansi Intelektual. Email: muhajirjuli@gmail.com.