Oleh: Sadri Ondang Jaya*
Pada Rabu, 2 September 2020 lalu, masyarakat Aceh memperingati Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) yang ke-61 tahun.
Biasanya, Hardikda tahun-tahun lalu selalu dirayakan dengan meriah. Di samping ada upacara bendera juga digelar kegiatan-kegiatan edukatif lainnya.
Mungkin karena sekarang sedang merebak Covid-19, upacara dan kegiatan dalam rangka Hardikda tersebut tidak dilaksanakan. Jika pun ada, sangat minim, tak begitu meriah.
Dalam momentum peringatan Hardikda kali ini di Aceh Singkil, layak kiranya kita mengenang dan merenung keberadaan empat tokoh pendidikan Aceh Singkil tempoe doeloe.
Keempat sosok tokoh itu, menurut catatan sejarah, telah berjuang mati-matian menggerakkan, melakukan terobosan, dan mereformasi pendidikan di Aceh Singkil.
Siapa mereka? Mereka adalah alumni Pesantren Darussalam, Labuhan Haji, anak didik Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, yaitu Abuya H Bahauddin Tawar, Abuya H Baihaqi Batu Korong, Abuya Abdurrahman Pinto, dan Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam.
Keempat “pendekar” pendidikan plus dakwah itu, di era 60-an dan 70-an, sepakat dan sepaham serta bersinergi “membumikan” sekolah-sekolah pendidikan agama di wilayah Singkil yang beberapa dekade perkembangannya sempat meredup.
Dengan iktikad dan tekad bulat mereka, alhamdulillah, telah melahirkan karya nyata. Di mana-mana, seantero pelosok wilayah Singkil, kembali berdiri dan hidup sekolah agama atau lazim disebut dengan madrasah atau balai pengajian.
Dengan hidupnya madrasah-madrasah tadi, tak pelak membuat pendidikan dan kehidupan beragama di daerah yang berjuluk Nagari Syekh Abdurrauf itu kembali bergairah, dinamis, dan mencapai kemajuan yang signifikan. Bahkan, sangat transformatif.
Inilah yang kemudian melahirkan beberapa ustaz atau ulama yang sekarang berkiprah di wilayah Aceh Singkil. Dengan kata lain, ustaz-ustaz atau para ulama ini, merupakan hasil torehan atau didikan tangan dingin ke empat pendekar pendidikan tadi.
Karena itu, keempat pelopor dan penggebrak pendidik madrasah, pesantren, dan balai pengajian di Aceh Singkil tersebut, agaknya layak dicatat dengan tinta emas dalam album lembaran sejarah pendidikan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sudah sepantasnya menyematkan kepada mereka penghargaan sebagai “Bapak Pelopor Pendidikan di Aceh Singkil”.
Sebab, tak berlebihan jika dikatakan merekalah peletak tonggak sejarah pendidikan Islam berbentuk madrasah atau pesantren plus balai pengajian di Nagari Batuah ini.
Selanjutnya, mereka pula sosok yang telah berhasil membangun tradisi bahkan peradaban Islam dan keilmuan di Aceh Singkil yakni melalui madrasah, pesantren, dan balai-balai pengajian yang mereka bangun sekaligus mereka pula menjadi guru dan pimpinannya.
Sebab, dalam khazanah filosofi kebudayaan wilayah Singkil, ketika itu, madrasah, pesantren, dan balai pengajian memiliki peran yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat. Ia pilar kedua setelah rumah tangga dalam menanamkan dan membentuk nilai-nilai kemanusiaan di Singkil.
Madrasah, pesantren, dan balai-balai pengajian, ketika itu, tidak hanya sebagai sebuah lembaga dan wahana pendidikan keagamaan dan pendidikan semata, tetapi memiliki fungsi sebagai sarana tranformasi nilai-nilai keagamaan, budaya, dan sosial dalam masyarakat Singkil dan sekitarnya.
Merekalah tokoh penting dan sentral dalam mengembangkan corak keislaman kultur dan bersifat puritan di wilayah Singkil sekaligus pilar penghalang masuknya nilai-nilai yang berseberangan dengan ajaran Islam.
Layak. Sangat layak. Pantas dan wajar, kita memberikan penghargaan–apapun bentuk dan namanya–kepada empat pendekar pendidikan Aceh Singkil itu.
Kalau pun hari ini dan beberapa hari ke depan, Pemkab Aceh Singkil, belum bisa menyematkan tanda jasa kepada empat sosok pahlawan pendidikan Aceh Singkil ini karena terpengaruh dengan lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa karangan Sartono.
Mari kita ucapkan bersama:
Kami cinta padamu guru
Walau guru tanpa tanda jasa
Juanganmu tetap kami tegakkan
Darmamu tetap kami baktikan.
Karena kalian sang mujaddid, telah menoreh kebaikan, memberikan saripati ajaran nabi pada kanvas putih peradaban negeri. Pada jiwa-jiwa nan suci.
Hari ini dan seterusnya, kami hanya bisa menghadiahkan sepetik doa,
Allahummagh fir lahu, warhamhu,
Wa’afihi, wa’fu’anhu. Alfatihah! Padamu guru-guru kami. []
*Sadri Ondang Jaya, adalah seorang guru di Aceh Singkil
Editor : Ihan Nurdin