ACEHTREND.COM,Banda Aceh– Serangan Covid-19 ke Serambi Mekkah yang awalnya ditangani secara main-main oleh Pemerintah Aceh, kini semakin mengganas. Hingga Senin (7/9/2020) 2041 orang dinyatakan positif terpapar, 81 orang telah meninggal dunia. “Invasi” Covid-19 membuat dunia pendidikan di Aceh semakin terancam. Bila salah ditangani, ke depan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh kian terpuruk.
Kondisi tersebut membuat Rektor Universitas Syiah Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., gelisah. Kepada aceHTrend, Selasa (8/9/2020) Guru Besar Unsyiah itu mengatakan penyelenggara pendidikan di Aceh seperti memakan buah simalakama.
“Kondisi yang tidak mudah. Terlalu besar risiko yang harus diambil bila memaksa menggelar tatap muka di sekolah. Trend Covid-19 di Aceh kian mengkhawatirkan. Pun demikian, penyelenggara pendidikan punya tanggung jawab menjaga kualitas SDM generasi di Aceh,” kata Samsul Rizal.
Menurut Rektor Unsyiah, kehidupan selama pandemi Covid-19 adalah peristiwa yang sulit bagi orang tua dan anak-anak. Khusus dalam bidang pendidikan, selama masa krisis ini belum berakhir dan vaksin belum ditemukan, maka kembali ke sekolah adalah sebuah langkah penting yang dilematis. Ketidakpastian yang mengancam serta kebutuhan pendidikan menyebabkan pemangku kepentingan terpaksa mengambil tindakan-tindakan yang memberi implikasi pada kenaikan risiko penyebaran Covid-19.
Sekolah daring yang selama pandemi menjadi trend, akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pendidikan bagi generasi saat ini. Aceh sedang mengalami bonus demografi, jumlah penduduk dengan umur produktif lebih banyak dibanding dengan jumlah umur lainnya. Jika para generasi produktif ini tidak diberi pendidikan dan keahlian dengan baik maka akan mempengaruhi masa depan mereka.
Akan tetapi, tambah Samsul Rizal, sekolah secara tatap muka diperkirakan akan menaikkan jumlah kasus Covid-19. Ini kontradiktif. Sekolah daring berdampak menurunnya kualitas. Tapi tatap muka sama dengan membuka peluang bagi Covid-19 melakukan serangan terbuka.
Atas alasan itu, menurut Samsul, diperlukan sebuah tolok ukur ilmiah yang menjadi landasan terukur, untuk menjadi salah satu masukan dalam memutuskan kapan sekolah secara tatap muka dapat kembali dilakukan di Aceh.
“United Nations Children’s Fund (Unicef) mengingatkan bahwa tingkat kerumitan situasi dan variasi kondisi di seluruh dunia berbeda-beda. Masing-masing negara memiliki prosedur dan tahapan yang berbeda tentang bagaimana dan kapan mereka berencana untuk membuka kembali sekolah. Keputusan tersebut biasanya akan dibuat oleh pemerintah pusat atau negara bagian, namun tetap saja perlu melakukan diskusi dengan otoritas lokal. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kesehatan masyarakat, manfaat dan risiko untuk pendidikan dan faktor lainnya,” kata Samsul.
Dalam kondisi seperti ini Kemaslahatan setiap anak harus menjadi prioritas utama. Setiap sekolah dapat mengambil keputusan, tergantung skala, apakah merah, kuning atau hijau. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan saat ini situasi pembukaan sekolah memang menggunakan sistem buka tutup. Artinya, jika sekolah di zona kuning atau hijau terdapat warga sekolah yang terpapar Covid-19 maka pembelajaran tatap muka harus langsung ditiadakan kembali.
Pun demikian, saran dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) perlu menjadi pertimbangan. Melalui Ketua Umum IDAI dr. Aman Bakti Pulungan, SpA(K)., dalam keterangan tertulis yang diterbitkan oleh republika.co.id pada tanggal 1 Juni 2020 menganjurkan agar kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan melalui skema pembelajaran jarak jauh sampai akhir Desember 2020.
“Anjuran ini ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan akan terjadi lonjakan jumlah kasus gelombang kedua.”
Harus Sangat Bijak
Dengan kondisi pandemi yang semakin memburuk, Samsul mengatakan, keputusan apakah sekolah kembali di buka atau tidak, sangatlah rumit. Unsyiah dan Universitas Samudera Langsa, telah mengambil kesimpulan kuliah semester ganjil 2020 dilakukan secara online. Ini harus ditempuh dengan pertimbangan keselamatan peserta didik dan keluarga mereka. Juga keselamatan tenaga ajar.
“Paparan virus Covid-19 nyata yang mana jika seseorang terpapar maka berbagai risiko harus ditanggung. Terlepas dari berbagai teori konspirasi yang tersebar di dunia maya, penderitaan dan kesakitan serta risiko kehilangan orang-orang yang dicintai adalah nyata. Kelelahan psikologis, rasa apatis akibat dari dampak ikutan dari pandemi tentu saja memiliki beragam dampak efek terhadap individu,” katanya.
Samsul memberikan saran, bilapun sekolah tetap ingin kembali beraktivitas dan dapat menjamin mampu memenuhi protokol kesehatan, hal-hal lain di luar kewenangan sekolah juga harus diperhatikan. Jika terdapat satu atau dua peserta didik yang terinfeksi dan sekolah tidak mengetahuinya, maka ada kemungkinannya akan naik menjadi 11% peserta didik akan terpapar virus setelah tiga jam pertemuan. Nilai tersebut akan naik pada pertemuan di hari selanjutnya. Ini sangat tergantung juga pada jenis masker yang digunakan. Jika semua guru dan semua peserta didik menggunakan masker N95 atau yang setara dengannya, maka hasil simulasi menunjukkan 0% kemungkinan terpapar.
Titik kritis yang selanjutnya harus diperhatikan adalah kemungkinan penularan saat anak-anak sekolah diantar jemput, kelalaian pengawasan terhadap protokol kesehatan baik selama perjalanan maupun dalam aktifitas di sekolah seperti kamar mandi/toilet umum, sirkulasi udara yang tidak baik.
Dari titik kritis di atas yang harus menjadi perhatian utama adalah antar-jemput. Umumnya peserta didik di Aceh diantar- jemput oleh orang tua atau menggunakan kendaraan umum. Proses ini menimbulkan kerumunan yang cukup banyak dan tidak dapat dikendalikan sehingga menaikkan risiko penularan. Selain itu dalam proses penjemputan umumnya peserta didik juga jajan di depan sekolah yang berpotensi menaikkan resiko penularan.
Kepatuhan Tinggi Pada Protokol kesehatan
Samsul mengatakan proses belajar mengajar di sekolah dapat dilakukan hanya dengan kedisiplinan dan kepatuhan kepada protokol kesehatan yang diterapkan sejak dari rumah, selama proses pembelajaran berlangsung dan saat kembali ke rumah lagi.
Penggunaan masker yang terus-menerus, menghindar menyentuh wajah dan rajin mencuci tangan adalah hal yang harus dilakukan dengan disiplin yang tinggi. Pakaian sekolah harus diganti setiba di rumah dan harus segera mandi.
Proses pembelajaran tatap muka selama masa pandemi juga dapat dilakukan secara selektif. Misalnya difokuskan pada anak-anak kelas rendah yang perlu mendapatkan konsep fundamental pendidikan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. sedangkan untuk anak-anak yang berada pada level yang lebih tinggi dapat diberikan model pembelajaran berbasis proyek pendekatan sains menggunakan metode STEM, atau membaca buku (reading comprehension) yang relatif dapat dilakukan secara mandiri.
“Kondisi sangat tidak ideal. Semua keputusan yang diambil memiliki dampak dan tantangan. Tidak ada yang mudah. Tapi di pundak kita semua tanggung jawab menjaga SDM anak bangsa dibebankan. Ini tugas berat. Pun demikian, semuanya harus dilakukan demi menjalankan tugas dan tanggung jawab. Pandemi tidak boleh menghentikan kita untuk menjaga kualitas sumber daya anak bangsa. Kita tidak boleh kalah.”