Oleh Syah Reza*
Bangsa-bangsa besar meyakini bahwa sejarah adalah kekuatan masa depan. Seperti halnya Turki, Persia, dan Arab menjadikan sejarahnya sebagai narasi memperkuat identitas Islam. Di antara bangsa tersebut, posisi Aceh memiliki pengaruh sejarah tersendiri di dunia Melayu. Aceh pernah menjadi sentral peradaban bagi dunia Islam di kawasan Asia Tenggara. Sejarah Islam mencatatkan kekuatan Kerajaan Aceh sejak abad 12 M memimpin kawasan hingga Abad 19 M. Belakangan masuknya Kolonialisme ke wilayah Aceh sedikitnya telah merusak identitas Peradaban. Efek dari kerusakan identitas itu terasa pada terputusnya identitas sejarah Aceh klasik dengan Aceh jinoe (baca : Kini).
Keterputusan sejarah itu tampaknya masih eksis sampai hari ini. Bahkan, kondisi sejarah demikian sebagian dipelihara oleh kalangan penguasa. Menjadi agen kolonial membantu misi destruksi jejak sejarah. Karena dunia sadar bahwa kekuatan Aceh itu ada pada identitas sejarah Islam. Maka melemahkan Aceh dengan membuat ingatan masyarakat pada sejarahnya hilang.
Kondisi tidak terawatnya situs sejarah, makam para ulama dan peninggalan Kerajaan Islam di Aceh sejak kemerdekaan hingga saat ini adalah bukti agenda dekonstruksi sejarah masih berlanjut. Pola demikian bukan pertama dilakukan oleh para kolonial.
Kasus Turki
Turki adalah satu contoh dari keberhasilan kaum sekulerisme menghilangkan jejak sejarah bangsa dari nalar Islam menjadi nalar ‘kebarat-baratan’ (western culture). Ideologi itu secara masif nyaris mempengaruhi satu generasi. Mewarnai elemen vital masyarakat Islam yaitu falsafah hidup. Namun, sebagian yang sadar akan hal itu mengambil sikap perlawanan dengan melakukan strategi politik yang sistematis, terstruktur dan visioner. Seperti gerakan dewesternisasi Bediuzzaman Said Nursi yang secara estafet diteruskan oleh muridnya hingga masuk dalam kebijakan strategis politik Turki. Perlawanan itupun butuh waktu lama menuju Turki baru seperti saat ini.
Upaya mengeliminasi jejak sekularisme dari nalar masyarakat perlahan mulai terlihat pada agenda strategis Pemerintah Turki. Salah satunya dengan agenda revitalisasi identitas sejarah Turki. Heroisme tokoh-tokoh Turki klasik dinarasikan kembali, sejarah keberhasilan menaklukkan Konstantinopel, peran sentral ulama dalam sejarah, situs-situs peradaban mulai dipugar, hak kaum muslim diperjuangkan, perlindungan hukum bagi wilayah Islam dan kekuatan militer diproyeksikan kembali. Semua kerja itu adalah upaya menjaga identitas sejarahnya dari intervensi pihak asing.
Hegemoni Identitas
Jika melihat tragisnya kondisi Turki hingga satu generasi mengalami loss of Islamic identity -seperti halnya juga yang dialami masyarakat Islam kawasan Asia Tengah,- tentu kondisi tersebut tidak dialami oleh masyarakat Aceh saat ini. Bersyukur, masyarakat Aceh masih mengenal Islam, aktivitas keseharian masih terkoneksi dengan kesadaran beragama dan ruang untuk kerja sosial-keagamaan masih terbuka lebar. Tetapi, bagi yang paham gerakan Kolonialisme, akan memahami karakter hegemoni yang digencarkan atas bangsa lain, cenderung destruktif. Untuk Aceh, hegemoni itu dilakukan melalui dua hal, agama dan sejarah (fisik dan non-fisik). Jika kedua hal itu rusak, maka sejarah Aceh tinggal kenangan.
Memang, fanatik masyarakat pada agama yang terintegrasi dengan kesukuan yang tinggi (ashabiyah) merupakan kekuatan Aceh yang sulit dileraikan. Tetapi ‘kaki’ kolonial telah kuat menancap di negeri ini sejak penjajahan. Gerakan mereka tidak berhenti setelah kemerdekaan.
Kalangan yang memahami dinamika politik dunia, akan mengakui bahwa Aceh sedang disuguhkan ‘makanan’ baru yaitu hedonisme dan materialisme. Ini adalah lanjutan dari misi sekularisasi melalui tangan orientalisme. Dua ideologi turunan dari wajah sekularisme Eropa yang cukup berhasil mengganggu teologi Kristen ketika itu. Pola itu dipraktikkan ke seluruh dunia, khususnya ke dunia Islam.
Jika diamati secara serius, proses hedonisasi pada masyarakat Aceh cukup sederhana melalui teknologi seperti televisi dan gadget. Dua senjata teknologi mutakhir yang paling efektif, tidak mematikan nyawa manusia tetapi mematikan kesadaran sejarah.
Aktivitas masyarakat dibentuk kebergantungan padanya. Sedangkan proses materialisasi dengan diciptakan kultur masyarakat yang senantiasa bergantung pada uang. Bahkan, lingkaran kekuasaan diikat oleh sistem birokrasi yang terbuka ruang untuk melakukan korupsi. Di saat yang bersamaan, agenda kolonialisme menghilangkan ingatan pada agama cukup terasa di Aceh, salah satunya memperbanyak sekolah umum yang minus ilmu agama, dan memarjinalkan peran dayah sebagai instansi pendidikan agama.
Al-Farabi dalam Ara’ Ahl Al-Madhinah Al-Fadhilah pernah menjelaskan kekuatan terendah sebuah wilayah ketika masyarakat di wilayah tersebut berada dalam pola pikir materialistik. Melihat semua persoalan dari kacamata uang dan harta. Al-Farabi memasukkan kondisi wilayah tersebut dalam kategori Madinah Jahiliyyah (kota bodoh). Karena indikator kebahagiaan masyarakat dan pemimpin adalah materi. Kalau menggunakan patron Al-Farabi, bukankah Aceh saat ini masuk dalam kategori kota tersebut?
Membangun Aceh
Sebagian yang peduli pada identitas Aceh akan menemukan kesulitan melacak karya ulama Aceh (manuskrip) yang terhitung cukup banyak. Bahkan untuk memperoleh akses naskah asli Aceh harus ke negeri mereka. Begitu juga dengan situs sejarah seperti makam para ulama dan raja-raja Aceh seperti tidak terawat bahkan sebagian dibiarkan tertelan tanah seperti sampah.
Di waktu yang bersamaan, bermunculan problem baru yang dipelihara yaitu konflik keagamaan di tengah masyarakat, serta lahirnya aliran-aliran baru yang mereduksi ajaran agama di Aceh. Selain itu, dayah sebagai instansi pendidikan agama tertua di Aceh yang berperan sebagai benteng keagamaan di masyarakat tampaknya mulai dirusak citra dari berbagai sisi, bahkan diperkecil ruang otoritas. Ditambah problem lainnya dimana Aceh dihadapkan pada realitas generasi milenial yang menjadikan budaya Barat sebagai gaya hidup (lifestyle) yang dapat merusak identitas Aceh. Jika dibiarkan warna western culture ini menjalar dalam kehidupan masyarakat Aceh, kesadaran masyarakat pada sejarah Aceh dengan sedirinya akan terkikis. Implikasi akhir dari itu semua adalah meninggalkan agama. Itu yang diinginkan oleh dunia.
Bagi yang sadar bahwa Aceh sedang terhegemoni akan melakukan langkah preventif yaitu menentukan identitas. Membangun Aceh pada tataran awal adalah menyadarkan ingatan kita pada identitas Aceh sebagai wilayah yang memiliki kekuatan sejarah Islam yang bermartabat dan menjadi pusat perkembangan Islam di Asia Tenggara. Bukti sejarah itu menjadi modal penting untuk menyusun kembali (revitalisasi) Aceh. Melakukan langkah strategis untuk merawat identitas agama dan peradaban.
Peran pemerintah sebenarnya cukup besar dalam hal merawat sejarah. Karena memiliki power di semua sektor, terutama politik, ekonomi dan militer. Tiga elemen ini (ditambah ilmu pengetahuan) adalah kekuatan terbesar sebuah bangsa. Kekuatan politik dan ekonomi bisa dipakai untuk melakukan diplomasi dengan negara kolonial agar mengembalikan semua naskah sejarah Aceh. Pemerintah punya andil besar menghidupkan pusat-pusat literasi, menyokong komunitas intelektual sebagai sumber daya manusia yang bisa dipakai untuk keperluan perawatan sejarah. Selain itu, melakukan perawatan situs sejarah secara serius seperti makam ulama, peninggalan makam Kerajaan Aceh di Gampong Pande dan lainnya. Mari bersama memperbaiki imunitas sejarah kita agar identitas Islam di Aceh tetap eksis hingga dunia berakhir.
*)Penulis adalah peneliti di Islamic Institute of Aceh (IIA).