ACEHTREND.COM, Banda Aceh — Guru Besar dan Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Ir Ahmad Humam Hamid MA menilai Pemerintah Aceh belum memiliki strategi untuk menangani pandemi Covid-19. Kesimpulan itu disampaikan berdasarkan pemaparan dari Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh Muhammad Iswanto SSTP MM mengenai Strategi Pemerintah Aceh untuk Percepatan Penanganan Covid-19 di Aceh dalam webinar bertajuk Strategi Pemerintah Aceh dan Respons DPRA dalam Percepatan Penanganan Covid-19 yang diselenggarakan secara daring oleh UNICEF Perwakilan Aceh, bekerja sama dengan Forum Aceh Menulis dan Yayasan Darah untuk Aceh, Jumat siang (18/9/2020).
“Pertama, saya menghargai apa yang disampaikan Pak Iswanto. Saya menghargai kejujurannya menyampaikan apa adanya yang disebut sebagai strategi pemda. Beliau sangat jujur menyampaikan sehingga kesimpulan saya adalah strategi pemda adalah tidak punya strategi. Dan itu dengan sangat jelas disampaikan oleh Pak Iswanto dalam narasi sejumlah kegiatan. Kalau kita berpegang pada arti strategi yakni pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan covid ini yang terdiri atas perencanaan, eksekusi dari aktivitas covid ini untuk jangka waktu tertentu. Kalau ini yang kita pakai sebagai strategi ukurannya, tidak satu pun yang dipaparkan Pak Iswanto memenuhi syarat sebagai sebuah strategi, dan itu memberikan kita pengertian atas yang apa selama ini terjadi di Aceh karena memang tidak ada strategi,” kata Ahmad Humam Hamid.
Humam menjelaskan, bila merujuk pada petunjuk yang dikeluarkan WHO dalam menangani wabah maka yang pertama perlu dilakukan oleh pemerintah adalah konsolidasi sesama pemangku kepentingan. Dalam hal ini melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah daerah tingkat dua, kalangan ulangan, pemuda, dan ombudsman.
Para pihak tersebut harus duduk bersama untuk merancang apa peta jalan (road map) dan bagaimana rencana untuk menangani ancaman wabah ini. Baru setelah itu dilakukan pembagian pekerjaan berdasarkan kewenangan masing-masing. Namun, menurut Humam, berdasarkan amatannya justru ini belum dilakukan oleh pengambil kebijakan di Aceh sehingga penanganan Covid-19 di Aceh terkesan mengalir begitu saja.
“Ini maaf, selama tujuh bulan tidak ada konsolidasi dari pemangku kebijakan, tidak ada road map yang disepakati. Dan yang bermasalah pemerintah menganggap hebat sekali dirinya, ini single player, ini tidak bisa, ini perang.”
Di lain sisi kata Humam, undang-undang apa pun yang diterbitkan oleh pusat terkait pandemi ini, selalu memberi ruang yang besar untuk negara, bahkan kalau perlu mengambil hak-hak warga seperti di Vietnam, warga dimonitor melalui aplikasi seluler demi memantau perilaku mereka dalam menghadapi wabah ini. Berbeda dengan di Aceh, akibat tidak adanya konsolidasi pemangku kepentingan berimbas pada tidak ada pembagian pekerjaan, siapa mengerjakan apa tidak jelas, sementara dalam hal ini pemerintah provinsi memiliki peran lebih besar sebagai komandan.
Terkait perilaku masyarakat Humam mengatakan, hal ini tidak bisa dilakukan hanya dengan turun ke daerah-daerah sebagai sebuah seremonial seperti ASN datang ke kampung-kampung. Untuk menciptakan perilaku masyarakat agar selaras dengan kebijakan yang sedang dilakukan pemerintah, maka perlu memberikan urusan ini kepada ulama dayah, keuchik, dan pemuda gampong. Soal mengubah perilaku masyarakat ini menurutnya menjadi tantangan besar apalagi menyangkut penyakit dengan berbagai penafsiran yang di Aceh masih dianggap sebagai takdir.
Di sisi lain, kampus yang memiliki banyak ahli-ahli di bidang ilmu pengetahuan kata Humam juga tidak pernah diundang oleh Pemerintah Aceh untuk memformulasikan penanganan wabah ini melalui pendekatan ilmu pengetahuan. Beberapa kampus di Aceh seperti Universitas Muhammadiyah, Unsyiah, dan Unimal, memiliki sumber daya di bidang kesehatan yang mumpuni yang semestinya bisa diajak berkolaborasi oleh pemerintah.
“Yang terlihat pemda ini bertindak tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam penanganan Covid-19 ini kita perlu orang-orang yang punya pengetahuan soal pandemi. Pemerintah Aceh, maaf, tidak nampak sedikit pun langkah yang diambil yang berpedoman pada ilmu pengetahuan.”
“Di sini saya menulis agar Pak Gubernur menuliskan siapa pendamping beliau dari kalangan ilmuwan, tidak ada, ini main-main dengan nyawa publik. Mengurus pandemi tidak sama dengan mengurus infrastruktur, kalau infrastruktur gagal bisa diperbaiki, tetapi kalau penanganan pandemi gagal nyawa publik taruhannya,” katanya menegaskan.
Akibatnya kata Humam, harus diakui bagaimana cara pemda dan rakyat Aceh menghadapi kondisi ini merupakan contoh buruk manajemen pengendalian manajemen covid secara nasional. “Dan untuk ini saya mau berdebat dengan siapa pun.”
Humam menilai, yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh untuk mengurus pandemi ini masih berada di hilir. “Apa buktinya, tadi berkali-kali Pak Iswanto ngomong PINERE, rumah sakit di tingkat dua. Padahal ini baru permulaan rumah sakit sudah penuh, ini belum puncak. Puncaknya mungkin Desember atau Januari. Jadi hari ini pun kalau kita mau tanya ke pemda kapan diduga puncaknya nggak tahu pemda,” ujarnya.
Oleh karena itu, jika Pemerintah Aceh serius ingin menangani Covid-19 di Aceh maka ada dua hal yang harus dilakukan yaitu test dan tracing. Dua hal ini merupakan benteng terakhir. Namun, jika penanganannya dilakukan di hilir, Humam menamsilkan ibarat membendung muara dari banjir sementara persoalan di hulu yang terus menebang kayu tidak dibereskan.
“Perang covid adalah perang di berbagai tempat keramaian, bukan di rumah sakit. Oleh karena itu, kalau saat ini ada ulama yang bisa memberi fatwa mengenai pakai masker, itu lebih hebat dari pada anjuran sepuluh dokter,” katanya.
Pekerjaan pemerintah menurutnya harus memastikan terjadinya pembendungan agar Covid-19 tidak merajalela dengan memperbanyak tes sehingga akan diketahui siapa yang terinfeksi. Testing ini akan memudahkan pemerintah untuk melakukan tracing sebagai upaya pembendungan tadi.
“Ukuran cinta Pak Nova Iriansyah kepada rakyat Aceh ialah beliau melaksanakan tes seagresif mungkin. Kita punya uang refocussing Rp2,3 triliun. Yang kedua tracing. Hasil tracing baru treatment kalau perlu seperti isolasi. Jadi ini yang kita bendung. Bukti cinta Plt tidak ada lain, yakni tes dan tracing yang diikuti dengan isolasi dan treatment. Kalau hanya membuat rumah sakit dan PINERE, kalau mau membuat rumah sakit, buat pinere itu se-Banda Aceh. Jangan mengurus pandemi di hilir, uruslah pandemi di hulu dengan komitmen pemerintah, tanpa ini omong kosong cinta pemda untuk rakyatnya,” kata Humam.
Diskusi ini juga menghadirkan tiga narasumber lainnya, yaitu Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Muhammad Iswanto, anggota DPRA Bardan Sahidi, dan Kepala UNICEF Perwakilan Aceh Andi Yoga Tama, yang dipandu oleh moderator jurnalis Serambi Indonesia Yarmen Dinamika.[]
Komentar