Oleh Alja yusnadi
DPR Aceh boleh saja telah membatalkan penganggaran proyek tahun jamak (untuk selanjutnya saya sebut multi years). Namun, Pemerintah Aceh tetap menjalankannya, bahkan untuk tahun 2020 sudah dilelang. Diperkirakan, multi years tersebut untuk tiga tahun anggaran: 2020, 2021, 2022.
Silang-sengkarut multi years menjadi salah satu yang dipolemikkan oleh DPRA dan Plt. Gubernur Aceh. Efeknya merembes kemana-mana, tidak tentu arah. Walau tidak secara terang dijelaskan ke publik, bahwa multi years ini menjadi titik fokus, minimal saya menangkap sinyal itu.
Gesekan sudah terjadi di awal masa tugas DPRA periode 2019-2024. Memuncaknya ego kelembagaan DPRA vs Plt Gubernur Aceh di saat legislatif menggelar sidang paripurna untuk membatalkan multi years.
Eksekutif tidak mau kalah. Dalam pembahasan APBA 2021, Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) tidak mau menghadiri rapat dengan Badan Anggaran DPRA. Alasannya, menghindari Korona.
Alasan itu tidak selaras dengan kehadiran Kepala SKPA dalam rapat dengan Komisi-komisi DPRA. Sampai di sini, sikap eksekutif saling bertolak belakang, satu sisi TAPA tidak mau hadir, sementara Kepala SKPA didorong ke DPRA. Kalaulah alasannya Korona, apakah Kepala SKPA kebal Korona? Sengaja dikorbankan? Atau ada alasan lain?
Nampaknya itulah sikap setengah hati Pemerintah Aceh untuk melibatkan DPRA dalam membahas APBA 2021. Mau meninggalkan sepenuhnya juga tidak beralasan.
DPRA pun sudah menangkap gelagat itu, makanya dalam setiap rangkaian rapat dengan SKPA didokumentasikan dengan baik. Tujuannya, memperkecil celah bagi Plt Gubernur untuk mempergubkan APBA 2021. Menghindari kesalahan DPRA yang kemudian hari dituduh tak mau membahas.
Jika melihat tahapan dan jadwal pembahasan APBA berdasarkan Permendagri 64 tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2021, sekarang sudah masuk masa penyampaian rancangan qanun APBA 2021 oleh Kepala Daerah kepada DPRA.
Pemerintah Aceh telah menyerahkan dokumen tersebut kepada Sekretariat DPRA beberapa waktu lalu. Masalahnya, dokumen R-APBA 2021 itu diserahkan sebelum tercapai kesepakatan mengenai KUA-PPAS.
Waktu pengesahan APBA 2021 memang masih panjang, permendagri mensyaratkan satu bulan sebelum dimulai tahun anggaran berkenaan, paling telat 31 November 2020, sekitar dua bulan setengah lagi.
Berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Aceh—maksudnya Pemerintah Aceh dengan DPR Aceh—pernah mencapai kesepakatan setelah memasuki triwulan kedua tahun berkenaan, APBA pernah disahkan dalam tempo sesingkat-singkatnya, dan juga pernah dipergubkan.
Apapun pilihannya nanti, sangat tergantung dari politik akomodatif antara eksekutif dengan legislatif. Pilihan normalnya, APBA disahkan tepat waktu menurut permendagri itu.
Saya duga, kepentingan legislatif adalah terakomodirnya program masyarakat yang diusulkan melalui mekanisme reses anggota DPRA ke dalam APBA 2021. Sementara itu, Plt. Gubernur Aceh sangat berkepentingan multi years tidak diutak-atik oleh DPRA.
Salah satu alasan DPRA “mengganggu” multi years karena menyedot anggaran yang begitu besar, sehingga tidak proporsional dengan program hasil reses yang mereka lakukan. Tentu alasan ini di luar alasan formal lainnya.
Ini hanya soal sudut pandang. Kedua belah pihak ada pembenarnya. Bagi Plt. Gubernur Aceh, multi years adalah legacy. Selain program multi years hampir tidak ada yang dapat dibanggakan dari kepemimpinan Plt. Gubernur Aceh.
Dalam hal ini, saya dapat memahami suasana kebatinannya. Apalagi, kalau Nova hendak mencalonkan kembali pada pilkada ke depan. Pendahulu Nova, dengan mudah menunjukkan legacy itu.
Kemenangan Irwandi-Nova pada pilkada 2017, salah satu sebabnya karena legacy yang ditinggalkan Irwandi selama menjabat pada periode pertama. JKA, Beasiswa anak yatim, adalah contoh legacy itu.
Abu Doto juga meninggalkan beberapa legacy, yang paling mudah diingat adalah rehab Masjid Raya Baiturrahman.
Tentu Nova Iriansyah tidak ingin menyelesaikan masa kepemimpinannya tanpa legacy. Apalagi, kalau dalam waktu dekat Nova menjadi Gubernur Aceh defenitif dan akan bertarung pada pilkada berikutnya.
Sangat masuk akal Nova mempertaruhkan apapun agar proyek multi years itu jadi dilaksanakan. Paling tidak, masyarakat yang berada dalam kawasan yang selama ini terisolasi akan mengenang Nova, termasuk pemilik kebun sawit di sekitar jalan yang akan dibangun melalui multi years itu.
Sementara DPRA juga sangat berkepentingan agar program hasil reses dapat ditampung dalam jumlah yang masuk akal dalam APBA 2021. Di sinilah wilayah pertarungannya.
Walaupun, masih ada kemungkinan lain. Lawan Nova di DPRA adalah Koalisi Aceh Bermartabat (KAB). Motor utamanya adalah fraksi Partai Aceh. Besar kemungkinan, salah satu suksesor Nova dalam pilkada ke depan adalah Muzakir Manaf, yang tidak lain dan tidak bukan Ketua Umum DPA PA. Kemungkinan lain, multi years ini menjadi prakondisi menjelang pertarungan sesungguhnya.
DPRA telah membatalkan multi years dan melaporkannya ke KPK. Nova justru blusukan ke daerah-daerah yang menjadi lokasi multi years. Nova, menggalang justifikasi politik dari tokoh politik lokal. Beberapa bupati, DPRK dan pimpinan lembaga mahasiswa dari daerah-daerah tersebut telah bersuara.
Di antaranya adalah Bupati Aceh Timur, Bupati Aceh Barat Daya, Bupati Bener Meriah, dan lainnya. Mereka mendukung sepenuhnya multi years, Nova di atas angin. Bahkan ada Bupati yang menuding anggota DPRA.
Dalam hal ini, Nova telah menemukan kawan “koalisi”. Tinggal selangkah lagi, mengunci dukungan Pemerintah Pusat. Jika ini terjadi, satu langkah Plt. Gubernur Aceh sudah mendahului. Tinggal selanjutnya mempergubkan APBA 2021, sambil menunggu reaksi DPRA, apakah akan menggunakan hak angket dan hak menyatakan pendapat? Lebih baik kedua lembaga itu sama-sama mundur selangkah, kalau tidak, saya pastikan, arang habis besi binasa.
*)Kolumnis, tinggal di Pasieraja, Aceh Selatan.