Oleh Nurul Meina (Mei)*
Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Perempuan mengatakan sebanyak 5.649 kasus kekerasan seksual dengan 2.979 secara privat atau personal dan 2.670 kasus di ranah komunitas dan publik. Dari data kasus pelecehan seksual bukanlah hal biasa. Kasus ini harus diperjuangkan dan diusut tuntas secara adil dan serius.
Sebuah Riset dari Lembaga asal Singapura Value Champion menyebutkan bahwa Indonesia peringkat kedua paling tidak aman bagi perempuan, India berada pada peringkat satu. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor, seperti akses layanan kesehatan, minimnya undang-undang tentang perlindungan perempuan, penangganan yang kurang baik terhadap kasus kekerasan dan ketimpangan ekonomi.
Selama 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Kekerasan seksual tidak terdampak oleh pandemi Covid-19. Sepanjang April-Maret 2020 (LBH APIK) mencatat adanya 97 kasus kekerasan seksual, pelecehan seksual 8 kasus, dan kekerasan dalam hubungan pacaran 7 kasus. Pelecehan seksual salah satu dari 15 bentuk kekerasan seksual yang mesti disoroti.
Sampai sekarang, pelecehan seksual sering kali menyudutkan perempuan sebagai korban. Lihat saja seperti catcalling contohnya, godaan orang asing yang mengganggu kenyamanan seseorang, khususnya wanita. Meski terlihat sepele namun tindakan tersebut sudah termasuk dalam pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual melalui kontak fisik dan non fisik sehingga mengakibatkan ketidakyamanan, kesehatan, dan keselamatan jiwa (Komnas Perempuan).
Saya mencoba mendeskripsikan sudut pandang masyarakat bahwa penyebab terjadinya pelecehan seksual yang pertama adalah dari aspek internal, disebabkan karena korban mengunakan pakaian terbuka atau sepantasnya, sehingga pelaku tergoda dengan penampilan korban.
Sedangkan aspek eksternal bahwa pelecehan seksual murni dari niat dan hasrat pelaku, tidak ditimbulkan oleh pakaian korban misalnya wajah dan tubuh. Pelaku menganggap bahwa melakukan pelecehan seksual sudah menjadi kebiasaan terhadap orang yang ditemuinya tanpa memperhatikan bentuk tubuh, pakaian, dan wajah, pelaku melakukan pelecehan seksual tergantung dengan situasi dan kondisi yang mendukung.
Selama ini korban pelecehan seksual sering disalahkan karena dianggap mengundang aksi pelecehan. Lihat saja survei dari Koalisi Ruang Publik. Dari survei ini terlihat model pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang 17,47 persen, baju lengan panjang 15,82 persen, baju longgar 13,80 persen, berhijab panjang atau sedang 13,20 persen, baju lengan pendek 7,72 persen, baju seragam kantor 4,61 persen. Rok selutut 3,02 persen, baju ketat 1,89 persen. Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual 0,17 persen. Bila dijumlahkan ada 17 persen korban berhijab mengalami pelecehan seksual.
Bila melihat kondisi kita harus menyediakan berbagai solusi yang tepat, dengan memperhatinkan korban pelecehan seksual. Sebagian pelaku menganggap bahwa menyentuh tanpa izin, mengirimkan video seksual atau perkataan hal-hal yang mengarah pada seksual hanya sebuah candaan. Namun tanpa disadari bahwa perilaku tersebut sudah termasuk pelecehan seksual. Pelecehan seksual beragam, bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sebagian mereka berada di lingkungan terdekat korban.
Korban pelecehan seksual cenderung memutuskan untuk tidak melaporkan kejahatan yang terjadi. Tindakan tersebut mungkin terlihat seperti jalan pintas, namun sayangnya korban pelecehan seksual rentan mengalami tekanan psikologis yang signifikan. Sebagian besar korban yang pernah mengalami pelecehan seksual jika dibiarkan bisa memicu depresi, tekanan darah tinggi, dan post-traumatic stress disorder.
Dr. Liestianingsih Dwi Dayanti, dosen Universitas Airlangga menyarankan bahwa setiap perempuan harus memiliki empat keberanian untuk melindungi dirinya dari pelecehan seksual. Ialah berani katakan tidak, jangan, dan segera laporkan kepada pihak yang berwajib. Korban tidak boleh hanya berdiam diri saja.
Melindungi yes! Sexual harassment no!
*)Penulis adalah Alumni Fakultas Psikologi UIN Ar-raniry Banda Aceh.