Ahmad Humam Hamid*
Walaupun Haiti telah merdeka lebih dari 200 tahun, negara itu tidak pernah punya sejarah yang menggembirakan. Sejarah Haiti adalah sejarah serial pemeritah otoriter, penindas, korup yang tak pernah berhenti. Haiti juga terkenal dengan pandemi dan berbagai bencana.
Selanjutnya Haiti juga menjadi juara di Kepulauan Karibia dalam hal pengrusakan hutan dan lingkungan yang tidak pernah berhenti. Dan salah satu yang menjadikan negara ini miskin dan papa adalah salah urus lingkungan yang sangat serius bermutualisme dengan pemerintah yang korup.
Ini kemudian yang menjelaskan kenapa gambar di Google earth, dua negara yang berdampingan mempunyai landskap kulit bumi yang sangat berbeda.
Haiti adalah profil masyarakat yang sangat rendah kepercayaannya tidak hanya kepada pemerintah, bahkan kepada siapapun, karena kehidupan telah menjadi belantara kerakusan, kelicikan, dan kekerasan. Sesungguhnya negeri ini adalah negara budak Afrika yang bekerja di pekebunan Perancis sebelum Haiti merdeka.
Tidak salah ketika seorang sejarawan Inggris, Alex von Tunzelmann (2011) menulis kesimpulannya dalam bukunya Red Heat tentang Haiti, Cuba dan Republik Dominika. Tentang Haiti ia menulis sejumlah kata kunci; perbudakan, revolusi, utang luar negeri, deforestrasi, eksploitasi, dan kekerasan.
Bayangkan saja, bantuan bencana internasional pasca gempa dijarah di jalan secara beramai-ramai,karena ketidakpercayaan dan kadang bercampur dengan kerakusan untuk menumpuk.
Pada beberapa tempat terdapat semacam milisi, atau mungkin gangster lokal yang tidak jelas apa ideologinya, kecuali kekerasan, menghardik orang miskin, mengancam pekerja kemanusiaan, dan merampok barang-barang bencana.
Haiti adalah negara yang berada di Laut Karibia, halaman belakang AS yang selalu melibatkan operasi kemanusiaan AS kapan saja terjadi bencana berskala besar. Sebelum gempa, banyak tentara dan pekerja PBB bertugas dimana untuk melerai pertikaian internal Haiti dan memberikan bantuan kemanusiaan.
Ketika kita membaca berbagai laporan media berpengaruh internasional tentang laporan lapangan di Port au Prince, ibu kota Haiti, semua kejadian di Aceh pada waktu tsunami terulang di sana.
Kehadiran pasukan AS untuk mengamankan proses penyelamatan dan pemulihan, kedatangan bantuan luar negeri dengan jumlah sekitar seratus pesawat tiap hari, komitmen AS untuk bangunan dengan kehadiran mantan Presiden Clinton dan Bush Junior, komitmen dan kehadiran hampir 10.000 LSM, terutama Palang Merah International, dan MSF, dokter tanpa batas. Intinya, penanganan Haiti pasca gempa mempunyai kemiripan yang hampir persis seperti apa yang terjadi di Aceh.
Kenapa Haiti gagal? Haiti gagal karena kesiapan internal negara itu, baik pemerintah maupun masyarakatnya tidak siap dengan bencana dengan skala seperti itu. Mereka juga tidak siap secara berkelanjutan ketika program rekonstruksi dilanjutkan. Bedanya seperti siang dan malam dengan tsunami di Aceh.
Salah satu kemiripan antara Aceh dan Haiti pada masa itu adalah bahwa di Aceh juga sedang mengalami konflik dengan senjata berseliweran di mana-mana. Akan tetapi di tengah prahara bencana itu ada suasana “keadaban” yang tinggi terbangun, sehingga siapapun yang datang membantu tidak mempunyai masalah yang berarti.
Walaupun pada awalnya ada perasaan skeptis pada beberapa kalangan, namun yang terjadi di lapangan sebaliknya. Pihak GAM menahan diri, tidak memperkeruh suasana, pihak TNI -Polri berupaya seras mengamankan dan mengendalikan suasana. Pemerintah Aceh mulai jalan tengan tertatih-tatih untuk kemudian semakin berfungsi, dan Pemerintahan SBY-JK hadir dengan kekuatan dan komitmen penuh untuk menyelesaikan bencana dan konflik sekaligus.
Suasana Aceh saat itu seperti mukjizat yang luar biasa. Berbeda dengan Haiti, kesiapan masyarakat, terutama masyarakat sipil tampil dengan luar biasa. Aktivis dan pekerja kemanusiaan yang telah bekerja dan terlatih bertahun-tahun dalam masa konflik segera bertransformasi untuk menjadi aktivis dan pekerja kemanusiaan bencana tsunami. Fakta ini adalah sesuatu yang membuat Aceh sangat berbeda dengan Haiti.
Kata kunci yang menjadi “ikon” pembangunan Aceh pada masa itu adalah “kolaborasi”. Kolaborasi yang sangat kuat antara masyarakat internasional, Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, TNI-Polri dan GAM, negara donor dan lembaga multilateral internasional, NGO internasional dan nasional, TNI-Polri, LSM lokal, masyarakat sipil Aceh, dan berbagai lapisan tokoh komunitas lokal yang tersebar di seluruh Aceh.
Dalam konteks kesiapan daerah, maka hal yang paling penting untuk dicatat adalah komitmen pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat sipil yang menjadi penggerak, pengatur, dan penghubung antara energi besar internasional dan nasional, dan pelayanan kemanusian yang berlanjut dengan kegiatan rekonstruksi pasca bencana.
Kekuatan kolaborasi itu semakin hebat, karena ada “trust”, ada kepercayaan publik yang besar terhadap siapapun yang bekerja untuk Aceh mulai dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, donor, dan LSM dari berbagai tingkatan. Kedua kekuatan itu kemudian bertemu dengan “komitmen” pemerintah daerah yang kuat, baik pada masa Pemerintahan Wagub Azwar Abu Bakar, maupun pada kepemimpinan Irwandi Yusuf.
Terjemahan dari kolaborasi dan “trust” adalah terbaginya pembagian peran kepada semua pemangku kepentingan, terutama kepada pemangku kepentingan lokal yang baru bangkit dari keterpurukan konflik dan hantaman bencana tsunami.
Kalaulah ada pelajaran besar yang dapat diambil dari pemulihan bencana tsunami yang dapat dijadikan modal, maka tiga bersaudara. kolaborasi, komitmen dan “trust”-kepercayaan adalah modal besar Aceh dalam menghadapi bencana apapun kapanpun terjadi.
Covid-19 itu kini datang ke Aceh, dengan model bencana yang jauh berbeda dari tsunami, namun tetap berlanjut dengan daya tular dan daya bunuh yang semakin menjadi-jadi. Siapapun belum bisa memprediksi kapan bala ini akan berakhir, bahkan negara paling hebat dan adi daya sekalipun. Tidak hanya itu, kali ini bencana itu membawa “bencana” kepada setiap jengkal tanah di muka bumi di manapun manusia berada.
Mungkinkah Aceh mengulangi keberhasilan penanganan tsunami kembali kali ini dalam berhadapan dengan Covid-19? Bencana apapun namanya, ketika beurusan dengan manusia dan kemanusian, ada prinsip umum yang berlaku. Di Aceh telah kita buktikan, komitmen, kolaborasi, dan “trust” adalah tiga kata kunci yang membuat Aceh mampu keluar dari petaka tsunami yang paling parah.
Tanda-tanda awal terhadap hidupnya ketiga kata itu sepertinya belum menunjukkan ciri-cirinya. Yang tengah terjadi bahkan sebaliknya. Kalau ketiga kata itu tidak ada dalam konsep dan kerja penanggulangan Covid-19, maka Aceh sulit berharap banyak untuk keluar dengan baik dari bencana mematikan ini.
Menyamakan Aceh dengan Haiti itu terlalu mengada-ngada, tetapi dengan menggunakan indikator komitmen, kolaborasi, dan “trust” sebagai indikator sekaligus sebagai prinsip dalam penanganan Covid-19, membuat kita tahu di mana Aceh kita berada saat ini.
*)Penulis adalah Guru Besar Unsyiah
Dari redaksi: Lhob Mate Corona (LMC) adalah serial tulisan dari Ahmad Humam Hamid, Sosiolog Universitas Syiah Kuala yang ditujukan untuk sharing dan edukasi publik dan pihak-pihak terkait untuk topik Covid-19. Dipublikasikan setiap Selasa dan Sabtu.