Oleh Muazzinah Yacob*
Pandemi Covid-19 (Coronavirus disease) melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Seluruh daerah di Indonesia pun perlu kecepatan, kecakapan, dan ketepatan dalam membuat kebijakan untuk pencegahannya. Aceh dengan berbagai dinamika kebijakan yang diterapkan, tetapi angka kasus Covid-19 tetap meningkat. Data Covid-19 Aceh teranyar yang terkonfirmasi positif 3.834 orang, dalam perawatan 1.832 orang, sembuh 1.857 dan meninggal 145 orang (dinkes.acehprov.go.id, 23 September 2020).
Aceh sedang tidak baik-baik saja maka perlu kerja ekstra dan kerja cerdas pemerintah untuk menanganinya serta kerja sama semua pihak.
Pemerintah Aceh terus berjuang melawan korona dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sejak Maret 2020. Pertama, Plt Gubernur Aceh menginstruksikan masyarakat untuk melakukan pencegahan penyebaran virus korona melalui perilaku hidup bersih dan sehat, serta memperbanyak ibadah kepada Allah Swt yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor: 440/4820 (humas.acehprov.go.id, 14 Maret 2020).
Kedua, Surat Edaran Nomor 440/4989 berisi imbauan agar proses belajar mengajar dilakukan di rumah selama dua pekan terhitung 16-30 Maret 2020 (humas.acehprov.go.id, 16 Maret 2020). Ketiga, Instruksi Plt Gubernur Aceh kepada bupati/wali kota dengan Surat Nomor 440/5458 terkait pembagian paket sembako, mengaktifkan posko dan pencegahan Covid-19 (aceh.tribunnews.com, 28 Maret 2020). Selain kebijakan yang lazim tersebut Pemerintah Aceh juga seolah “menakut-nakuti” masyarakat dengan pengadaan lahan untuk tempat pemakaman jenazah Covid-19.
Pada bulan April 2020 Pemerintah Aceh juga mengeluarkan berbagai kebijakan. Pertama, Keputusan Gubernur Aceh Nomor 360/969/2020 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Skala Provinsi untuk Penanganan Covid-19 dan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 440/1028/2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Aceh (aceh.tribunnews.com, 15 April 2020). Kedua, Surat Instruksi Gubernur Aceh Nomor: 07/instr/2020 bertanggal 14 April 2020 tentang sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat dan ASN agar tidak mudik guna menghindari Covid-19 (beritamerdekaonline.com, 15 April 2020). Ketiga, Surat Edaran Plt Gubernur Aceh Nomor 440/5944 tanggal 15 April 2020 tentang larangan kegiatan bepergian keluar daerah dan/atau kegiatan mudik dan/atau cuti bagi PNS dan TK dalam pencegahan Covid-19 (acehtrend.com, 21 April 2020).
Pada bulan Mei hingga September 2020 juga terdapat Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2020 tentang Perpanjangan Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Tanggap Darurat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Aceh (bpba.acehprov.go.id, 30 Mei 2020); Surat Edaran Nomor 440/10135 tentang Manajemen Menghadapi Dampak Pandemi Covid-19 (news.detik.com, 20 Juli 2020); Instruksi Plt Aceh dengan nomor surat 440/10863 pada 4 Agustus 2020 perintah kepada para bupati di wilayah perbatasan Aceh untuk memperketat penjagaan perbatasan sebagai langkah menanggulangi peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh (humas.acehprov.go.id, 7 Agustus 2020).
Baru-baru ini Plt Gubernur Aceh dalam surat bertanggal 25 Agustus 2020 yang ditujukan untuk bupati dan wali kota di Aceh dalam rangka kampanye pemakaian masker ke seluruh pelosok gampong di Aceh melalui Gerakan Masker Aceh (GEMA) dan adanya Peraturan Gubernur Aceh Nomor 51 tahun 2020 tentang peningkatan penanganan Covid-19 serta penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan.
Pemerintah Aceh yaitu eksekutif dengan semua keputusan, surat edaran, seruan, imbauan, peraturan, dan perintahnya maka sejauh mana efektivitas penanganan yang semestinya berjalan dapat diawasi oleh legislatif sebagai perpanjangan tangan rakyat dalam pengawasan. Namun, apa yang kita risaukan bukan perihal Aceh sedang sakit karena pandemi ini, tetapi Aceh juga sedang sakit karen relasi antara eksekutif dengan legislatif yang saling mencari kesalahan bukan bergandeng tangan untuk “menyembuhkan” Aceh.
Legislatif perlu mereview sejauh mana kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh dalam pencegahan Covid-19. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut merupakan strategi yang tepat, bukan saja kebijakan “asai meukana” alias asal ada sehingga ingin memperlihatkan kepada publik sudah banyak kebijakan yang dilakukan Pemerintah Aceh. Sederet kebijakan yang dibuat pun merupakan dilema kebijakan publik yang berpotensi menimbulkan komplikasi persoalan lainnya misalnya GEMA yang menghabiskan banyak anggaran, tetapi tidak efektif menurukan angka kasus Covid-19 di Aceh sehingga terjadinya pemborosan anggaran dengan hasil yang tidak maksimal. Ditambah perihal transparansi anggaran Covid-19, bantuan untuk masyarakat, insentif tenaga kesehatan, dan sebagainya.
Jika legislatif sebagai representasi publik tidak mampu secara maksimal mengakomodir resahnya publik dengan fungsi pengawasannya, maka tidak heran memang Aceh sedang sangat “sakit”.
“Berdamai” dengan Covid-19
Mau tidak mau, suka tidak suka, pandemi Covid-19 telah nyata hadir dalam kehidupan kita. Kita harus bersiap dan “berdamai” dengannya. Menurut hemat saya, ada beberapa yang bisa dilakukan. Pertama, bidang kesehatan. Pemerintah perlu prioritas dalam bidang ini karena masalah penangan korona ujung tombaknya pada kesehatan. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan sangat perlu baik dengan pemberian insentif, jaminan kepada keluarga, memastikan APD lengkap dan lainnya karena hampir 200 lebih jumlah tenaga kesehatan di Aceh yang terus terpapar korona dan beberapa berguguran.
“Perhatian nyata” pemerintah kepada tenaga kesehatan perlu disegerakan dan secara optimal. Jika tidak, maka beberapa unit layanan seperti puskesmas atau UGD RS di Aceh harus tutup akibat terpapar virus. Kalau ini terjadi, bagaimana bisa melayani masyarakat dengan maksimal sedangkan unit layanan dan tenaga kesehatan juga terpapar.
Kedua, bidang ekonomi. Jaminan aktivitas perekonomian dan pemenuhan kebutuhan dasar. Jika kebijakan pemenuhan kebutuhan tidak difokuskan secara serius maka akan menimbulkan instabilitas ekonomi dan keresahan publik yang bisa memicu kriminalitas. Tidak ada yang bisa menduga hadirnya korona yang meruntuhkan perekonomian secara tiba-tiba. Pemerintah harus menjamin aktivitas perekonomian tetap berjalan misalnya dengan membuat gerakan ekonomi kreatif dengan berbasis digitalisasi. Di sini dituntut Pemerintah Aceh untuk memastikan adanya regulasi berjalan secara baik sehingga ekonomi kreatif Aceh perlu dikembangkan secara meluas dan maksimal.
Ketiga, kolaborasi multipihak. Aksi nyata dan sinergisitas mulitipihak dalam merumuskan kebijakan sangat diperlukan sehingga dasar regulasi yang akan dijalankan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bukan hanya deal-deal politik dan tidak menjadi kebijakan yang blunder. Dalam hal ini walau anggapan kekuasaan ada di tangan eksekutif, tetapi tidak bisa egois karena kebijakan yang dihasilkan untuk kepentingan umum bukan saja kebijakan sesaat. Adapun kolaborasi multipihak yaitu dengan konsep pentahelix, di mana unsur pemerintah, masyarakat/komunitas, akademisi, pelaku bisnis, dan media massa bersatu mencegah Covid-19.
Pemerintah Aceh segera mengumumkan transparansi alokasi anggaran Covid-19, masyarakat/komunitas juga harus terlibat dalam penanganan dengan perubahan perilaku dengan menerapkan protokol kesehatan dalam kesehariannya. Akademisi dan “warga” universitas diperlukan peran dan kontribusinya untuk melakukan kajian-kajian yang dapat membantu memberi masukan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan agar kebijakannya lebih inovatif, partisipatif, dan komprehensif. Para pelaku bisnis memastikan wujud CSR-nya dalam membantu warga terdampak korona maknanya bahwa yang “berlebih” harus membantu yang “kekurangan”. Media massa punya tugas untuk terus mengedukasi publik sehingga sumber informasi akan membentuk persepsi dan keputusan publik.
Keempat, menjadi masyarakat produktif. Tetap produktif namun patuh protokol kesehatan. Kondisi pandemi ini belum dapat diprediksi berakhirnya sehingga sehat dan produktif mesti terus dijalankan walau kepanikan holistik masih terjadi. Produktivitas akan mendorong mewujudkan kualitas hidup walau saat pandemi. Ada banyak cara menjadi produktif seperti bertani, berkebun, atau melakukan berbagai aktivitas berbasis online seperti mengikuti kursus dan berjualan. Mari berdamai dengan Covid-19. Insyaallah Aceh sehat dan produktif.[]
Penulis adalah dosen FISIP UIN Ar-Raniry
Editor : Ihan Nurdin