ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Komisioner Komisi Informasi Aceh (KIA), Nurlaily Idrus SH MH, mengatakan adanya momentum Hari Hak untuk Tahu Sedunia atau Right to Know Day bisa menjadi pendorong bagi masyarakat khususnya perempuan untuk mengakses berbagai informasi publik, khususnya terkait pandemi Covid-19 yang saat ini sedang melanda dunia.
Hal itu disampaikan Nurlaily Idrus saat menjadi narasumber bersama jurnalis aceHTrend, Ihan Nurdin, dalam bincang-bincang bertema “Hari Hak untuk Tahu Sedunia” di Radio Serambi FM, bertepatan dengan momentum Hari Hak untuk Tahu Sedunia pada Senin (28/9/2020).
“Hari Hak untuk Tahu ini hadir berdasarkan keinginan masyarakat dunia yang menginginkan adanya transparansi dan keterbukaan informasi publik yang bisa diakses oleh masyarakat. Diperingati sejak tahun 2002 di Bulgaria,” kata Nurlaily.
Mengenai hal ini kata dia, Pemerintah Republik Indonesia secara khusus telah melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai salah satu pemenuhan hak asasi warga negara untuk mengetahui informasi publik. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28F.
Sejak reformasi, masyarakat sipil mempunyai andil besar dalam mendorong keterbukaan informasi publik di Indonesia hingga lahirnya undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut mulai diimplementasikan sejak 2010 oleh pemerintah. Sedangkan di Aceh, mulai diterapkan dengan dibentuknya Komisi Informasi Aceh pada tahun 2012.
“Aceh termasuk provinsi yang cepat sekali tanggap pada undang-undang ini sehingga tak lama setelah undang-undang ini diterapkan, dua tahun berikutnya di Aceh sudah terbentuk komisi informasi. Sekarang sudah memasuki periode ketiga,” ujarnya.
Dengan adanya undang-undang ini kata Nurlaily, seluruh rakyat Indonesia telah dijamin oleh undang-undang untuk memperoleh haknya dalam mengakses informasi publik. Di sisi lain, negara juga punya kewajiban untuk memberikan akses informasi kepada masyarakat, kecuali untuk informasi-informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia.
“Jadi, para perempuan kalau ingin mengakses informasi publik tidak perlu takut-takut, ini sudah dijamin oleh undang-undang. Masyarakat punya hak untuk tahu, pemerintah punya kewajiban untuk menginformasikan terkait perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi sejauh ini sudah dilakukan audit oleh pihak terkait,” katanya lagi.
Nurlaily juga menjelaskan, ada sedikit perbedaan mekanisme dalam mengakses informasi publik, yaitu dengan mengikuti alur-alur tertentu yang sudah ditentukan berdasarkan undang-undang. Sebagai contoh kata dia, jika masyarakat ingin mengetahui informasi mengenai layanan pendidikan atau kesehatan di masa pandemi ini, masyarakat bisa langsung mendatangi badan publik terkait. Badan publik juga diwajibkan menyediakan meja layanan informasi untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi.
Namun, ketika informasi publik yang diminta oleh masyarakat tidak diberikan oleh badan publik, maka informasi tersebut bisa diajukan melalui Komisi Informasi Aceh. Nantinya komisioner KIA akan memfasilitasi agar pemohon informasi bisa mendapatkan haknya, tetapi kalau juga tidak diberikan bisa berlanjut dalam sidang sengketa informasi seperti yang berlaku pada sidang di pengadilan tingkat pertama. Bahkan, jika tidak juga selesai dalam tahapan ini, pemohon bisa mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Ihan Nurdin mengatakan, pandemi telah memunculkan berbagai dampak dan secara khusus dialami oleh perempuan. Salah satunya adalah beban ganda yang dialami oleh perempuan. Sebagai contoh, selama ini orang tua sudah mendelegasikan pendidikan formal anaknya ke institusi pendidikan, tetapi ketika pandemi terjadi dan belajar dari rumah terjadi, maka mau tidak mau orang tua harus menjadi guru untuk mendampingi anak-anaknya belajar di rumah.
Baca: Beban Ganda Perempuan Bertambah di Masa Pandemi, Apa Solusinya?
“Biasanya pekerjaan-pekerjaan seperti ini lebih sering dibebankan kepada ibu di rumah. Bayangkan, beban yang ditanggung oleh seorang ibu, selain melakukan pekerjaan domestik, mereka juga harus menjadi guru, belum lagi kalau mereka juga bekerja. Dalam kondisi yang lain, mereka kadang-kadang juga dituntut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga karena ada yang suaminya putus kerja karena kondisi ini,” kata Ihan.
Oleh karena itu, Ihan berharap dengan adanya keterbukaan informasi publik bisa sedikit mengurangi dampak-dampak yang dihadapi oleh perempuan, baik secara fisik maupun psikologis. Namun, perempuan juga dituntut lebih aktif untuk mendapatkan haknya dalam mengakses informasi. Apalagi saat ini informasi mudah didapat dengan adanya fasilitas teknologi informasi.
“Di sisi lain masyarakat yang sudah melek informasi juga tak ada salahnya berbagi informasi kepada masyarakat di sekitarnya, khususnya kalangan perempuan tanpa perlu mereka minta. Mudah-mudahan solidaritas kita sebagai anggota masyarakat terus terbentuk,” katanya.[]