Oleh Syah Reza*
Menulis tentang identitas Aceh, kita dihadapkan pada kondisi dilematis. Selain minimnya referensi yang otoritatif, secara terpaksa kita harus mau merefer pada sarjana Barat yang tampaknya mendominasi dalam penulisan sejarah Aceh. Ditambah, sebagian besar buku sejarah di Indonesia hanya menjelaskan secara umum masuknya Islam ke Nusantara tanpa mengafirmasi peran sentral Aceh dalam proses penyebaran Islam. Kondisi demikian yang membuat identitas Islam seakan tertutupi oleh identitas lain (Baca: Hindu) yang begitu kental dalam buku buku sejarah Nasional. Persoalan utama ada pada penulisan sejarah.
Sebagian menganggap penulisan sejarah adalah kerja netral yang terlepas dari kepentingan ideologis. Padahal unsur subjektivisme sangat kuat. Bahkan tak jarang, sejarah yang awalnya tidak ada, sengaja diciptakan untuk sebuah kepentingan. Maka tak heran ketika menyentuh tema Aceh, umumnya publik lebih banyak disuguhnya wajah konflik, anti NKRI, bencana dan tanaman ganja dibandingkan persoalan intelektual. Sesekali wajah kemiskinan yang selalu terawat, pendidikan yang sakit, dan wajah Syariat Islam yang seakan menakutkan, mewarnai lembaran media. Tema-tema sosial politik tersebut yang tampaknya menarik di mata peneliti lokal. Di sisi lain sarjana Barat malah lebih giat menggali khazanah intelektual yang melekat pada sejarah Aceh. Potret di atas seperti dua kutub yang berbeda.
Sarjana Barat memang lebih awal mengisi ruang intelektual dalam mengkaji identitas Aceh. Karya-karya terkait sejarah Aceh didominasi oleh mereka seperti Snouck Hurgronje, Anthony Reid, Denis Lombard, P. Voorhoeve, A.H. Johns, G.W.J. Drewes, dan lain-lain. Dalam konteks peradaban, kesadaran sejarah kaum orientalis tampaknya lebih tinggi dari kita. Mereka sudah membangun agenda itu sejak abad pertengahan, kita seperti masih terkubur dalam stigma kemunduran. Sehingga, lebih memilih mengkonsumsi karya mereka tentang identitas Aceh tanpa filter daripada menulis kembali sejarah.
Tren Penulisan Sejarah
Bagi peradaban maju, intelektual diyakini menempati posisi sentral dalam proses pembentukan identitas sebuah bangsa. Identitas itu melebur dalam sejarah. Artinya, warna identitas tergantung dominasi sejarah yang dimiliki suatu bangsa. Jika sejarah hilang, rusak, dan mengalami distorsi, maka identitas akan kabur, dan berpengaruh besar pada proses membangun bangsa. Lebih jauh, menulis sejarah adalah kerja intelektual yang mampu mengkontruksi nalar masyarakat dibandingkan kerja politik yang mungkin terbatas oleh masa. Kesimpulan ini tampaknya dipakai oleh Kolonial saat menginjakkan kaki ke Serambi Mekah.
Di sisi lain, jika dilihat sepintas peneliti lokal lebih menarik membaca dinamika politik yang berkembang saat ini. Apalagi Aceh sedang berada dalam tren politik. Tingginya semangat masyarakat untuk terlibat dalam pentas politik praktis salah satu bukti atas itu. Untuk sampai pada narasi politik Aceh, sebagian peneliti mengambil sejarah pasca kolonial sebagai periode kunci dalam membangun identitas politik Aceh. Sebagian lain melihat masa kerajaan Samudra Pasai hingga Abad 18 adalah poin penting membaca Aceh hari ini.
Beragam pandangan dalam membaca Aceh hadir, namun perspektif sosial politik lebih marketable dan mendapat support dari sponsor. Bahkan wacana politik terekam kuat dalam logika publik. Buktinya, isu Politik selalu menjadi headline di media-media Aceh. Menjadi pembicaraan update di warung kopi, kantor, dan tempat publik. Bahkan semua realitas yang terjadi diseret dalam paradigma politik. Seakan politik telah menyihir kesadaran masyarakat, sehingga lupa pada aspek utama yaitu intelektual yang beririsan dengan agama sebagai sumber sejarah. Wacana intelektual terasa sepi, seakan tidak mendapat tempat dalam kesadaran masyarakat.
Narasi di atas bukan membenturkan antara politik di satu sisi, agama dan intelektual di sisi lain. Tetapi adanya ketidakseimbangan dalam membaca Aceh. Lebih tragis lagi pada program pemerintah, seperti meninggalkan prioritas di atas kerja yang bersifat pragmatisme.
Wajah Intelektual
Jika membaca kembali sejarah, kultur intelektual lebih mendominasi identitas masyarakat Aceh sejak Samudra Pasai hingga Abad 19 M. Salah satu bukti bisa dilihat dari catatan sejarah. Ketika mengunjungi Samudra Pasai pada abad 14 M, dipimpin oleh Sultan Malik Az-Zahir, Ibn Batuthah mencatat tentang kultur intelektual yang mewarnai istana, dan kegemaran raja mendiskusikan perihal ilmu agama. Di samping itu, Istana membuka akses bagi masyarakat untuk kegiatan intelektual. Bahkan, saat menetap di Aceh selama 15 hari ada kesan mendalam bagi Ibn Bathutah sehingga ia menyimpulkan “ternyata kerajaan Samudra Pasai telah menjadi tamaddun (peradaban).” Kesimpulan bahwa Aceh sebagai tamaddun, jelas mengandung makna yang tinggi, terutama hubungannya dengan budaya intelektual.
Terkait Istilah tamaddun, Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan bahwa Istilah tamaddun (akar kata dari madana) lebih banyak dipakai oleh dunia Melayu untuk definisi Peradaban. Dibandingkan kata Hadharah, Tsaqafah, Umran, Tahdhib, yang juga bemakna peradaban, istilah tamaddun lebih tepat dan representatif wajah peradaban Islam yang berdiri di atas kepercayaan (Islam) dengan kuatnya budaya intelektual.
Budaya intelektual di abad-abad selanjutnya (16-18 M) berkembang pesat dengan produktifnya para ulama menulis karya dalam berbagai disiplin, ilmu agama, Filsafat, sejarah, politik, sastra dan ilmu alam. Bahkan empat figur ulama yang menduduki posisi qadhi yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatra’i, Nuruddin A-Raniry, dan Syeikh Abdurrauf Al-Fansuri cukup intens menulis karya. Mendominasi warna keilmuan ketika itu yang bercorak aqidah, tasawuf dan fikih. Bahkan dialektika keilmuan di antara mereka mewarnai isu agama di Nusantara hingga menjadi bagian dari wacana intelektual di dunia Arab. Berbeda dengan saat ini, perhatian Pemerintah Aceh Darussalam terhadap ilmu ketika itu cukup tinggi. Karena aspek intelektual diyakini memiliki pengaruh pada marwah (baca: harga diri) kepemimpinan.
Ketika masa peperangan melawan kolonial, kultur intelektual memang tampak sedikit menurun karena perhatian pemimpin dan masyarakat terpusat pada peperangan melawan penjajah. Sekalipun demikian, balai pengajian (Aceh: balee beuet) dan dayah masih hidup. Kondisi demikian mempertegas bahwa sebenarnya transmisi ilmu Islam di Aceh tidak terputus hingga hari ini.
Mempertegas Identitas
Aceh adalah pintu gerbang Islam di Asia tenggara yang mestinya menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat di Nusantara terkhusus Indonesia. Bicara Aceh bukan bicara primordialisme, bukan juga narasi klasik anti-nasionalisme, tetapi rasa memiliki bahwa Aceh sebagai induk sejarah Islam yang menyatukan umat Islam di dataran Melayu. Kajian Aceh harus ditarik ke dalam lingkaran sejarah. Idealnya dikaji dari perspektif historiografi. Karena di sana tersimpan identitas Peradaban Islam yang melebihi dari sekedar narasi politik, atau jejak konflik. Ini mestinya kerja utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan disokong oleh masyarakat. Yaitu merumuskan kembali identitas sejarah Islam untuk menjadi patron dalam proses pembangunan Aceh.
Mempertegas identitas Aceh, sekilas sudah terekam dalam hadih maja yang ditulis oleh Syeikh Abdurrauf al-Fansuri yaitu: adat deungon hukom, lagee dzat ngen sifeut. Artinya, Aceh (adat) dan Islam (syariat) ibarat zat dengan sifat yang tidak bisa dipisahkan. Dua unsur yang bersatu dalam satu entitas. Itu menandakan wajah Aceh adalah wajah Islam yang menjadi induk bangsa Melayu yang semestinya dijaga bersama oleh seluruh lapisan masyarakat muslim di Asia tenggara. Ketika penulisan tentang Aceh tidak dipertegas pada identitas sejarah Islam, maka konsekuensi logis berpengaruh pada kaburnya identitas Islam di dunia Melayu. Timbul pertanyaan, apakah ada kesengajaan menghilangkan peran Aceh sebagai induk Islam di negeri ini? Ini perlu kajian serius.
*)Penulis adalah Peneliti di Islamic Institute of Aceh.
Komentar