ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Plt Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT, digugat masyarakat Aceh ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Senin (6/10/2020) terkait surat edaran penggunaan stiker pada kendaraan yang mengunakan BBM solar subsidi dan premium (premium tidak lagi disubsidi oleh pemerintah-red). Tidak tanggung-tanggung, Ketua DPD I Partai Demokrat Aceh itu dan dua “mitranya” digugat harus membayar kerugian immaterial senilai 1 triliun rupiah.
Syakya Meirizal, salah seorang penggugat menyampaikan, pihaknya selaku masyarakat Aceh melakukan gugatan class action terhadap Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, terkait dengan Surat Edaran Nomor 540/9186 Tahun 2020 tertanggal 2 Juli 2020 tentang program stickering Pada kendaraan sebagai strategi untuk penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) dan Jenis Bahan Minyak Khusus Penugasan(JBKP) yang tepat sasaran.
“Gugatan tersebut kami lakukan berdasarkan hasil kajian bahwa ada perbuatan melampaui kewenangan yang dilakukan Plt Gubernur Aceh,” kata Syakya saat mendaftarkan gugatannya.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dijadikan Tergugat I, berikut PT Pertamina (Persero) Cabang Aceh sebagai Tergugat II dan Hiswana Migas Aceh sebagai Tergugat III.
Menurut Syakya, program stickering berdasarkan Surat Edaran Nomor 540/9186 Tahun 2020 tanggal 2 Juli 2020, bertujuan membuat malu rakyat.
Sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Gubernur Aceh, maka Pertamina melakukan tahapan sosialisasi di seluruh Aceh, di antaranya pelaksanaan penempelan stiker BBM berlangsung selama 7 hari mulai tanggal 18-24 Agustus 2020.
Kemudian Hiswana Migas Aceh melakukan pemasangan/stikering pada kendaraan di Aceh.
Perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat sangat bertentangan dengan amanah UUD 1945 dalam Pasal 28G Ayat 2 yang berbunyi “hak warga negara untuk bebas dari penyiksaan. Setiap warga Negara tidak berhak untuk disiksa dan direndahkan martabatnya”.
Program stikering yang dianggap Pemerintah Aceh merupakan strategi yang digunakan untuk pendistribusian yang tepat sasaran dan tidak menimbulkan konflik di masyarakat, serta PT Pertamina menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak(BBM), ternyata kenyataan di lapangan, masyarakat yang dipermalukan dengan penempelan stiker tersebut tidak juga memperoleh minyak secara mudah.
“karena ketersediaan bahan bakar minyak premium dan solar sering kosong, dan kalaupun ada tetap harus mengantri dengan antrian yang sangat panjang,” terang Syakya.
Dia juga menyinggung kalimat yang tercantum pada stiker tersebut. Dari segi sosial sangat mencerminkan kalimat yang memalukan. Tidak etis, memojokkan dan merendahkan martabat masyarakat Aceh. Adapun bunyi kalimat yang dicantumkan dalam stiker tersebut adalah, “BUKAN UNTUK MASYARAKAT YANG PURA-PURA TIDAK MAMPU”. Stiker untuk pengguna BBM solar berisi: “SUBSIDI UNTUK RAKYAT, BUKAN UNTUK PARA PENIMBUN YANG JAHAT”.
“Perbuatan yang dilakukan para Tergugat dengan melakukan labelisasi/stikering terhadap kendaraan sangat merugikan Penggugat selaku masyarakat Aceh dan warga negara Indonesia. Penggugat tidak dapat melakukan pengisian BBM jenis premium dan solar dikarenakan tidak memasang stiker sebagaimana yang disebutkan tadi,” ujar Syakya.
Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh Nova dan “mitra kerjanya” itu, menurut Penggugat sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.
Lebih detail lagi, Syakya mengatakan, ketiga Tergugat telah melanggar Perpres No 191 Tahun 2014 Pasal 3 Jenis BBM tertentu seperti premium tidak termasuk lagi dalam Jenis BBM yang disubsidi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Syakya juga menyebutkan Nova, Pertamina dan Hiswana melanggar Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 ayat (2), (3) dan (7) yang menerangkan tentang hak-hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa sesuai nilai tukar, hak terhadap informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Nova juga melanggar pasal 47 huruf a Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan: ”Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, anggota keluarga,kroni, golongan tertentu atau kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.
SE itu Juga bertentangan dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak.
1 Triliun Rupiah
Syakya dan 23 Penggugat lainnya, dalam gugatan class action-nya menyebutkan, atas semua pelanggaran yang dilakukan, sangat beralasan bagi Pengadilan Negeri Banda Aceh harus menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dihukum secara tanggung renteng untuk membayar kerugian immateriil kepada masyarakat Aceh sebesar Rp satu triliun.
“Akibat ulahnya yang telah menyebabkan timbulnya keresahan dan kerugian rakyat, sudah sepantasnya ketiganya dihukum 1 triliun rupiah secara tanggung renteng,” kata Koordinator MPO itu.
Untuk memperkuat gugatan tersebut, para Penggugat melibatkan 13 orang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KAPRa sebagai pendamping hukum. []
Komentar