• Tentang kami
  • Redaksi
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
aceHTrend.com
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil

Perempuan di Perguruan Tinggi Pesantren

Redaksi aceHTrendRedaksi aceHTrend
Selasa, 06/10/2020 - 17:27 WIB
di OPINI, Artikel
A A
Muhibuddin Hanafiah

Muhibuddin Hanafiah

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Muhibuddin Hanafiah*

Perempuan, kata pertama pada sebuah tulisan biasanya untuk memantik emosi pembaca. Ada apa dengan perempuan, mengapa namanya selalu dibawa-bawa oleh para lelaki. Apa bedanya dengan laki-laki, apakah namanya sudah tidak laku lagi di mata peneliti? Mau tahu beda antara perempuan dan laki-laki di mata peneliti?

Pertama, perempuan itu seksi secara visual sehingga menarik selera perbincangan kaum laki-laki yang karakteristiknya dominan visual. Apa pun tema yang dikaitkan dengan perempuan akan diperhatikan oleh kaum laki-laki normal. Kedua, masalah takdir sosio-kulturalnya yang membuat status dan kedudukannya kurang beruntung—untuk tidak mengatakan—memprihatinkan, terutama di mata para peneliti. Ketiga, cukup dua saja dulu alasan para peneliti mengurai topik tentang perempuan.

Kata kedua pada judul tulisan ini adalah perguruan tinggi. Menyebut perguruan tinggi atau pendidikan tinggi bayangan pembaca pasti tertuju pada kampus sebuah universitas, institut, sekolah tinggi, atau akademi yang gedungnya megah dengan mahasiswinya yang cantik-cantik dan mahasiswanya muda dan ganteng. Mungkin akan lebih mengherankan lagi jika perguruan tinggi dikait-kaitkan dengan pesantren, sungguh tidak sepadan. Sebab, sudah terlanjur terganjal dalam pikiran pembaca bahwa pesantren itu hanya sebuah tempat belajar agama anak-anak kampung yang tidak diterima di sekolah karena keterbatasan orang tua mereka untuk membayar sejumlah biaya pendidikan yang mahal. Santri laki-laki berseragam sarung tua dan peci usang di kepala. Sementara santri perempuan juga berbekal sarung tua, baju kemeja berlengan panjang dan jilbab sederhana, polos tanpa motiv menutupi rambut di kepala.

BACAAN LAINNYA

Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Unsyiah.

LMC (76): Era Islam Klasik: Wabah dan Peradaban (II)

26/01/2021 - 12:44 WIB
Dian Guci

Tangan Jahil Kita, Monstera, dan Efek Kupu-Kupu

26/01/2021 - 09:56 WIB
Sadri Ondang Jaya

Pelestarian Budaya Lokal Mengangkat Citra Daerah

25/01/2021 - 12:46 WIB
Cut Fitri Yana

Memaksimalkan Pembelajaran di Masa Pandemi

25/01/2021 - 12:34 WIB

Melurus Image

Singkatnya, tidak ada sisi yang bisa diapresiasi dari yang namanya pesantren. Itulah steriotipe yang terlanjur terkonstruksi terhadap lembaga pendidikan tradisional ini. Sementara kampus, dari namanya saja sudah terbangun sebuah imajinasi yang penuh kegemerlapan. Sebuah lingkungan yang elitis, bersih, tertata, tertib, dan teratur dengan orang-orangnya yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Konon lagi bicara tentang fasilitas, lokasi, birokrasi, dan dukungan pemerintah serta kerja sama dengan sejumlah pihak dalam dan luar negeri. Karena itu membandingkan dengan perguruan tinggi, maka pesantren tidak ada apa-apanya. Suatu pembanding yang amat jauh dan tidak bisa disandingkan satu dengan yang lain.

Kata ketiga dari judul di atas adalah perguruan tinggi di pesantren. Aneh-aneh saja, memangnya ada perguruan tinggi di pesantren? Apa mungkin dua dunia yang sangat berjauhan dipertemukan? Apa masuk akal langit dan bumi dipertemukan, ibarat mempertemukan ikan di laut dengan asam di gunung? Jangan mengada-adalah, bicara yang logis dan konkret sajalah. Mungkin demikian nada protes sebagian pembaca yang belum tahu sama sekali bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Ini zaman semua serba mungkin terjadi, konon lagi mempertemukan dua lembaga yang sama-sama menangani masalah pendidikan masyarakat, maka sungguh sangat mungkin. Jika universitas sebuah perguruan tinggi, maka pesantren juga mampu menghadirkan sebuah perguruan tinggi. Bahkan dalam sejarah dibangunnya hampir sebagian besar kampus atau univesitas di dunia, justru berawal dari sebuah lembaga keagamaan, seperti gereja (Barat). Demikian juga pengalaman umat Islam di Timur (Asia), institusi pendidikan awal bersemi dari sebuah masjid, surau, meunasah, dan mushala atau balai. Jadi, hadirnya perguruan tinggi di pesantren merupakan sebuah keniscayaan yang historis.

Jika dua entitas di atas sudah bisa diterima dengan hati dan pikiran yang lapang, maka akan mudah untuk menerima kehadiran sesosok makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan di perguruan tinggi pesantren. Sebab, di universitas atau istilah perguruan tinggi lainnya, kaum perempuan itu eksis di sana dan menjadi bagian dari kaum laki-laki sehingga ada istilah mahasiswa dan mahasiswi, atau mahasiswa putra dan mahasiswa putri. Jika demikian, sama juga halnya dengan keberadaan perempuan di perguruan tinggi pesantren, hadir untuk melengkapi adanya mahasantri laki-laki di sana. Maka mahasantri perempuan di sebuah perguruan tinggi pesantren juga sebuah keniscayaan yang tidak harus ditolak dan dianggap tidak patut.

Menerima kenyataan

Persoalan sekarang adalah apa dan bagaimana rupa perguruan tinggi di pesantren itu? Jika memang ada, apakah sama persis dengan perguruan tinggi di luar pesantren yang selama ini dikenal? Pesantren di Aceh (dayah) agak berbeda dengan di Jawa dalam penetapan jenjang pendidikan. Dayah lazimnya hanya menerima calon pelajar (santri) sekitar usia jenjang SLTP ke atas, sementara pesantren sudah menerima santri usia SD/MI. Sehingga jenjang pendidikan di dayah dan di pesantren ada perbedaan tahapan memulainya. Namun, sekarang sudah ada satu persamaan dengan pesantren, di mana di beberapa dayah besar di Aceh sudah berdiri jenjang pendidikan tinggi yang setara dengan perguruan tinggi atau universitas, yaitu apa yang dinamakan dengan ma’had aly.

Nah, inilah nama atau istilah bagi perguruan tinggi di dayah. Secara bahasa “ma’had” artinya kampus, perguruan, tempat belajar (study center) atau pusat belajar. Sedangkan “aly” artinya tinggi atau teratas. Jadi ma’had aly adalah perguruan tinggi yang sejenis dengan sekolah tinggi, akademi, institut, jami’ah, atau universitas.

Ma’had aly sebagai sebuah perguruan tinggi di pesantren secara substansial sama dan sederajat dengan perguruan tinggi pada umumnya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan yang mendasar antar keduanya. Sama-sama menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, atau pendidikan pascasekolah menengah atas, atau setara madrasah ‘aliyah. Sistem belajar (perkuliahan) juga menggunakan sistem kredit semester (SKS), metode perkuliahan seminari dengan menggunakan referensi ilmiah.

Singkatnya, ma’had aly juga mengemban tridarma perguruan tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Demikian juga kelengkapan lain sebagai sebuah perguruan tinggi, seumpama visi, misi dan tujuan, statuta, rencana induk strategis, struktur organisasi, kurikulum, perpustakaan, kantor, tenaga pendidik dan kependidikan, mahasiswa (mahasantri), sistem pendanaan, sarana ibadah, sarana olah raga, klinik kesehatan, kooperasi, dan lain-lain. Tamatan atau alumni memperoleh gelar dan ijazah sehingga bisa melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya.

Meminimalkan Perbedaan

Sementara perbedaannya hanya pada karakteristik sebuah perguruan tinggi di lingkungan pesantren. Yaitu adanya beberapa kekhususan, seperti fokus utama pada kajian ilmu-ilmu keagamaan (yatafaqqahu fiddin) dengan referensi kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu (turats), sebagian besar dosennya merupakan alumni pesantren dan telah memperoleh pendidikan tambahan di luar pesantren, biasanya alumnus S2 dan S3 di universitas Timur Tengah, hanya membuka satu konsenterasi studi keagamaan seperti fiqh/ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dirasah islamiyah, ulumul hadits, dan lain-lain, harus berada di lingkungan pesantren dan dikelola oleh masyarakat bukan pemerintah, koordinasi dan pembinaannya berada di bawah Kementerian Agama, calon mahasantri merupakan santri atau alumni pesantren itu sendiri lebih direkomendasikan, pembiayaan mandiri di samping memperoleh dana pemerintah namun tidak seberapa bila dibandingkan dengan dana BOPTN yang diperoleh PTN.

Terakhir, adakah masalah dengan perempuan di perguruan tinggi pesantren? Sejujurnya secara umum tidak ada masalah yang sangat krusial sebagaimana juga di perguruan tinggi umum di luar pesantren. Akan tetapi bila ditilik-tilik, dibolak-balik, dan ditimang-timang ditemukan sejumlah ganjalan yang dialami oleh santri perempuan dalam sistem pendidikan pesantren.

Pertama, santri perempuan pada umumnya masih minoritas di pesantren tradisional (kecuali pesantren modern). Kedua, peluang menuntaskan pendidikan sampai akhir masa belajar sangat terbatas, alias gugur di tengah jalan dengan berbagai faktor yang menyertai. Ketiga, ekspektasi terhadap santri perempuan sebagai kader ulama masih sangat rendah, baik dari dirinya sendiri maupun dari perspektif kaum laki-laki, mulai dari dukungan keluarga, masyarakat, pimpinan pesantren, dan pemerintah. Keempat, budaya patriarki masih membendung alumnus pesantren untuk enggan berkiprah sebagai ulama perempuan di ranah publik.

Nah, inilah hambatan-hambatan yang masih mematahkan jalan mulus perempuan lulusan pesantren yang notabenenya sudah bisa dikategorikan sebagai ulama yang sejajar dengan ulama laki-laki alumni pesantren. Akibatnya, jarang berkibar di masyarakat sesosok ulama perempuan alumni pesantren.

Belum bisa dipredikisi entah bagaimana nanti para sarjana pesantren, alumni ma’had aly diapresiasikan oleh stakeholder pendidikan di negeri ini. Apakah kesarjanaan mereka sebagai alumnus perguruan tinggi pesantren akan berdiri dan diberdirikan sejajar dengan sarjana keluaran perguruan tinggi umum nonpesantren? Atau sebaliknya, didiskriminasi dan diciptakan distingsi (perbedaan) sebagai kelas sosial baru di dalam kelompok kaum teknokrat neo-modernis sehingga terbangun jurang yang dalam guna memisahkan siapa yang dipandang dan siapa yang diabaikan. Harapan hati adalah adanya keadilan, kesejajaran, dan kesamaan pandangan sebagai sesama anak bangsa tanpa membedakan entitas apapun yang melekat. Semoga![]

Penulis adalah dosen UIN Ar-Raniry dan peneliti pesantren. E-mail: [email protected]

Editor : Ihan Nurdin

Tag: Muhibuddin Hanafiahopini acehtrendpesantren
Share79TweetPinKirim
Sebelumnya

Istri Bupati Bireuen Akan Fasilitasi Tiket Pesawat untuk Dara Yatim yang Lulus Beasiswa ke Sudan

Selanjutnya

Rini, Karyawan Bank Nasional yang Ikut Program Magang Barista di Bener Meriah

BACAAN LAINNYA

aceHTrend.com
Artikel

Syekh Ali Jabeer dan Guru Sekumpul, Yang ‘Hidup’ Setelah Wafat

Rabu, 27/01/2021 - 07:22 WIB
Ida Hasanah. Alumnus UGM Yogyakarta.
Artikel

Peran Lembaga Penyiaran Di Aceh Dalam Pelestarian Cagar Budaya

Selasa, 26/01/2021 - 17:23 WIB
Ahmadi M. Isa.
Celoteh

Generasi Muda Aceh Harus ‘Divaksin’

Kamis, 21/01/2021 - 09:40 WIB
Mukhlis Puna
OPINI

Asal Mula Siswa Berkarakter Berawal dari Guru

Rabu, 20/01/2021 - 11:46 WIB
Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Unsyiah.
OPINI

LMC (76): Orang Tua dan Covid-19: Kenapa Harus Serius?

Selasa, 19/01/2021 - 18:48 WIB
Bendera Pemerintah Otonomi Bangsamoro. Foto?ist.
Jambo Muhajir

Jalan Tengah untuk Bendera Aceh

Selasa, 19/01/2021 - 16:03 WIB
aceHTrend.com
OPINI

Digitalisasi di Sekolah, Burukkah?

Senin, 18/01/2021 - 10:52 WIB
Sadri Ondang Jaya. Foto/Ist.

Sadri Ondang Jaya dan Singkel

Sabtu, 16/01/2021 - 23:47 WIB
Ilustrasdi dikutip dari website seni.co.id.
Jambo Muhajir

Kolom: Pelacur

Kamis, 14/01/2021 - 18:47 WIB
Lihat Lainnya
Selanjutnya
Rini Adisty @aceHTrend/Hasan Basri M Nur

Rini, Karyawan Bank Nasional yang Ikut Program Magang Barista di Bener Meriah

Kolomnis - Ahmad Humam Hamid
  • aceHTrend.com

    Kowas-LSG Aceh Singkil Wacanakan Pilkada Bernilai Syariat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bila Mau Pindah ke Aceh, Warga Malang, Jawa Timur Dapat Jatah 1 Hektar Lahan/KK

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seorang Bocah di Abdya Meninggal Diduga Akibat Keteledoran Petugas Puskesmas , Ini Penjelasan Kadinkes

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Syekh Ali Jabeer dan Guru Sekumpul, Yang ‘Hidup’ Setelah Wafat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inilah Manfaat Kopi, Mulai untuk Menghilangkan Selulit hingga Bikin Awet Muda

    17 shares
    Share 17 Tweet 0
Ikatan Guru Indonesia

UPDATE TERBARU

H. Mukhlis, A.Md, Dirut PT Takabeya Perkasa Group, Kamis (28/1/2021) menyerahkan donasi untuk pengobatan Aqila Fitriani (19 bulan) yang mengidap gizi buruk. Foto/Ist.

Dapat Informasi dari Facebook, H. Mukhlis Takabeya Antar Donasi untuk Balita Gizi Buruk di Aceh Utara

Muhajir Juli
28/01/2021

RRM, pelaku pemerkosaan terhadap Kamboja, divonis 175 bulan penjara. Foto/Ist.
Hukum

Dijemput dari Tempat Kerja, Kamboja Diperkosa di Dalam Kijang Innova

Muhajir Juli
28/01/2021

Lelalu
Hukum

Dituntut 150 Bulan Penjara, Lansia Pemerkosa Anak: Ka Abéh Lón!

Muhajir Juli
28/01/2021

Kondisi salah satu rumah warga di Gampong Lengkong, Kamis (28/1/2021).
BERITA

Sejumlah Rumah di Gampong Lengkong Langsa Rusak Diterjang Banjir Lumpur

Syafrizal
28/01/2021

  • Tentang kami
  • Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak kami
  • Kebijakan Privasi
  • Sitemap
Aplikasi Android aceHTrend

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.

Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • BERITA
  • BUDAYA
  • EDITORIAL
  • LIFE STYLE
  • LIPUTAN KHUSUS
  • MAHASISWA MENULIS
  • OPINI
  • SPECIAL
  • SYARIAH
  • WISATA

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.