ACEHTREND.COM,Banda Aceh– Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, SE, sepertinya sedang dilanda masygul luar biasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang mendapatkan “diskon” masa hukuman melalui “jalur khusus” Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Terbaru, MA memangkas masa hukuman mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Anas Urbaningrum.
Dari jatah 14 tahun mendekam di balik jeruji besi karena korupsi proyek Hambalang, alumnus Ilmu Politik Universitas Airlangga itu dipangkas menjadi delapan tahun di tingkat kasasi. Hukuman Anas ditambah pidana denda sebanyak Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan kurungan selama tiga bulan. Demikian bunyi putusan majelis hakim PK, Rabu (30/9/2020).
Selain itu, majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok. Selain itu, Anas tetap dihukum memembayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 dan 5.261.070 dollar AS.
Anas bukanlah satu-satunya pelaku tindak pidana korupsi yang mendapatkan “keistimewaan” karena mampu menempuh berbagai cara dalam memperjuangkan dirinya di dalam masalah hukum. Banyak kasus-kasus lain yang senada. Pelaku mendapatkan pengurangan hukuman ketika sampai ke kasasi di MA.
Menurut Alfian, Rabu (7/10/2020)
PK di MA sudah menjadi strategi baru bagi pelaku korupsi saat ini. Dari 22 koruptor yang mengajuan PK, sudah 12 dikabulkan oleh MA, dan saat ini ada 50 terpidana korupsi mengajukan Permohonan PK ke Mahkamah Agung.
“PK sudah menjadi new way bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Tentu bagi semangat penegakan hukum, banyaknya koruptor yang diringankan hukumannya setelah PK, merupakan preseden buruk terhadap upaya memaksimalkan hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa,” kata Alfian yang telah sangat lama berkiprah di lembaga swadaya antikorupsi MaTA.
Menurut Alfian, putusan yang dihasilkan di dalam PK oleh MA terhadap koruptor yang awalnya mendapatkan hukuman berat, telah meruntuhkan dan mematikan rasa keadilan masyarakat sebagai pihak paling terdampak terhadap praktek korupsi yang telah terjadi.
Ada dua implikasi serius yang timbul akibat putusan PK tersebut. Pertama, pemberian efek jera terhadap koruptor akan semakin menjauh, peristiwa berulang terus terjadi dan publik dapat menyimpulan MA tidak memihak pemberantasan korupsi. Kedua, kinerja penegak hukum dalam hal ini KPK akan sia-sia karna hukuman yang diputuskan oleh MA melalui PK telah mengabaikan korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Kondisi tersebut tidak boleh berlarut-larut. MaTA meminta agar ketua MA dapat mengevaluasi penempatan hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi. Evaluasi kinerja adalah sistem berintegritas yang perlu dibangun mengawasi kiprah hakim MA, agar kepecayaan publik tidak terdegradasi.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat penting mengawasi persidangan-persidangan PK pada masa yang akan datang. Hal ini menjadi strategi untuk meminimalisir maraknya pemenuhan PK yang melahirkan peringanan hukuman terhadap koruptor.
“Komisi Yudisial (KY) saya harap aktif melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi. sehingga Pemerintah tidak selalu divonis kalah melawan pelaku korupsi yang telah meruntuhkan ekonomi bangsa.
Dilansir Kompas.Com, dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, 54 orang divonis bebas atau lepas, 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang.
Selain vonis hukuman penjara, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemulihan kerugian negara juga sangat kecil.
ICW mencatat, kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2019 sebesar Rp 12 triliun namun pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp 750 miliar.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, hal itu memiliki tiga implikasi serius.
Pertama, hal itu menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak korupsi.
Kedua, vonis ringan meluluhlantakan kerja keras penegak hukum yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi.
“Ketiga, menjauhkan pemberian efek jera, baik bagi terdakwa maupun masyarakat,” kata Kurnia. []