Oleh Saifuddin Bantasyam*
Dalam beberapa hari ini–kemungkinan juga akan terus berlangsung beberapa hari ke depan–protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja marak terjadi di ibu kota negara dan di berbagai provinsi, serta kabupaten/kota di Indonesia. Dalam situasi pandemi saat ini, saya meyakini bahwa polisi berhadapan dengan tugas yang ekstra berat. Mereka tentu tak akan membiarkan segala bentuk anarkisme, tetapi pada saat yang sama juga harus berpikir bagaimana melindungi diri dan juga orang-orang lain dari keterpaparan dari virus korona.
Daya tahan polisi dalam segala bentuk, mau tak mau, harus mampu dikedepankan, termasuk kesabaran serta keterukuran dalam bertindak. Beberapa protokol kesehatan hampir mustahil dipatuhi oleh polisi saat bertugas, utamanya menjaga jarak dan mencuci tangan. Namun, mematuhi prosedur tetap dalam menangani segala bentuk demonstrasi, tentu hal yang wajib dilaksanakan, termasuk dalam penggunaan berbagai perlengkapan mulai dari senjata, tameng (shield), borgol, dan tentu saja pentungan. Sebagai unit terlatih, anggota kepolisian bukan hanya diharapkan respek kepada dimensi legal dalam melakukan tindakan, melainkan profesional dan proporsional.
Tulisan ini akan fokus kepada sesuatu yang jarang, yaitu mengenai pentungan (baton, truncheon, atau billystick) yang dibanding senjata, merupakan “senjata” yang paling sering dipakai dalam mengatasi kerusuhan oleh kepolisian (juga oleh Satpol PP). Pentungan ini disebut berasal dari Okinawa, Jepang, dengan nama tonfa dan biasanya dibuat dari karet, plastik, atau kayu dan dalam penggunaannya yang berlebihan dapat juga berakibat fatal atau mematikan.
Bagi yang pernah menonton film My Father is a Hero (1995) yang dibintangi oleh Jet Li, maka pasti akan sangat terkagum-kagum pada kemampuannya. Hanya bermodalkan pentungan, Jet Li mampu merobohkan puluhan lawannya. Dalam sejarah kehadirannya di Okinawa Kuno, alat tersebut lebih dimaksudkan untuk bela diri dibanding tujuan untuk menyerang. Jadi, dalam film tersebut, Jet Li pun lebih dikesankan untuk bela diri alih-alih membunuh para penjahat yang mengeroyoknya.
Dalam “sejarah kepolisian” tentang pentungan, maka polisi Inggris berada di garis depan, dalam artian bahwa bahwa pentungan adalah ciri khas mereka selama ratusan tahun. Penggunaan pentungan tidak terjadi begitu saja, tetapi adalah buah dari persepsi positif rakyat Inggris terhadap polisi negara itu. Sedemikian rupa respek mereka kepada polisi, maka sangat jarang ada kasus di mana polisi diserang oleh warga masyarakat. Namun, kemudian situasi di Inggris berubah; serangan terhadap anggota polisi meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, tahun 1994 kepolisian Inggris mengucapkan selamat tinggal kepada pentungan dan menggantikannya dengan Pistol Smith & Wessons caliber 38.
Apa yang dapat dipelajari dari sejarah pentungan di kepolisian Inggris? Di antaranya adalah perubahan sosial, mau tidak mau atau suka atau tidak suka, menyebabkan terjadinya pula perubahan di bidang hukum dan penegakan hukum. Sulit untuk diterima dengan akal sehat, jika misalnya kepolisian Inggris ingin tetap mempertahankan pentungan, maka apa yang terjadi terhadap mereka saat harus berhadapan dengan bandit-bandit yang bersenjata termasuk M-16 misalnya.
Namun, ada riset terhadap seribu responden tentang keputusan kepolisian Inggris tersebut (dalam buku Achmad Ali, 2012:240). Hasilnya: 30% responden menyetujui polisi Inggris dipersenjatai dengan pistol; 37% tidak menyatakan pendapatnya dengan tegas, tetapi menyatakan bahwa jika diperlukan maka mereka tidak keberatan polisi Inggris dipersenjatai. Sisanya, yaitu 23% responden, menyatakan sama sekali tidak setuju senjata pentungan diganti dengan pistol.
Respons terhadap perubahan sosial memang harus tepat dan efektif. Karena itu, tersebabkan polisi tidak hanya menegakkan ketertiban, maka kepolisian memang dibenarkan memberantas kejahatan dengan cara-cara kekerasan. Namun, penindakan dengan kekerasan harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku termasuk dalam penggunaan senjata api. Jadi, kekerasan tidak selamanya identik dengan sesuatu yang buruk, kecuali jika anggota polisi tidak menggunakannya dengan profesional, maka kekerasan menjadi jelek di mata publik.
Achmad Ali mengatakan bahwa masyarakat memiliki ciri khas sikap atau persepsi tersendiri terhadap polisi di negara masing-masing. Masyarakat Jepang misalnya, menyukai kehadiran polisi Jepang dalam melakukan apa yang di Jepang dikenal dengan survei kediaman. Dalam survei ini polisi mendatangi rumah-rumah penduduk dan mengorek segala informasi tentang setiap keluarga yang berada di dalam wilayah tugasnya. Masyarakat tidak merasa terganggu. Ini kemudian menjadi salah satu faktor penting kesuksesan polisi Jepang; tingkat partisipasi masyarakat yang sangat tinggi untuk membantu polisi dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
Sebaliknya di Amerika Serikat (AS). Masyarakat di negeri tersebut menentang perlakuan atau survei semacam di Jepang itu. Mereka menolak karena merasa risih atau diganggu oleh tugas-tugas kepolisian yang mendatangi rumah mereka. Dengan kata lain, sikap atau reaksi warga masyarakat pun menentukan aksi yang mana yang dianggap paling tepat dilakukan oleh pihak kepolisian.
Di Jepang, penentuan sifat polisi mendahului perincian tugas-tugas. Sedangkan di AS, tugas-tugas kepolisian mendahului perhatian terhadap sifat. Anggota kepolisian AS dapat memenuhi perincian tanggung jawab mereka kalau mereka dapat membimbing rakyat untuk mematuhi hukum. Sedangkan yang diupayakan oleh polisi Jepang tidak terbatas pada kepatuhan, melainkan juga pada nilai-nilai moral masyarakat. Polisi Jepang tidak hanya pelaksana hukum, tetapi juga bertindak sebagai guru yang mengajarkan kebijakan-kebijakan hukum. Polisi Jepang sudah diberi mandat moral berdasarkan pengakuan tentang betapa pentingnya mereka memberi bentuk kepada negara. Anggota polisi AS telah diberi perintah menurut hukum dan diperintahkan supaya tidak menyimpang dari hukum.
Di akhir tulisan ini, seperti disinggung di muka, senjata termasuk pentungan adalah sebuah simbol penegakan hukum, atau tanda kehadiran penegak hukum dalam menjaga keamanan dan menegakkan ketertiban masyarakat. Jika dimaknai sebagai sebuah simbol, maka penggunaannya juga memiliki aturan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Jika ada lagi demonstrasi, terutama yang anarkis, maka besar harapan agar pentungan juga dipakai secara benar, jangan sampai menjadi sesuatu yang mematikan.[]
*Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, dapat dihubungi melalui saifudin@unsyiah.ac.id
Editor : Ihan Nurdin