Oleh Ahmad Human Hamid*
Beberapa hari yang lalu dalam sebuah pembicaraan biasa dengan salah seorang pemegang jabatan publik pemerintah tingkat II, ia mengungkapkan tentang alasan mengapa test agresif dan tracing belum juga dapat dilakukan sampai dengan hari ini. Dia mengakui masih sangat berat untuk dilakukan dan ia menyebut hampir mustahil, karena masyarakat menolak.
Persoalan menjadi sangat kompleks, karena koordinasi antar tingkat pemerintahan yang rumit dan susah, dan adanya berbagai hoaks yang beredar. Bahkan ada hoaks tentang setiap orang yang menjalani test akan dicovidkan. Persoalan menjadi semakin rumit katanya, karena ada sebagian kecil ulama “karbitan” yang tidak menganjurkan jamaahnya untuk menjalani test.
Saya tidak mau berdebat dengan kawan itu, karena ia menduduki posisi jabatan publik itu bukan karena dipaksa, dan bukan karena kewajiban. Ia menduduki jabatan itu karena ia sendiri yang “gatal” dan telah bersusah payah selama bertahun-tahun, bekerja siang malam membujuk rakyat untuk memilihnya.
Ia bernegosiasi dengan berbagai aktor politik, mengunjungi ulama, menggunakan uang sendiri, keluarga, kawan, bahkan “toke” untuk mewujudkan impiannya. Semua dikerjakan untuk mendapatkan jabatan dan nomor kecil polisi untuk tumpangan mobil dinasnya. Impian itu akhirnya tercapai, dan mimpi untuk membuat yang terbaik kepada rakyat pemilih kini terbuka luas.
Ketika ia berkeluh kesah tentang tantangan mengurus Covid-19, terutama yang berada di wilayah non klinis, atau di wilayah non kesehatan, ia lupa jabatan publik itu adalah sesuatu yang dia cari. Rupanya selama ini dia melihat jabatan publik sebagai sebuah “tamasya” yang bermandikan kenikmatan, kemewahan dan kemakmuran hidup. Ia juga melihat jabatan publik sebagai arena memenuhi kehausan ego akan kemuliaan, dan puja – puja bawahan yang berlimpah. Ia lupa mimpinya untuk menjadi pejabat publik tak lebih ibarat seorang penikmat, yang suka makan di sejumlah warung nasi Pidie tahun tujuh puluhan, yang kadang-kadang sampai hari ini masih terdapat di beberapa tempat.
Analoginya adalah, sang penikmat keluar air liurnya melihat di buffet pajangan warung ada bebek panggang, ayam goreng, udang besar merah berlapis, kepala bandeng panggang, dan bau kari kambing yang menusuk hidung. Sang penikmat segera masuk dan memesan semuanya. Wajar saja, siapapun yang muda, punya uang cukup, suka makan enak, inilah tempatnya.
Tetapi itu tak lama, karena segera kemihnya menggeliat, ia harus ke kamar kecil, dan itu artinya dia harus ke bagian belakang warung nasi. Begitu dia melangkah, segera nampak tempat buang air kecil yang hanya disemprotkan ke dinding yang berwarna kapur kusam dan berbau pesing. Tidak hanya itu, didekatnya ada WC yang tertutup dengan papan kayu yang tidak tertutup rapat, dan berdampingan dengan tiga ekor bebek hidup, basah yang terikat dan siap untuk disembelih.
Sang penikmat mulai mual, karena “ornamen“ lain bagian belakang warung itu tidak berhenti sampai di situ. Ada tukang masak yang sedang berdehem batuk berdahak berikut dengan genggaman cairan flu yang sedang dipindahkan dari hidungnya. Ia tidak berbaju, sama dengan tukang giling bumbu yang menggunakan batu besar, hanya menggunakan celana kolor kain belacu tipis.
Keadaan si tukang giling menjadi lebih sempurna, karena seiring dengan pekerjaan gilingannya, ada panas yang mendera di atas seng 2 meter di atasnya yang membuat ia berpeluh berat. Tak jarang peluh itu kemudian bergabung menyatu dengan bumbu yang sedang dikerjakannya.
Ada sebuah suasana “seni” dapur warung di situ, berserakan, berhamburan, kotor, bau makhluk hidup basah yang akan disembelih. Ada juga sisa ikan pesiang yang sudah dikelilingi ulat kecil dengan bau anyir yang menusuk. Bercampur dengan bau aneka rempah giling. Kalaulah ada pelukis besar sekelas Affandi, apalagi Van Gough, atau Rembrandt, mau menempatkan semua perangkat itu di atas canvas, pasti rumah lelang Christie akan berdesak penuh ketika lukisan bagian belakang warung itu dilelang.
Dan ketika badan didekatkan ke dapur dengan dua tiga kuali dan wajan besar dengan api kayu yang sedang menyala besar, ada pandangan indah lauk siap hidang. Tidak hanya itu, di bagian dapur sedang membumbung asap yang menyebar aroma bumbu yang sangat nikmat berkelana dalam rongga hidung yang mulai lapar.
Ketika sang penikmat kembali ke meja depan, dan ia siap makan, perutnya mulai menggeliat, dan rasanya kepingin muntah. Ketika tangannya mulai bergerak, saraf otaknya terbayang ruang belakang warung berikut “kekayaan” bau-bauan yang menyertainya. Akhirnya ia memutuskan memakan sepertiga nasi putih dan sebagian kecil ikan goreng di mejanya. Ia tak sanggup makan, karena takut akan muntah. Dia membayar, lalu pergi.
Apa beda sang penikmat dengan teman bicara saya, sang pejabat publik itu. Sang penikmat tahu lebih duluan, menyaksikan dan mampu merasakan bagian belakang dapur,dan ia boleh keluar setelah bayar, dan boleh bersumpah untuk tidak kembali lagi. Pejabat publik setelah masuk ke bagian belakang dapur pemerintahan, tidak boleh keluar, harus makan, dan makan dengan serius, karena telah ikhlas dan bersumpah untuk mengurus tidak hanya di buffet depan warung yang indah, enak, dan nikmat. Pada saat yang sama juga harus mengurus bagian belakang yang sudah membudaya dengan dapur yang seperti itu.
Dapur belakang warung itu dalam konteks Covid-19 hari ini adalah test, tracing, dan isolasi. Itu adalah wilayah kunci dan menentukan dalam pengendalian Covid-19. Kegagalan mengurus test, tracing, dan isolasi adalah bom besar yang membuat ledakan kasus setiap hari sampai 60-70 persen populasi Aceh akan terinfeksi. Pertumbuhan pandemi mungkin baru akan berhenti ketika tercapai imunitas kelompok. Untuk sampai ke angka 60-70 persen itu, Covid-19 akan mengambil korban siapapun yang lemah, menurut definisi ilmu pengetahuan.
Menurut publikasi universitas yang memberi perhatian cukup besar untuk Covid-19 global, Universitas Jhon Hopkins (2020) di Baltimore, AS, perbandingan kematian kasar antara flu biasa dengan Covid-19 adalah 0,1 persen dengan 3-4 persen. Angka ini adalah hasil pembagian antara tingkat kematian dan jumlah total orang yang terinfeksi dengan penyakit. Dengan tidak mendahului kehendak yang Maha Kuasa, kalau situasi Aceh seperti ini terus berlanjut, tanpa test, tracing, dan isolasi, maka potensi korban akibat Covid-19 nantinya akan sangat besar angka komulatifnya, sekalipun secara kasat mata prosentasenya kecil, dan ingat, ini adalah nyawa manusia.
Bila angka lacak dan isolasi tidak berubah dari 0,6 hari ini, yang berarti kurang dari satu orang-standard WHO 20-30 orang test yang terpapar untuk setiap satu kasus positif, hasil substraksi 3.5 persen angka kasar kematian Covid-19 dari 65 (5,3 juta) persen penularan penduduk adalah 120.575 korban di seluruh Aceh. Ini adalah angka horor, angka yang sangat mengerikan, karena potensi jumlah korban menjadi sekitar 4 kali lebih banyak dari korban konflik Aceh selama 32 tahun.
Mengingat ancaman kematian populasi yang ditanganinya, dan kerumitan menangani test di lapangan, berikut dengan tracing, yang sampai hari ini belum terbayangkan olehnya, ia hampir putus asa. Bagusnya sekalipun pernah bermimpi tentang kenikmatan menjadi pejabat publik ia masih punya sisa tanggung jawab, masih punya malu, dan ia masih punya komitmen sedikit lagi.
Ia kini bertekad sejenak melupakan ruang depan buffet warung makan itu. Ia berjanji pada dirinya dan mengatakan pada saya akan membereskan bagian dapur itu. Karena ia tidak lagi berminat hanya sebagai pembeli makanan. Ia bertekad menjadi pemilik sekaligus pengelola warung nasi itu secara penuh. Semua tatanan indah di bagian depan warung akan dibereskan, dan dia ingin memastikan bahwa warung itu kini tidak hanya enak, tetapi juga hygine, bersih, dan berkualitas. Apakah itu meungkin ? Kenapa tidak. Kita lihat saja.
*)Penulis adalah Guru Besar Unsyiah.