Ahmad Zharfan*
Omnibus law secara harfiah berasal dari bahasa Latin, omnis yang berarti banyak. Dikaitkan dengan sebuah karya sastra hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengibaratkan omnibus law seperti bus besar yang mengantar ke satu tujuan yang sama. Dalam konteks teknis, omnibus law adalah metode pembuatan undang-undang (UU) yang mengatur banyak hal dalam satu paket agar tidak tumpang tindih. Mahfud menjelaskan bahwa pada 190 tahun lalu atau pada tahun 1830 di Paris, Prancis, ada perkembangan baru dalam sistem transportasi dunia, yakni munculnya sebuah bus besar yang berfungsi membawa berbagai macam barang kepada satu tujuan yang sama. Setelah istilah ini dikenal luas di daratan eropa istilah omnibus law, masuk ke dalam masuk ke wilayah Amerika Latin dan kemudian diadopsi menjadi terminologi hukum, yakni omnibus law. “Sejak itu istilah omnibus masuk ke Amerika Latin menjadi istilah hukum di mana sebuah undang-undang bisa mengatur banyak hal.”
Di Indonesia, istilah omnibus law mulai dikenal oleh masyarakat pada saat pidato pelantikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Dalam pidatonya, Presiden menyinggung bahwa Indonesia saat ini banyaknya aturan yang tumpang tindih dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU menjadi persoalan yang menghambat investasi di Indonesia. Menurutnya, penerapan omnibus law ini akan mencabut sekaligus menyederhanakan sejumlah peraturan-peraturan menjadi undang-undang (UU) baru.
Pada 12 Februari 2020, pemerintah secara resmi menyerahkan surat presiden dan naskah akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada DPR RI, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal yang akan dibahas dengan tujuh komisi terkait dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini. Beberapa minggu berselang setelah diserahkan surat tersebut, pandemi virus korana masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020 dan diumumkan secara resmi oleh Presiden RI.
Keadaan di masa pandemi ini membuat ekonomi negara-negara di seluruh dunia menjadi terganggu. Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), memprediksikan output ekonomi dunia tahun ini akan menyusut hampir 5%, atau hampir 2% lebih buruk dari perkiraan. Hal ini juga berimbas pada kondisi ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang sangat berat sejak dimulainya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta pada pertengahan Maret lalu. Sri Mulyani mengatakan dua pekan pelaksanaan PSSB tahap pertama di Jakarta menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama, yakni Januari hingga akhir Maret menurun menjadi hanya sebesar 2,97 persen.
Selama periode Januari hingga Maret 2020 kata Sri Mulyani, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia senilai Rp148,8 triliun. Hal ini mendorong kenaikan yield surat utang negara (SUN) 10 tahun yang meningkat ke level di atas delapan persen. Selanjutnya, perekonomian kuartal kedua menjadi minus 5,3 persen dengan kondisi komponen perekonomian dari konsumsi rumah tangga, investasi, dan kegiatan ekspor-impor mengalami kontraksi sangat tajam.
“Masyarakat kehilangan mata pencaharian akibat ditutupnya sekolah, kantor, pasar, dan tempat-tempat perdagangan, serta tempat aktivitas lainnya. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan di dunia usaha,” ujar Menkeu saat sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta yang digelar secara virtual Kamis (8/10/2020).
Melihat situasi Indonesia yang makin mengkhawatirkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah berinsiatif mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini. Undang-undang diharapkan bisa meningkatkan perekonomian bangsa di kala pandemi. Namun, tidak semua fraksi setuju dengan alasan UU Cipta Kerja ini cacat substansial maupun prosedural karena pembahasnnya tidak melibatkan masyarakat, pekerja, dan civil society.
Pengesahan RUU Cipta Kerja sendiri terkesan buru-buru lantaran pengerjaannya dilakukan dengan cukup intensif dalam beberapa waktu terakhir. Selain melakukan rapat di akhir pekan beberapa kali, yang terbaru, pengesahannya kini dikebut dari yang seharusnya dijadwalkan. Semula, pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU dilakukan pada Kamis (8/10/2020), tetapi DPR dan pemerintah mempercepat agenda tersebut menjadi pada Senin (5/10/2020).
Hal serupa diungkapkan oleh Prof Susi Dwi Harijanti, yang juga merupakan pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, menyatakan keberatan atas UU Ciptaker. Menurut Prof Susi, pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru. Pembahasannya juga dilakukan pada hari libur. Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan, hal ini merupakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi, yang merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual Indonesia. Prof Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.
“Pengesahan pada tengah malam itu menjungkirbalikkan perspektif publik pada gambaran kerja dari DPR dan pemerintah dalam pembentukan UU. Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya,” tuturnya.
Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan. Prof Susi menjelaskan UU Ciptaker bahkan melanggar nilai konstitusi UUD 1945. Contohnya, pada Pasal 18 ayat lima UUD 1945, yang mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, tetapi ternyata pada UU tersebut justru menarik kewenangan ke pusat. Sehingga asas pemerintah daerah memiliki otonomi daerah diabaikan dalam undang-undang ini. Ia juga menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan, tetapi harus tetap memperhatikan aspek hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan begitu saja dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini. Meskipun, tujuan utama RUU ini diklaim akan membuka keran investasi dan lapangan pekerjaan di Indonesia yang mana hal ini merupakan prioritas utama dari pemerintahan ini, tetapi, RUU Cipta Kerja justru berpotensi meminggirkan hak dan kepentingan kelompok pekerja Indonesia. Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, dan ketenagakerjaan, berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia.
Guru Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Prof Zainal Arifin Mochtar juga menyebut jika UU Ciptaker dibuat dengan tidak transparan. Publik dan lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker dan tiba-tiba sudah ada di DPR. Prof Zainal juga mengatakan jika penyusunan UU Cipta kerja tak melibatkan publik, padahal Omnibus Law Cipta Kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster. Padahal dalam pembentukan undang-undang yang memiliki dampak besar terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada hakikatnya diharuskan mendengarkan aspirasi dari masyarakat luas, sebagai pemegang kedaulatan. Namun, jika tidak melibatkan masyarakat banyak, tentunya kita akan bertanya-tanya, terus untuk siapakah UU ini jika suara rakyat tak didengar oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat?
Di dalam negara hukum yang berkeadilan, pembentukan suatu undang-undang harus memenuhi aspek prosedur dan substansi. Dalam hal ini, tidak boleh adanya tujuan menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang hendak dicapai dengan dibentuknya undang-undang tersebut. Misalnya dengan membentuk undang-undang ini mengabaikan hak-hak dan kepentingan kaum buruh. Hal ini tentunya tidak dapat diterima, maka dari itu di dalam prinsip negara hukum aspek prosedur dan aspek substansi memegang peran yang sama penting dalam pembentukan produk perundang-undangan.
Senada dengan itu, Prof Aidul Fitriciada, mengatakan bahwa RUU Omnibus Law ini pada dasarnya lebih menekankan pada tujuan (doelmatiegeheid), sehingga dapat mengabaikan aspek partisipasi dan akuntabilitas publik dalam proses pembuatan UU. Jika melihat pendapat dari beliau, terkait dengan UU ini cenderung untuk menegasikan demokrasi, sehingga metode omnibus ini di berbagai negara sudah dipertanyakan dan tidak dipertahankan karena UU ini tidak menggunakan metode yang demokratis. Dengan begitu, kita bisa menggunakan istilah dari Prof Susi Dwi Harijanti yang mengutip pendapat dari Simmy Shadra, bahwasannya omnibus law ini merupakan alat favorit dari mantan perdana menteri Canada Stephen Harpher, yang digunakan sebagai “The Invisiblity clock in Harry Potter”.
Umumnya omnibus law mencakup beragam topik, dan merupakan satu dokumen yang diterima dalam satu suara oleh badan legislatif. Namun, karena beragam topik dan ukurannya yang besar, biasanya undang-undang omnibus ini membatasi pembukaan untuk debat dan pengawasan. Karena itu, omnibus law ini menciptakan kemungkinan bahwa hukum tersebut diciptakan melalui metode yang tidak demokratis karena itu parlemen umumnya tidak memiliki kemampuan untuk berdebat tentang masalah ini. Padahal kalau kita merujuk pada pendapat dari Prof Bagir Manan melalui politik hukum permanennya, mengatakan bahwa salah satu asas dalam pembentukan undang-undang adanya partisipasi dari publik untuk mendapatkan substansi dari undang-undang tersebut.
Sehingga menurut hemat penulis, ada baiknya Presiden Republik Indonesia Jokowi, para menteri, dan semua tim yang terlibat dalam pembentukan UU Ciptaker untuk mendengarkan masukan dari rakyat yang disampaikan oleh para akademisi. Sehingga tidak menimbulkan polemik dalam masyarakat. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk mengeluarkan Sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PerPPU), yang merupakan wewenang dari presiden di tengah situasi dan kondisi yang saat ini tidak kondusif di seluruh Indonesia. PerPPU ini juga berfungsi dalam rangka mencegah penolakan besar-besaran yang terjadi akhir-akhir ini, dan juga ancaman akan aksi mogok kerja oleh kaum buruh di seluruh Indonesia. Pada hakikatnya, kita semua tentu tidak ingin bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat dibuatnya UU Cipta Kerja ini.[]
Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah, tertarik pada isu hukum, HAM, dan politik
Editor : Ihan Nurdin
Komentar