Laporan Hj. Maria Karsia, MA*
Baucau adalah kota terbesar kedua di Timor Leste, setelah Dili, ibu kota negara, yang terletak 122 km dari kota ini. Perjalanan ke Baucau, adalah perjalanan ke luar kota pertama yang saya lakukan sejak tiba di Timor Leste. Sebetulnya tujuan ke Baucau adalah ikut menghadiri pembukaan acara Training of Trainer ( ToT) bagi guru-guru bahasa Indonesia yang akan mengajar bahasa Indonesia di sekolah SMU dan SMEA di distrik tersebut. Kesempatan ini saya pakai juga untuk sedikit memotret kota Baucau selama berada 2 hari, 1 malam di sana.
Sebelum berangkat saya banyak mendengar bila sekarang ke Baucau tak perlu waktu tempuh lima sampai enam jam . Hanya butuh sekitar dua jam saja, sudah bisa sampai Baucau. Sebetulnya pernyataan ini agak membingungkan saya. Seingat saya, ketika pernah meliput ke Baucau tahun 1998 – 1999, waktu tempuh dari Dili memang hanya 2 jam saja.
Sepanjang perjalanan saya menyusur perbukitan di satu sisi dan di sisi lain adalah pinggiran pantai yang membentang seperti tak terputus, memandang perairan selat Wetar ( berbatasan dengan Indonesia). Rupanya setelah saya browsing, saya baru paham. Kondisi jalan dari Dili menuju Baucau memang rusak parah sampai kira-kira akhir 2018 dan membutuhkan waktu kurang lebih 5 sampai 7 jam perjalanan untuk mencapai Baucau, itupun tergantung kondisi musim. Jika musim hujan bisa lebih lama.
Sekarang kondisi jalan itu sangat baik, sudah semulus jalan tol, mungkin malah layak digunakan untuk balap formula E. Perjalanan menuju Baucau, tak bisa saya manfaatkan untuk membidik foto dari dalam mobil, cuaca sedikit mendung, dan kami harus mengejar waktu sampai ke Baucau sebelum gelap. Foto-foto yang saya bidik sepanjang perjalanan di artikel ini adalah ketika kembali pulang dari Baucau menuju Dili.
Jika Anda seorang traveller lepas, dan ingin menumpang angkutan umum dari kota Dili menuju Baucau, Anda bisa ke stasiun bus Becora di Dili, ongkos sekali jalan menuju Baucau sekitar 4 USD (kurang lebih Rp. 70, 000.-).
Ada satu distrik yang dilewati ketika menuju Baucau, yaitu Manatuto, pemandangannya kurang lebih sama, garis pantai dengan hamparan pasir putih, melewati dataran rendah berganti dengan perbukitan, sebelah jalan yang berkelok-kelok jurang dan di seberangnya bukit – bukit Kayu putih dengan hamparan rumput kecoklatan yang mengering karena musim kemarau. Sesekali saya buka jendela mobil, angin laut menyeruak masuk, dengan sedikit aroma yang segar. Untuk penikmat keindahan alam apa adanya, dan betul-betul ingin menikmati pemandangan, ada banyak lokasi untuk berhenti sekadar untuk memotret alam. Kesempatan itu sayang tak saya dapatkan. Perjalanan pergi dan pulang kurang lebih tak ada waktu untuk rehat, karena juga ada acara lanjutan di Dili yang harus dihadiri.
Di Baucau, setelah pembukaan ToT selesai, saya diajak oleh Duta Besar RI untuk Timor Leste Sahat Sitorus beserta keluarganya untuk sebentar menjenguk ke Vinilale. Di sana ada satu situs sejarah peninggalan masa Perang Dunia II . Ada tujuh gua Jepang di lokasi itu. Dari Baucau mengambil jalan ke arah Viqueque. Jaraknya mungkin sekitar 40 km dari kota Baucau. Jalanan mulai mengecil dan menuju pedesaan. Kami melintasi gunung ketiga tertinggi di Timor Leste, gunung Matebian. Gunung ini artinya gunung arwah. Dari kejauhan saya melihatnya berdiri kokoh. Gunung itu 2315 meter tingginya. Di gunung itulah, menurut sejarahnya pernah terjadi pertempuran paling sengit ketika tentara ABRI dalam operasi militernya diperintahkan untuk merebut Matebian dari Fretilin. Banyak cerita mistis tentang gunung itu.
Fretilin menjadikan gunung itu pusat pertahanan mereka. Kisah pertempuran itu sempat saya temukan ditulis menjadi sebuah artikel di merdeka.com pada tahun 2013 dengan judul Pertempuran di Matebian dan jimat sakti Fretilin, yang ditulis berdasarkan sebuah buku yang ditulis oleh seorang prajurit ABRI.
Setelah melewati Matebian, masih sekitar 40 menit lagi untuk mencapai gua peninggalan Jepang di Vinilale. Menuju lokasi, banyak terlihat areal persawahan. Tidak heran, karena memang distrik Baucau yang berpenduduk kurang lebih 106.000 jiwa ini, memang menjadi daerah lumbung padi dan daerah pertanian yang paling maju di Timor Leste. Selain padi, wilayah ini juga menghasilkan kacang-kacangan, kopra, kemiri dan ubi kayu. Uniknya, banyak sawahnya terlihat memakai sistem pengairan subak, seperti di Bali. Hamparan hijau sawah berundak-undak pun terlewati. Walau tidak seluas hamparan sawah di Tabanan, Bali.
Kami sempat sedikit tersasar karena jalanan yang kami lalui dialihkan karena sedang diperbaiki. Namun, kemudian mobil berbalik arah dan diizinkan untuk melintasi jalanan yang sedang dalam konstruksi pengerjaan tersebut. Untunglah tidak turun hujan yang deras, jadi mobil sukses melintasi jalan yang lumayan berlumpur itu. Lokasi situs bersejarah ini sangat sederhana. Di depan lubang masuk ke gua ada papan pengumuman untuk pengunjung. Selain berisi tulisan lokasi gua, juga imbauan untuk menjaga kebersihan dan menjaga kelestarian tempat bersejarah. Kira-kira begitulah terjemahan bahasa Tetunnya.
Gua itu terdiri dari lorong-lorong yang saling menyambung sampai di ujungnya. Ada beberapa belokan menuju mulut gua di beberapa lokasi. Orang menghitungnya ada 7 lubang, tapi saya merasa hanya melintasi 6 mulut gua. Tidak banyak info yang bisa didapat mengenai gua ini. Lantainya bercampur batuan gunung dan kerikil serta pasir putih. Langit-langitnya batu gunung berkapur. Hanya ada informasi dari mulut ke mulut, gua itu juga dibangun oleh gerilyawan lokal bersama tentara Jepang untuk menghindari kejaran tentara sekutu. Diceritakan ada 4000 lebih tentara yang membangun gua itu. Info ini sayang tidak ada literasi yang saya dapatkan lewat penelusuran di internet.
Penjelajahan Baucau hari pertama saya akhiri dengan mengunjungi Pousada de Baucau. Pousada artinya berhenti sejenak atau peristirahatan dalam bahasa Portugis.
Kota Baucau memang memiliki beberapa peninggalan bangunan arsitektur Portugis. Seni bangunan yang mendapat pengaruh Portugis di sini sangat menarik, campuran Gothiek dan Romans yang disesuaikan dengan alam dan lingkungan. Ciri-ciri bangunan itu antara lain, lantai bangunan lebih tinggi dari halaman, trap atau tangga naik ke halaman / lantai bangunan ditata secara artistik. Pintu atau jendela berbentuk melengkung, atap termasuk bubungannya ditata sangat rapi, garis-garis vertikal maupun horizontal sangat tegas sehingga bangunan tampak terlihat kokoh dan indah dipandang.
Contoh bangunan kuno gaya Portugis di Baucau yang sangat menarik adalah Mercado Municipal dan gedung Pousada de Baucau ini. Mercado adalah bangunan pasar yang tak kalah indahnya dengan bangunan supermarket, sayang hari ini hanya Pousada de Baucau yang bisa dikunjungi. Bangunan Mercado tutup untuk umum. Saya pikir mungkin karena covid. Bangunan mercado saya intip dari luar, masih terawat rapi meskipun tidak digunakan untuk berjual-beli lagi. Ada sebuah paroki di ujung jalan berhadapan dengan Mercado.
Pousada De Baucau sekarang menjadi hotel. Bangunan unik warna pink salam (tua) itu dibangun di era tahun 50-an, diselesaikan pada era 60-an dengan nama aslinya Estalagem de Santiago. Semasih Timor Timur, bangunan ini dikenal sebagai Hotel Flamboyant dan sempat digunakan sebagai pusat komando militer ABRI dan juga di beberapa bagiannya dijadikan penjara.
Pada 13 Mei 2002, bangunan ini dibuka untuk umum oleh Xanana Gusmao dan Uskup Baucau Dom Basilio de Nascimento sebagai hotel hingga kini, dengan nama Pousada de Baucau.
Oleh – oleh VCO
Ketika kemarin melintas menuju Vinilale, saya sempat melintas sebuah desa bernama Buruma. Desa ini terkenal karena menghasilkan produk virgin coconut oil (VCO) yang sangat baik mutunya di Timor Leste. Sayapun mencoba berkunjung ke sana untuk membeli sedikit oleh-oleh yang akan dibawa pulang ke Dili. Agak terkejut, karena di luar ekspektasi, saya hanya melihat kantor desa biasa bukan sebuah bangunan pabrik VCO. Ternyata produk VCO tersebut memang produk lokal UMKM yang dikembangkan oleh ibu-ibu penduduk desa.
Ketika saya ke situ, kebetukan hanya ada dua orang ibu-ibu dari 10 anggota mereka yang sedang memproses VCO. Alat yang mereka gunakan sangat sederhana, salah satu dari pembuat VCO menerangkan dengan bahasa Indonesia yang cukup baik, bahwa alat pemeras kelapa yang biasa mereka gunakan sedang rusak, jadi mereka hanya bisa menghasilkan VCO terbatas. Untuk mendapatkan 1 jirigen minyak ukuran 5 liter, mereka memprosesnya selama 4 hari dari 70 butir kelapa. Mereka menjualnya kepada pemesan, dan biasanya dibawa ke Dili. 1 botol ukuran 300 ml mereka jual seharga 2,5 USD. Saya tahu pasti, 1 botol ukuran sama di Dili bisa dihargai 5 USD. Sayapun tanpa ragu membeli 5 liter VCO untuk dibawa sebagai oleh-oleh, tanpa menawar harga yang mereka berikan, 35 USD.
Menurut keterangan salah satu ibu pembuatnya, nama kelompok mereka adalah cinta produk lokal dari Buruma. Sayapun mendapatkan kartu nama koordinator atau ketua kelompok pembuat VCO, mereka berpesan jika saya ingin membeli VCO lain kali, bisa menghubungi koordinator mereka.
Di Buruma orang desa juga masih membuat minyak sayur dengan cara tradisional. Saya terus terang sudah lama sekali tak pernah melihat orang membuat minyak sayur. Puluhan tahun lalu, saya rajin membantu nenek saya mengaduk santan kelapa untuk dijadikan minyak sayur atau ketika membuat adonan halua di kuali yang sangat besar, dengan api dari pelapah kelapa dan kayu ketika berlibur ke kampung halaman.
Saya senang kalau sehabis mengaduknya, hidung sedikit meninggalkan jelaga hitam. Suka saya colet di pipi sendiri dan tertawa-tawa. Ketika melihat seorang ibu membuat minyak sayur di halaman belakang kantor desa, ingatan saya sekilas seperti melihat wajah nenek di kampung Juli, dengan pakaian kebaya kembang kecil, kain batik dan berkerudung ditata seperti surban kepala berwarna putih tertawa senang ketika cucunya datang menawarkan bantuan, untuk ikut mengaduk adonan minyak itu dengan tangan-tangan kecilnya. Nenekpun akan tertawa terkekeh ketika saya mulai mengeluh, kecapaian dan berkata, “panas”. Itu artinya saya mulai bosan. Usia saya 8 tahunan. Wajahnya dengan welas asih akan berkata,” Jak manoe keudeh, Nyak Maria,” dengan khas logat r nya yang tak terlalu jelas ketika menyebut nama saya.
Tiba-tiba saja kampung Buruma ini membuat saya kangen nenek dan kampung halaman nun jauh di Juli, Bireuen, Aceh.
*)Penulis adalah traveller Indonesia. Juga penulis buku.