Oleh Ahmad Zharfan*
Proses penyusunan dan substansi Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), dipandang sebagian besar masyarakat mematikan demokrasi di Indonesia. Masyarakat menilai RUU ini lahir dari hasil kebijakan politik negara yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Secara akademis, mempunyai makna bahwa opini publik dan kebijakan publik yang merupakan konsep utama dalam kedaulatan rakyat. John Zaller dalam sebuah bukunya Nature and Origins of Mass Opinion (1992) mengatakan, yang terjadi dalam demokrasi kita saat ini adalah “elite-led opinion”, yaitu opini publik yang hanya dipengaruhi dan dikendalikan oleh para elite, bukan oleh suatu masyarakat itu sendiri.
Hal ini dapat kita lihat saat ini, dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja, yang pengesahannya dianggap tidak demokratis. Hal ini, tercermin dalam proses awal pembentukan satuan tugas (satgas), yang diisi oleh para pengusaha. Berdasarkan hasil analisis profil dan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, tercantum beberapa aktor yang merupakan pebisnis. Misalnya, Ketua Satuan Tugas Omnibus Law Cipta Kerja ini diisi oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri yang terhubung dengan 36 entitas bisnis, dalam bidang media, farmasi, jasa keuangan dan finansial, properti, minyak dan gas, hingga tambang, dan batu bara. Hal ini tentunya dipertanyakan oleh masyarakat, mengapa RUU Cipta Kerja ini, dipimpin oleh satgas yang diisi oleh para pengusaha.
RUU Cipta Kerja adalah satu dari skenario yang tidak demokratis untuk menciptakan oligarki kekuasaan di republik ini. Jika kita melihat pada tahap pengesahan RUU Cipta Kerja ini, yang dianggap masyarakat terlalu terburu-buru, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang membutuhkan penanganan dan perhatian yang lebih intensif oleh pemerintah. kemudian, pada saat proses pengesahannya pada sidang paripurna yang awalnya direncanakan pada 8 Oktober 2020 dipercepat menjadi 5 Oktober 2020.
Kekhawatiran masyarakat makin meningkat yang tercermin dalam pernyataan anggota DPR yang tidak memiliki draf resmi pasca pengesahan RUU Cipta Kerja ini pada sidang paripurna. Hal ini tentunya, membuat publik berasumsi, bahwasannya UU Cipta Kerja ini sarat akan adanya pasal-pasal selundupan yang dimasukkan dalam UU ini, setelah DPR belum memberikan pernyataan resmi untuk memastikan naskah UU Cipta Kerja yang valid menyusul munculnya beragam versi UU Cipta Kerja.
Dugaan publik makin menguat, setelah ada empat draf yang beredar sejak disahkan pada paripurna DPR sebanyak 905 halaman. Kemudian versi 1.052 dan 1.028 halaman, serta terbaru 1.035 halaman. Apabila kita melihat kembali pengakuan mereka yang terkena dampak langsung dari RUU Cipta kerja ini sejak awal, minim akan partisipasi dan transparansi publik yaitu pihak terkait seperti: serikat buruh, pakar, dan akademisi. Bahkan, serikat buruh menolak pada tahap pembahasan RUU yang pada saat itu tengah bergulir di Badan Legislasi (Baleg) DPR, karena tidak dilibatkan dalam tahap penyusunan awal draf.
Padahal persoalan ini cukup sederhana, jika kita merujuk pendapat dari Prof Bagir Manan, melalui politik hukum permanennya yang mengatakan bahwa salah satu asas dalam pembentukan undang-undang adanya partisipasi dari publik untuk mendapatkan substansi dari suatu undang-undang tersebut. Dalam hal ini, partisipasi buruh sangatlah penting karena buruh merupakan pihak yang terkena dampak langsung dari pengesahan RUU Cipta Kerja ini. Namun, dalam implementasinya buruh tidak dilibatkan secara keseluruhan dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini. Hal inilah kemudian, memicu RUU Cipta Kerja ini diprotes keras oleh kalangan buruh dengan berdemonstrasi yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hal ini tentunya dapat kita atasi terlebih dahulu, apabila adanya transparansi dan melibatkan seluruh elemen yang terkait dengan UU ini.
Jika kita melihat di dalam negara hukum yang demokratis maka kita akan mengenal apa yang disebut due process of law, yaitu menyangkut substantive due process of law dan procedure due process of law yang menyangkut semua bidang, termasuk dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Yang mana di dalamnya mencakup aspek politik hukum dan politik perundang-undangan jika menggunakan metode omnibus ini. Kita tidak mengetahui politik hukum apa yang sebetulnya diterapkan dan politik perundang-undangan apa yang sedang dibentuk oleh RUU tersebut. Karena metode ini mencakup 79 UU yang dilakukan perubahan dan bahkan ada juga yang dilakukan dengan cara pencabutan pasal-pasal dalam suatu UU. Padahal 79 undang-undang yang tercantum pada RUU Cipta Kerja tersebut mempunyai politik hukum tersendiri, yang tidak bisa disamaratakan menjadi satu kesatuan.
Melihat persoalan yang terjadi saat ini, menurut hemat penulis kita mempunyai dua opsi untuk menjaga marwah demokrasi kita setelah disahkannnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Pertama, kita mengedepankan optimalisasi pembahasan yang melibatkan seluruh pihak yang terdampak dari kebijakan yang harus dilibatkan sejak awal, dalam hal ini kebijakan publik harus dikontestasi terbuka dan transparan sehingga publik niscaya akan merasa dilibatkan dalam pembentukan suatu perundang-undangan. Selanjutnya, masyarakat menurut Philipus M Hadjon dalam teori perlindungan hukum represifnya dapat menempuh menempuh jalur konstitusional yang diamanatakan kepada lembaga yudikatif pada saat terciptanya sengketa atau ketidakadilan dalam berkehidupan bernegara, dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ini ke Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution, yang memiliki kewenangan untuk dapat memutuskan suatu undang-undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional baik secara formal maupun materil.
Pada hakikatnya, sangat penting bagi kita untuk menjaga aspirasi dari masyarakat luas, sehingga kita dapat menciptakan saling percaya satu sama lain dan juga kita harus terus menjaga dan melindungi demokrasi kita ini satu sama lain. Demokrasi yang kita perjuangkan di masa reformasi sekarang ini pada hakikatnnya harus kita pertahakan secara utuh tanpa ada pihak mana pun dapat mengambil dan menggaggu hak tersebut secara utuh.
Sebagai kesimpulan saya mengutip pendapat yang disampaikan oleh presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, bahwa: Sebuah kompromi yang baik, sebuah undang-undang yang baik, diumpamakan seperti halnya sebuah kalimat yang baik dan/atau sebagai musik yang baik. Semua orang akan mengakuinya dan mengatakannya, ini adalah UU yang kita inginkan dan kita cita-citakan. Karena UU ini bekerja dengan baik dan UU ini dapat diterima oleh nalar-nalar yang baik dari semua orang yang akan terkena dampaknya.”
Pernyataan dari Presiden Obama ini menjadi pembelajaran untuk kita semua, bagi para pembentuk UU dan para pengambil kebijakan di republik ini untuk terus mempertahankan nilai-nila dari demokrasi dalam bertindak, berbicara, dan juga pada saat mengambil keputusan yang penting pun, kita tetap mempertahankan nilai-nilai yang dianut oleh demokrasi. Karena, pada hakikitnya demokrasi dipercaya merupakan sebagai suatu ideologi yang terbaik; satu-satunya yang dapat mengantarkan pada tatanan masyarakat yang egalitarian, adil, dan sejahtera.[]
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah yang tertarik pada isu hukum, HAM, dan politik
Editor : Ihan Nurdin