SAMPAI di tengah jembatan kecil yang terbuat dari bambu itu, saya terpaksa berhenti. Kaki mulai gemetar. Rasanya seperti terpaku. Saya menjaga keseimbangan sambil berpegangan erat pada seutas tali nilon. Khawatir kalau sedikit saja tidak awas, bisa-bisa malah kecemplung ke sungai. Sungai itu sebenarnya tidak terlalu dalam. Alirannya sangat tenang. Nyaris tak bergerak. Saat itu airnya pun sedang surut. Namun, yang membuat saya ngeri karena struktur jembatannya tidak kokoh. Lebarnya hanya 60 cm. Di beberapa tempat menyisakan lubang. Panjangnya lumayan juga, sekitar 6-8 meter. Bambu-bambu itu berkeriyut kalau dipijak. Memantik kecemasan. Takut terperosok.
“Sini, barangnya biar saya yang bawa.”
Dian—rekan saya yang sama-sama datang dari Banda Aceh—menawarkan bantuan. Saya menyerahkan bungkusan plastik berisi beberapa keperluan dapur pada Dian. Setelah itu, barulah saya bisa kembali berjalan menapaki jembatan bambu itu dengan sedikit lega. Saat dipijak suaranya berderik-derik karena jalinannya memang tak kokoh. Di sekitarnya tampak hijau dengan vegetasi berupa pohon bakau. Aroma lumpur dan air payau terasa menyengat.
Di ujung jembatan yang menyatu dengan sebuah rumah, tampak dua pria dewasa sedang bercakap-cakap di serambi. Mereka tertawa ketika melihat kami—tepatnya saya—yang sedikit ketakutan saat melewati jembatan itu. Pria tersebut adalah Saiful—sang pemilik rumah—dengan tetangganya yang sejurus kemudian berpamitan dan kembali turun ke sungai dengan perahu.

“Piyôh,” Saiful menyapa dengan ramah. Ia mempersilakan kami masuk ke rumahnya.
Menyebut tempat tinggal Saiful sebagai “rumah” rasanya terlalu mewah. Kenyataannya, pria berusia 41 tahun itu hanya menempati sebuah bangunan yang bisa disebut sebagai rangkang atau gubuk bersama istrinya Cut Jariah dan ketiga anaknya: Dzuiki (15), Afdal (12), dan Zulfakar (4,5).
Rangkang itu dibangun di atas bantaran kecil yang memisahkan antara sungai Krueng Cunda dengan areal tambak di sekitarnya. Bentuknya mirip kotak mungil yang terdiri atas dua bagian saja, satu bagian untuk kamar dan satu bagian lagi berfungsi sebagai ruang tamu. Di ruang tamu itulah Saiful dan Cut Jariah menerima kunjungan saya bersama tiga rekan lainnya pada sore Senin, 19 Oktober 2020. Kedatangan empat tamu sekaligus membuat ruangan itu jadi terasa kian sempit. Namun, kehangatan sang pemilik rumah membuatnya terasa lapang.
Sebagian dindingnya dari tripleks, sebagian lagi hanya tertutup alakadar saja dengan spanduk bekas yang di beberapa bagian mulai robek. Gubuk ini juga tanpa jendela dan dinding. Dibangun secara swadaya berkat bantuan masyarakat sekitar yang menyumbang kayu, bambu, dan tripleks. Berada di kediaman Saiful dan Cut Jariah rasa-rasanya seperti berada di tengah kawasan rawa yang jauh dari pemukiman penduduk. Padahal, rumahnya yang terletak di Gang Marhaban, Lorong 4, Gampong Uteun Bayi, Kecamatan Banda Sakti, hanya terpaut sekitar dua kilometer saja dari pusat Kota Lhokseumawe. Kota yang pernah menjadi “mercusuar” karena julukan Petrodolar.
Sesaat setelah kami duduk, wajah Cut Jariah menyembul dari dalam bilik yang tertutup tirai. “Saya sedang memasak,” katanya sambil ikut lesehan bersama kami.
Sudah tiga tahun terakhir pasangan suami istri itu tinggal di gubuk tersebut sejak pulang merantau dari Kota Sabang. Sehari-hari Saiful bekerja sebagai pencari ikan dan kepiting di sungai, sedangkan istrinya mengurus rumah tangga. Dua anaknya masih sekolah. Si sulung Dzuiki melanjutkan pendidikan ke pesantren, tetapi sejak pandemi Covid-19 mewabah, remaja laki-laki itu memilih pulang. Sedangkan adiknya, Afdal, masih duduk di bangku SD.

Covid-19 yang mulai mewabah di Indonesia, termasuk di Aceh pada Maret 2020 lalu telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kelangsungan hidup masyarakat. Tak terkecuali bagi keluarga Saiful. Pandemi tidak saja membuat penghasilan Saiful ikut menurun karena terpengaruh rendahnya daya beli masyarakat, tetapi juga berdampak pada kelancaran pendidikan anak-anaknya. Jika biasanya Saiful bisa mendapatkan rupiah hingga Rp80 ribu dari menjual ikan dan kepiting, sekarang tak sampai Rp50 ribu. Kadang-kadang sama sekali tidak ada. “Sekarang saya juga sedang membuka tambak, tapi terkendala modal. Rencananya ingin memelihara udang vaname,” ujar Saiful.
Tak hanya Saiful yang dibebankan dengan kondisi wabah ini. Istrinya, Cut Jariah juga sangat terbebani. Meskipun ia tidak turut mencari nafkah, tetapi ia menampung beban tersendiri karena haruss mendampingi anak-anaknya belajar di rumah.
“Selama Covid ini anak-anak harus belajar dengan hape, tapi kami tidak punya hape,” kata Cut Jariah sambil tersenyum. Yang dimaksud Cut Jariah belajar “dengan” hape atau telepon seluler ialah materi-materi pelajaran yang diterima dari guru di sekolah biasanya dikirimkan kepada murid melalui ponsel.
Untuk mengakali agar anak-anaknya tetap bisa mengakses pelajaran, Cut Jariah rutin pergi ke sekolah untuk mengambil langsung tugas-tugas dari guru. Kadang-kadang, hanya anaknya saja yang pergi mengambil atau mengumpulkan tugas-tugas yang sudah dikerjakan. Kebetulan jarak antara tempat tinggalnya dengan sekolah tidak begitu jauh. Malamnya ia mendampingi buah hatinya menyelesaikan tugas-tugas itu dan belajar mengaji. Kadang-kadang Saiful juga turut membantu. Adakalanya Cut Jariah tidak begitu paham materinya, tetapi karena ia tidak punya perangkat yang memadai untuk mengakses internet atau untuk berkomunikasi langsung dengan guru, terpaksa menunggu hari esok dan datang langsung ke rumah guru.
“Kalau punya hape (android) kan bisa langsung kita tanya saat itu juga, tapi kami tidak punya, ya sudah, mau bagaimana lagi. Kami datangi saja rumah gurunya, kebetulan ada yang di sekitar sini,” katanya dengan nada pasrah.
Walupun harus berkorban waktu, Cut Jariah tidak masalah. Yang terpenting anaknya bisa tetap mengakses pelajaran. Inilah yang membuat Cut Jariah gundah. Dengan kondisi yang berlarut-larut seperti sekarang ini, perempuan kepala empat itu risau pendidikan anaknya akan terkendala.
“Kalau anak belajar dengan orang tua di rumah semangatnya beda. Anak-anak jadi cepat bosan, kita pun tidak begitu paham, suntuk mereka, kalau di sekolah mereka bisa bertemu dengan kawan-kawannya, jadi lebih semangat belajar.”
Ia berharap pemerintah bisa menemukan formulasi yang tepat dalam menyiasati sistem pendidikan di masa pandemi ini. Dengan begitu, warga yang memiliki keterbatasan seperti dirinya tidak perlu khawatir akan keberlangsungan pendidikan anak-anaknya.
Setali tiga uang dengan Cut Jariah, Nurhayani (36), ibu rumah tangga yang tercatat sebagai warga Gampong Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh juga mengalami persoalan yang sama. Meskipun tidak punya kendala pada perangkat teknologi informasi, dengan memiliki sepasang buah hati di usia sekolah cukup membuat Yani tertekan dengan situasi ini. Anaknya yang sulung, Nabil, kini kelas satu SMP, si bungsu Naya, kelas 4 SD.
Yani merasakan betul perubahan pola aktivitas di keluarganya selama pandemi yang cukup menyita waktu. Terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak-anaknya. Khususnya di awal-awal masa pandemi ketika pihak sekolah masih mencari-cari format yang sesuai untuk sistem praktik belajar secara daring (dalam jaringan). Setiap hari ia harus mendampingi kedua anaknya untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah yang jumlahnya sangat banyak.
“Dalam sehari, pernah sampai 30 soal yang harus dikerjakan untuk satu mata pelajaran. Sementara dalam satu hari bisa mendapatkan tugas untuk tiga pelajaran sekaligus. Tak jarang dari pagi sampai sore saya harus mendampingi anak-anak belajar, lho. Akibatnya tak ada waktu tersisa untuk mengerjakan hal lain. Dan itu cukup membuat stres,” kata Yani.
Bukan hanya dirinya yang merasakan stres, anak-anaknya juga. Pernah juga kata Yani, dia terpaksa bergadang hingga tengah malam agar bisa mengunggah tugas-tugas anaknya di aplikasi belajar.
“Saat itu entah kenapa tugas anak-anak tidak bisa diunggah ke aplikasi belajar yang digunakan sekolah. Mungkin servernya penuh karena banyak yang menggunakan atau bagaimana. Saya tidak mengerti,” tutur Yani. “Yang jelas, waktu itu saya panik karena sekolah mengharuskan semua tugas diunggah hari itu juga. Tidak ada dispensasi. Jadi saya abaikan semua tugas saya yang lain termasuk memasak, hanya fokus menghadapi hape.”
Keadaan ini mengusik emosinya. Yani mengakui, dalam mendampingi anak-anaknya belajar dia tidak cukup telaten seperti halnya guru di sekolah. Ditambah, tidak semua materi dikuasainya dengan baik sehingga membuatnya kadang merasa uring-uringan saat mendampingi mereka. Dampaknya, tak jarang anak malah menjadi sasaran atas ketidaksabarannya.
“Walaupun kita bisa cari jawabannya di internet, tetapi kan tidak semua soal tersedia di sana,” ujar Yani saat ditemui di kediamannya pertengahan Oktober lalu.
Pekerjaan domestiknya pun kerap terbengkalai karena dia mengutamakan mendampingi anak-anaknya belajar. Jadwal menyelesaikan pekerjaan rumah tangga pun jadi tidak terorganisir lagi. Jika biasanya pagi-pagi Yani selalu fokus untuk menyiapkan sarapan, sekarang dia harus mengomandoi anak-anaknya untuk “setor muka” kepada guru-gurunya di sekolah melalui telepon seluler. “Anak-anak kita foto dulu, lalu fotonya kita kirim ke gurunya sebagai ‘tanda hadir’ mereka,” kata Yani. Meskipun, Yani sendiri merasa heran. Untuk apa mengirim foto sebagai “tanda hadir” kepada guru jika setelah itu anak-anaknya memilih tidur kembali.
Tidak hanya Yani yang mengalami tekanan mental. Anak-anaknya juga turut tertekan karena banyaknya tugas dari sekolah yang harus diselesaikan. Jadwal belajar mereka menjadi tidak teratur. Sangat berbeda seperti belajar tatap muka di sekolah.
“Naya itu pernah sampai mengigau, tengah malam dia terbangun langsung duduk di meja belajar. Dia bilang mau bikin tugas, sedih kita, kan?” kata Yani dengan nada bertanya.
Yani juga jadi kekurangan waktu untuk istirahat. Dia harus pandai-pandai membagi waktu untuk melakukan pekerjan-pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, atau membersihkan rumah.

“Saya beruntung karena suami saya orangnya sangat pengertian. Dia tidak keberatan makan makanan warung, atau yang dipesan lewat aplikasi ojek online. Bayangkan kalau dia tak mau terima…. Tambah sakit kepala kita, kan,” ujar Yani. “Kalau dibilang stres, kondisi ini memang membuat stres. Padahal saya ini sarjana psikologi, tapi untuk mempraktikan apa yang dulu saya pelajari di kampus pada diri sendiri pun rasanya kesulitan dengan kondisi sekarang ini,” tambahnya seraya tertawa getir. Untuk mengurangi ketegangan, di akhir pekan, sesekali Yani dan keluarga kecilnya menyempatkan untuk jalan-jalan.
“Bagi saya, sekedar bersepeda menghirup udara laut, sudah cukup menggembirakan,” katanya. “Saya rasa, dalam masa pandemi sekarang ini, kita harus lebih pandai mencari hiburan, yang aman, tapi sehat bagi jiwa raga,” tambahnya sambil tersenyum.
Lain Yani, lain pula Cut Fah Meulu (34). Seorang ibu muda yang tinggal masih satu kampung dengan Yani. Pandemi membuat tugasnya sebagai ibu rumah tangga turut bertambah. Bersama suaminya, Ikhlizar (44), perempuan yang biasa dipanggil Cut Meulu ini mengelola usaha kelontong kecil-kecilan di rumahnya.
Biasanya, pagi-pagi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah, Cut Meulu akan pergi ke pasar untuk berbelanja sayur-sayuran. Setelah itu dia pulang, giliran suaminya yang ke pasar untuk berbelanja barang belanjaan yang lain. Sambil melayani pembeli yang umumnya ibu-ibu berbalanja sayuran, Cut Meulu bisa menyambi pekerjaan domestik lainnya seperti memasak dan membereskan rumah.
Namun, sejak pandemi dan proses belajar mengajar anak dilakukan dari rumah, fokus Cut Meulu jadi terbagi. Tidak hanya mengurus pekerjaan domestik dan kedai, dia juga harus mendampingi anak-anaknya belajar.

“Kadang-kadang sambil masak saya dampingi mereka belajar, harus pandai-pandai kita, tapi cukup terbantu karena ada HP (android), kalau tidak bisa jawab langsung cari di internet. Kalau dulu, anak-anak belajar di sekolah, kita di rumah bisa fokus mengerjakan tugas kita sendiri,” kata perempuan asal Lhoong, Aceh Besar, yang juga korban tsunami itu.
Cut Meulu juga mengalami dampak secara ekonomi. Usaha kelontongnya mengalami penurunan omzet sejak pandemi. Dampak dari menurunnya daya beli masyarakat. Namun, ia tetap bersyukur, setidaknya mereka masih punya sumber penghasilan.
Kondisi berbeda justru dialami Azmiati (38). Seorang guru honorer asal Gampong Paloh Dama, Kecamatan Kutablang, Kabupaten Bireuen, yang sudah 13 tahun mengabdi di SDN 13 di Gampong Ara Lipeh, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen.
Meski pandemi, Azmiati tetap ke sekolah dan mengajar murid-muridnya seperti biasa. Bedanya, jika sebelumnya dia pergi ke sekolah setiap hari, selama pandemi ini jadwalnya jadi dua kali seminggu. Walaupun akhirnya hampir setiap hari Azmiati pergi ke sekolah. Berjaga-jaga kalau-kalau ada guru lain yang tidak bisa hadir.
Bu Guru Azmiati bukannya hendak menantang anjuran pemerintah yang mengharuskan proses belajar mengajar dilangsungkan dari rumah selama pandemi. Namun, letak sekolahnya yang berada di pelosok, dan mayoritas masyarakat Ara Lipeh yang masih berpendidikan rendah, tidak memungkinkan bagi orang tua murid untuk mendampingi anak-anak mereka belajar tanpa bantuan guru. Ditambah, sebagian besar masyarakat di sana juga belum terakses dengan internet. Tentunya akan sangat menyulitkan bagi guru untuk berkoordinasi dengan para orang tua. Azmiati sendiri pun hanya memiliki ponsel “tit tut” untuk berkomunikasi. Barulah pada pertengahan Oktober lalu ia membeli sebuah ponsel android menggunakan uang hasil panen padi. Jika hanya mengandalkan gajinya sebagai honorer, sekadar bermimpi untuk mendapatkan ponsel pintar itu pun dia tidak berani.
“Gaji saya sebelumnya hanya Rp150 ribu per tiga bulan, kalau sekarang sudah naik menjadi Rp400 ribu per tiga bulan,” katanya.
Ia tahu, penghasilan itu memang tidak bisa diandalkan. Untuk bahan bakar sepeda motor yang setiap harinya harus menempuh jarak hampir 20 kilometer ke sekolah saja tidak cukup, apalagi untuk menopang ekonomi keluarga. Mau tak mau Azmiati pun turut bekerja membantu suaminya, Fakhruddin, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan. Dia bekerja menggarap sawah sendiri atau menerima upahan di sawah orang lain. Apalagi mereka juga sudah memiliki tiga anak, dua di antaranya sudah masuk SD. Namun, sejak masa pandemi ini penghasilan Fakhruddin jadi tidak menentu karena proyek bangunan juga menurun drastis. Di sela-sela kesibukannya itu, Azmiati juga harus menyisihkan waktunya untuk mendampingi dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Azmiati kerap merasa lelah. Pernah terlintas di benaknya untuk berhenti saja sebagai guru honorer. Tetapi bagaimana nasib anak-anak di Ara Lipeh jika dia berhenti mengajar? Panggilan jiwanya sebagai guru begitu besar. Titel Sarjana Pendidikan di belakang namanya bukan sekadar titel. Benar-benar diamalkan di kehidupan nyata. Namun, dari sebelumnya diamanahkan sebagai guru kelas, sejak 2019 lalu Azmiati minta “turun kelas” menjadi guru biasa saja.
“Beban sebagai guru kelas sangat besar, sangat menyita waktu saya. Kalau hanya sebagai guru biasa seperti sekarang, pulang sekolah saya masih bisa menyambi pekerjaan lain,” ujar guru Pendidikan Agama Islam itu.
Perempuan Mengalami Beban Ganda

Aktivis perempuan sekaligus Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Syiah Kuala, Khairani Arifin, mengatakan, dalam situasi pandemi seperti saat ini tidak hanya membuat perempuan-perempuan seperti Cut Jariah, Nurhayani, Cut Meulu, atau Azmiati hanya berhadapan pada ancaman virus saja. Mereka juga dihadapkan pada persoalan yang kompleks seperti problem sosial, ekonomi, kesehatan, hingga persoalan hukum.
“Covid ini membuat problem perempuan menjadi double,” ujar Khairani, “Banyak hak asasi mereka hilang. Hak atas kesehatan, hak hidup tanpa tekanan, dan banyak lagi. Mereka jadi kesulitan dalam mendapatkan berbagai akses layanan publik, terutama layanan kesehatan. Dalam situasi seperti ini untuk datang ke puskesmas masyarakat jadi takut. Takut kena Covid, sementara sosialisasi mengenai bagaimana mekanisme berobat di masa pandemi sangat kurang. Misalnya, ketakutan itu boleh, tapi dengan mematuhi protokol kesehatan juga bisa melindungi mereka. Sehingga dari sejumlah perempuan hamil yang kami temui, mengaku enggan untuk ke puskesmas selama pandemi ini,” kata Khairani saat berbincang di beranda rumahnya, Rabu petang, 28 Oktober 2020.
Di bidang ekonomi, pandemi sudah membuat banyak orang kehilangan sumber ekonomi. Bahkan di kalangan akademisi seperti dirinya pun, untuk sementara waktu tidak bisa melakukan penelitian-penelitian sebagaimana biasanya. Pihak kampus melarang dosen melakukan penelitian ke daerah-daerah. Padahal, biasanya melalui penelitian seperti ini memungkinkan para akademisi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
“Jadi banyak sekali kesempatan yang harusnya bisa didapatkan jadi tidak bisa didapatkan karena pandemi ini,” katanya.
Tak sedikit pula perempuan yang terpaksa ikut memikirkan beban ekonomi karena suaminya kehilangan pekerjaan seperti yang dialami oleh Azmiati. Kondisi ini jika terjadi berlarut-larut tidak hanya meningkatkan stres yang semakin tinggi, tetapi juga bisa memicu pertengkaran dengan pasangan. Ditambah kaum perempuan juga tetap harus melakukan pekerjaan domestik, mendampingi anak-anak belajar di rumah dan terkadang mereka terkendala dengan pelajarannya, belum lagi jika internet tidak mendukung.
“Akhirnya stresnya tinggi, otomatis kesehatan juga memburuk, tidur tidak nyenyak, ribut dengan pasangan, ujung-ujungnya malah jadi KDRT,” katanya lagi.
Apa yang disampaikan Khairani bukanlah retorika belaka. Di Fakultas Hukum Unsyiah tempat ia berkhidmat, Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum yang ada di fakultas itu mencatat kenaikan jumlah pengaduan yang signifikan dari masyarakat selama pandemi ini.
Sebelum pandemi, dalam sebulan paling-paling hanya ada tiga atau empat warga yang berkonsultasi. Namun, selama pandemi jumlahnya meningkat drastis, bahkan dalam satu bulan pernah sampai 30 pengadu. Umumnya mereka perempuan dan berkonsultasi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga selama pandemi, terutama berkaitan dengan kekerasan psikis. Mereka berasal dari beragam latar belakang dan status sosial maupun tingkat pendidikan.
“Kalau kasusnya berat-berat kita akan merujuk ke P2TP2A, ada tiga kali yang pernah kami rujuk, mereka yang kasusnya kita rujuk ini perlu eksekusi lebih lanjut dari pemerintah. LKBH hanya sebatas lembaga konsultasi saja, tidak bisa mendampingi hingga ke polisi atau pengadilan,” katanya.
Persoalan yang dialami oleh perempuan ini kata Khairani, memiliki efek domino yang sangat besar. Ia mencontohkan, ketika ada seorang ibu yang mengalami persoalan dengan pasangan, imbasnya akan dirasakan oleh anak-anaknya, bahkan lingkungan di sekitarnya. Tak sedikit juga mahasiswanya yang mengeluhkan disharmonisasi yang dialami oleh orang tua mereka, yang terjadi selama pandemi ini.
Khairani sendiri juga mengalami tekanan yang sama. Anjuran bekerja dari rumah justru membuat jam kerja jadi tidak terjadwal. Di saat-saat yang semestinya digunakan untuk beristirahat, justru harus menerima konsultasi-konsultasi dari masyarakat. Belum lagi pengeluaran yang turut membengkak seperti untuk membeli pulsa atau kuota internet karena memang tidak disediakan secara khusus dari organisasi.
Untuk mengurangi beban masyarakat di tengah situasi seperti ini kata Khairani, pemerintah seharusnya membuka akses layanan publik seluas-luasnya. Contoh kecil saja, pemerintah bisa memaksimalkan pelayanan di bidang kesehatan dengan cara menurunkan langsung petugas kesehatan ke masyarakat. Namun, menurutnya negara justru tidak hadir untuk menyelesaikan persoalan rakyatnya dalam situasi ini.
Pemerintah melalui perangkat-perangkatnya bisa menyediakan nomor layanan khusus Covid-19 di gampong-gampong. Sehingga, ketika ada warga yang merasa mengalami gejala-gejala yang mengarah pada Covid-19, mereka bisa menghubungi nomor layanan tersebut. Mereka tidak kebingungan.
Sebagaimana yang dilakukan LKBH FH Unsyiah, penting juga menurutnya kampus-kampus yang ada di Aceh untuk melakukan hal serupa. Dengan begitu, ketika masyarakat merasakan kesulitan atau butuh konsultasi khusus, mereka bisa mendapatkan akses pelayanan. Menurut Khairaini, sekecil apa pun peran yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam membuka akses informasi publik di masa pandemi ini akan sangat bermanfaat. Terutama yang menjangkau masyarakat akar rumput yang selama ini memang sangat terbatas dalam mengakses informasi publik.
Perlu Dukungan Sosial

Sementara itu, menurut psikolog yang juga Direktur Psikodista Konsultan, Nur Janah Alsharafi, upaya untuk meminimalisir tingkat tekanan psikologis masyarakat, khususnya di tengah pandemi seperti ini bukan hanya urusan individu. Negara, kata dia, justru menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, tak terkecuali dalam menjaga kesehatan mental mereka.
“Sebetulnya, ini bukan hanya urusan domestik, kalau kita ingin negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, persoalan semacam ini selain menjadi urusan rumah tangga masing-masing, juga urusannya RT/RW, gampong, mukim, kecamatan, kabupaten/kota, dan seterusnya hingga level provinsi dan negara,” kata Nur Janah.
Jika negara benar-benar hadir dalam melindungi warganya, terutama dari kelompok-kelompok rentan, maka tidak akan muncul kasus-kasus seperti adanya warga yang bunuh diri selama pandemi ini. Sebagaimana dialami oleh beberapa perempuan di atas, dan seperti yang telah dipaparkan oleh Khairani Arifin, seharusnya kata Nur Janah, pemerintah melalu berbagai instrumennya perlu memberikan dukungan sosial baik secara psikologis maupun pendekatan agama kepada masyarakat. Salah satunya ialah dengan membentuk layanan konseling bagi masyarakat yang dipusatkan di masjid/menasah atau kantor/balai desa.
“Idealnya dukungan psikososial itu harus ada di masa pandemi. Jadi, pemerintah desa bisa memetakan sosiometri warganya, misalnya keluarga A anaknya berapa, kondisi keluarga itu bagaimana, jadi bukan cuma pemetaan untuk menentukan warga miskin dan kaya saja.”
Dukungan sosial dari desa seperti saat ini sangat diperlukan. Desa bisa membentuk pusat belajar untuk membantu warganya yang kesulitan dalam mendampingi anak-anak mereka belajar dari rumah. Apalagi saat ini tersedia dana desa, hendaknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga fokus pada peningkatan kualitas hidup warga sehingga menjadi warga yang semakin sejahtera, sehat, dan bahagia.
Dengan adanya dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah ke setiap gampong dengan jumlah yang besar, seharusnya kata Nur Janah, tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan yang menimpa warga karena kesulitan ekonomi. Termasuk jug kasus bunuh diri.
“Dengan adanya dana desa ini, sangat memungkinkan bagi desa untuk memfasilitasi pendidikan warganya, bikin pusat belajar, sehingga kalau ada orang tua yang pendidikannya tidak terlalu tinggi dan kesulitan mendampingi anak-anaknya belajar, si anak bisa belajar di pusat belajar desa. Kalau perlu fasilitasi dengan internet gratis, ada mentornya juga, jadi walaupun tidak sekolah, anak-anak tetap belajar.”
Pemerintah desa juga bisa membentuk kelompok-kelompok warga di WhatsApp untuk meningkatkan kepedulian di antara sesama warga. Misalnya grup RT/RW atau lorong, sehingga jika ada warga yang kondisinya tidak baik bisa langsung terpantau. Dalam berkonsultasi, masyarakat juga bisa memanfaatkan layanan-layanan khusus yang disediakan oleh pemerintah seperti layanan 129 atau menghubungi nomor 081224164416 yang dikelola oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Di tataran domestik kata Nur Janah, para perempuan yang mengalami beban kerja berlebih diharapkan bisa mengomunikasikannya dengan pasangan. Jangan takut untuk berdiskusi atau tukar pikiran dan membicarakan apa saja kendala yang dihadapi.
“Jangan berharap pasangan akan tahu kalau tidak kita komunikasikan, manusia ini tidak punya telepati, jadi kuncinya ya harus berbicara, sampaikan,” katanya.
Menurutnya, penting juga bagi perempuan mengetahui teknik-tenik rileksasi secara sederhana yang bisa diaplikasikan dengan mudah seperti menggenggam ibu jari untuk mengurangi emosi sedih yang berlebihan.
Begitu juga di tempat bekerja, jika mengalami kendala-kendala tertentu ia menyarankan agar dikomunikasikan dengan pimpinan. Dengan begitu akan mudah dicarikan solusinya. Yang dikhawatirkan dari risiko beban kerja berlebih ini kata Nur Janah, bukanlah pada kelelahan fisik semata, tetapi efeknya bisa lebih buruk jika menjadi beban secara psikologis.
Bukan Masalah Domestik

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Banda Aceh, Cut Azharida, @aceHTrend/Ihan Nurdin
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berancana (DP3AP2KB) Kota Banda Aceh, Cut Azharida, mengatakan, persoalan yang dialami oleh perempuan dan anak bukan lagi persoalan individu/personal/domestik melainkan turut menjadi persoalan publik. Oleh karena itu, negara harus benar-benar hadir untuk menjamin hak-hak perempuan dan anak. Sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2004. Di tataran lokal, secara khusus Pemerintah Aceh juga telah menerbitkan Qanun Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Juga terdapat sejumlah qanun (perda) yang mengatur tentang perlindungan perempuan dan anak.
Dasar hukum ini seyogyanya menjadi alasan kuat untuk melindungi perempuan, tak terkecuali di masa pandemi Covid-19. Salah satunya dengan memenuhi hak perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pascasalin.
Dalam melaksanakan tugasnya, tak jarang mereka dihadapkan pada tantangan teknis seperti persoalan anggaran yang terbatas. Di Banda Aceh sendiri kata Cut Azharida, setengah anggaran di dinas tersebut sudah dipangkas untuk refocussing anggaran penanganan Covid-19. Sejumlah kegiatan peningkatan kapasitas perempuan yang telah direncanakan untuk tahun ini pun terpaksa ditiadakan.
Namun, untuk pelayanan kesehatan dasar perempuan seperti penyuluhan keluarga berencana tetap berjalan seperti biasa. Hanya saja, karena dalam kondisi di tengah pandemi, diakuinya ada keterbatasan ruang gerak bagi para penyuluh saat turun ke desa-desa.
“Para Penyuluh Lapangan KB dari dinas secara rutin akan turun ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan mengenai KB. Kaum ibunya dikumpulkan, tetapi dalam jumlah terbatas karena ini sedang pandemi,” kata Cut Azharida.
Melalui kegiatan ini kaum ibu akan diberikan informasi mengenai cara menghindari kehamilan risiko tinggi, menurunkan angka kematian ibu dan bayi, hingga mengatur jarak lahir untuk menjaga kualitas anggota keluarga yang dilahirkan.
Baru-baru ini, pihaknya juga melakukan pelatihan paralegal komunitas untuk para perangkat desa. Pelatihan ini merupakan pembinaan lanjutan dari kegiatan tahun sebelumnya. Dengan adanya pelatihan ini, paralegal tersebut diharapkan bisa mengidentifikasi jenis-jenis kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di gampong dan penanganannya, serta cara memberikan pelayanan pertama terhadap korban kekerasan.
“Kita melatih mereka bagaimana melayani dan mendampingi korban di tahap awal yang baru mengalami kekerasan, jadi kepekaan mereka juga dilatih.”
Dengan berfungsinya paralegal komunitas di gampong-gampong ini kata Cut Azharida, untuk kasus-kasus ringan bisa diselesaikan segera di tingkat gampong. Sementara untuk kasus-kasus yang serius bisa ditangani oleh dinas melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
“Intinya, kami sedang terus menerus mengusahakan agar sasaran kerja kami, yaitu kaum perempuan dan anak, terlayani dengan baik,” kata Cut Azharida. “Selama masa karantina yang lalu, kegiatan yang berhubungan dengan lapangan ditiadakan sama sekali. Padahal ujung tombak program kantor kami justru turun ke lapangan, interaksi dengan masyarakat. Sekarang setelah tidak ada karantina daerah lagi, kami bisa kembali fokus pada pelayanan.” Jelasnya.
***
Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari delapan bulan. Masih belum ada tanda, kapan akan mereda. Sementara itu kaum perempuan semakin terbungkuk di bawah tekanan beban yang bertambah. Ketahanan mereka diuji dengan sangat berat. Meskipun berada dalam kondisi sulit, harapan demi harapan terus mereka pupuk. Dari Gampong Paloh Dama, Azmiati, bahkan tidak hanya berharap untuk dirinya sendiri. Ia juga berharap agar teman-temannya sesama guru honorer bisa turut mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Begitu juga dengan Cut Jariah di Uteun Bayi. Matanya masih menyorotkan optimisme. Tampaknya, kedatangan virus ini suatu saat akan menjadi pembuktian, apakah kita semua akan sanggup saling mendukung sebagai satu kesatuan rakyat dan pemerintah, untuk memenangkan ujian ini.[]