ACEHTREND.COM,Bireuen- Sebagai pedagang kecil yang menumpang di kaki lima warung kopi di Kota Matanggglumpangdua, Bireuen, Muhammad Iqbal (29) adalah salah seorang yang paling pertama merasakan pil pahit akibat kehadiran Covid-19 ke Aceh.
Tanpa sosialisasi yang mencukupi, Pemerintah Kabupaten Bireuen kala itu, mulai memberlakukan jam malam sejak Minggu (29/3/2020). Petugas yang terdiri dari unsur kepolisian dan Satpol PP turun ke pusat keramaian, tidak terkecuali Matangglumpangdua. Mereka hanya memberi waktu siapapun yang berjualan, dipersilahkan buka hingga jelang magrib. Artinya hanya ada waktu sekitar beberapa jam sejak larangan aktivitas malam diberlakukan.
Kala petugas datang, Iqbal baru saja membuka rak martabak telur di salah satu emperan kedai kopi tempat ia selama bertahun – tahun menggantungkan asa demi menghidupkan ekonomi keluarga.
Martabak telur merupakan kuliner yang dijual setelah Asar. Biasa dikudap sebagai makanan santai warga tempatan maupun para pelintas. Ketika petugas datang memberitahu pemberlakuan jam malam, ayah satu anak itu, baru menata barang dagangan. Tentu ia kaget, tapi tidak bisa berbuat banyak.
Dia menatap jejeran telur ayam yang sudah ditata di dalam rak kaca. Juga dua ikat lainnya yang masih ada di dalam lemari mini di bagian bawah rak. Berikut cabai, bawang dan lainnya yang sudah dia beli untuk kebutuhan beberapa hari.
“Saat itu saya tidak bisa berbuat banyak. Tidak tahu marah pada siapa. Karena Covid-19 datang ke Aceh juga tidak permisi pada siapapun,” kata Iqbal, Selasa (3/11/2020)
Pada Sabtu malam (11/4/2020) Pemerintah Kabupaten Bireuen mencabut pemberlakuan jam malam. Bupati Bireuen Dr. H. Muzakkar A. Gani, SH,MSi, kala itu turun ke berbagai pusat keramaian mulai dari Kota Bireuen hingga ke kota – kota kecamatan. Ia mewanti- wanti bahwa pencabutan jam malam bukan berarti masa tanggap darurat Covid -19 selesai. Dia mengimbau setiap orang menaati protokol kesehatan. Tetap menjaga jarak, memakai masker dan sering mencuci tangan.
Dicabutnya jam malam, disambut gembira oleh semua orang, termasuk Iqbal. Dia kembali dapat berjualan. Tapi kondisi tidak lagi serupa. Bila sebelum Covid-19 datang dia bisa mengumpulkan uang Rp800.000 per malam. Kini setengah dari omzet awal.
“Sejak Covid-19 daya beli masyarakat semakin turun. Sekarang tiap malam saya hanya dapat menghimpun uang Rp300.000 hingga Rp400.00. Itu dari pukul 17.00 hingga 03.00 dinihari,” kata Iqbal.
Kondisi semakin parah dengan naiknya harga barang beberapa waktu terakhir. Dengan alasan bulan maulid, pedagang menaikkan harga telur, bawang, daun bawang, lada, dan cabai.
“Harga barang naik. Alasan mereka karena maulid. Permintaan dengan pasokan tidak seimbang,” terang Iqbal. Kenaikan harga barang tentu tidak bisa diikuti oleh naiknya harga martabak telur. Per porsi martabak tetap dijual Rp8000. Sedangkan canai Rp4000 per porsi. Bungkus atau makan di tempat, harganya tetap sama.
Apa yang dialami oleh Iqbal, juga dirasakan oleh Taufik Hidayat (32). Lelaki yang telah berjualan martabak sejak SMA itu, ikut terdampak pandemi Covid-19. Beda dengan Iqbal, Taufik berjualan martabak di warung kopi terkenal di Matangglumpangdua. Warkop tempat Taufik berjualan, dikenal dengan kuliner sate matang yang aduhai. Tentu dia ikut ‘terdampak’ dari efek positif kunjungan yang ramai. Di mana ada gula di situ ada semut. Di mana banyak pengunjung, di situ uang berhimpun.
Pun demikian, selama Covid-19, tamu yang mampir ke warung besar itu juga mengalami penurunan. “Kondisi saya sama seperti pedagang lain, mengalami penurunan omzet secara drastis. Walau saya tetap harus bersyukur karena efek warung besar berdampak juga kepada martabak yang saya jual. Pembelinya lebih ramai dari pada martabak telur yang dijual di beberapa warung yang lebih kecil,” kata Taufik.
Terbantu Karena Prakerja dan Bantuan Dana UMKM
Kedua pria muda itu, kepada aceHTrend mengaku tetap bertahan, sesulit apapun kondisi di tengah pandemi Covid-19. Selain karena memang itu satu – satunya keahlian yang diwarisi dari orangtua mereka, juga keduanya yakin bila kondisi akan membaik.
“Wuhan saja bisa pulih, apalagi kita yang bukan tempat asal virus itu. Dengan menerapkan protokol kesehatan, saya meyakini Aceh dan Indonesia akan pulih dalam waktu tidak lama lagi,” kata Iqbal.

Dua pedagang muda itu semakin optimis dapat mempertahankan niaga mereka, setelah keduanya mendapatkan suntikan dana dari bantuan langsung tunai (BLT) untuk modal usaha Rp 2,4 juta dari Pemerintah Pusat. “Alhamdulillah dengan bantuan UMKM, kami dapat memperpanjang nafas jualan martabak telur,” kata Iqbal dan diamini oleh Taufik.
Selain itu, Iqbal dan Taufik juga mendapatkan dana dari program prakerja. Selama empat bulan alumnus SMP 1 Peusangan dan SMA 2 Peusangan tersebut mendapatkan dukungan langsung dari negara. “Dana prakerja sangat membantu saya untuk tambah modal berjualan di tengah pandemi Corona,” imbuh Iqbal dan diamini lagi oleh Taufik.