Oleh Fitriani SE*
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.”
(Ali Bin Abi Thalib)
Kutipan di atas memberikan pesan untuk kita, para orang tua, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan berubah. Setiap perubahan, meskipun perubahan yang lebih baik, pasti ada ketidaknyamanan. Misalnya, sesuatu yang hari ini menjadi hal istimewa bagi kita, saat 10–20 tahun ke depan mungkin hanya menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja atau sebaliknya. Sesuatu yang hari ini mustahil, mungkin saja suatu saat nanti akan menjadi hal yang sangat mudah didapatkan.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.” Ketika zaman berubah, tentu tantangannya pun berubah. Baik tantangan untuk bertahan hidup, bergaul, menuntut ilmu, cara berkomunikasi dengan anak, maupun tantangan-tantangan lainnya. Hal yang menjadi PR besar bagi kita sebagai orang tua adalah mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi zamannya, bukan zaman kita.
Orang tua diharapkan mampu melindungi anak-anak dari ancaman era digital, tetapi tidak menghalangi potensi manfaat yang ditawarkannya. Visi besarnya tentu agar anak-anak kita menjadi anak yang bermanfaat dan berdaya guna serta dapat menjadi amal kebaikan kita di akhirat kelak. Maka, dari sinilah pentingnya para orang tua untuk selalu belajar dan terus belajar agar memahami bagaimana zaman terus berkembang, sehingga perlu menyesuaikan dengan pendidikan anak-anak kita.
Generasi Digital dan Media Digital
Di era digital ini terdapat dua generasi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan, apa sajakah itu? Ya, anak sebagai generasi digital native, sedangkan orang tua sebagai generasi immigrant digital.
Digital native adalah generasi yang lahir di masa perkembangan teknologi digital berlangsung atau kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet. Di lain sisi, kekhususan daripada generasi ini yaitu bisa dilihat dari segi ingin menampakkan identitas diri. Maksudnya, mereka akan membuktikan kepada dunia bahwa mereka “ada”. Misalnya, ramai-ramai membuat akun (data diri) di Facebook, Path, Instagram, dan Twitter.
Selain itu, generasi ini juga memiliki kecenderungan lebih terbuka, blak-blakan, dan berpola pikir agresif. Mereka tidak suka diatur dan dikekang. Pada umumnya, mereka ingin memegang kontrol, dan internet menawarkan hal itu. Sedangkan dalam proses belajar, generasi ini memiliki kecenderungan aktif mengakses dengan menggunakan layanan Google atau dengan mesin pencari lainnya. Kemampuan belajar mereka jauh lebih cepat karena segala informasi ada di ujung jari mereka.
Sedangkan generasi immigrant digital merupakan generasi yang pernah hidup di masa ketika teknologi belum berkembang, kemudian mengikuti masa perkembangannya hingga sekarang. Pada umumnya, generasi ini perlu belajar terlebih dahulu dan tidak selalu mudah dalam mempelajari gadget masa kini. Generasi ini juga mempunyai kekhususan yaitu lebih mengutamakan fungsi dasar. Misalnya, telepon hanya untuk menelepon dan mengirim pesan singkat (SMS), sedangkan fitur atau aplikasi lain tidak atau belum digunakan secara optimal serta tidak atau kurang peduli dengan dunia maya. Di sisi lain, digital native adalah salah satu pemandu mereka dalam mempelajari gadget.
Kedua generasi tersebut akan menjadi penghuni “tetap” dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan. Tak dapat dipungkiri, ke depannya akan ada perkembangan-perkembangan generasi yang lebih bervariasi lagi seiring berkembangnya teknologi. Walaupun demikian, media digital terhadap anak-anak masih harus dibatasi. Seperti pisau bermata dua, media digital dapat memberikan manfaat, tetapi juga dapat membahayakan kita. Banyak hal positif yang bisa kita peroleh dari media digital; dari informasi, pengetahuan dan berita dari dalam dan luar negeri, hingga hiburan yang bisa menyegarkan otak kita. Namun, media digital juga dapat menjadi bumerang bagi kita. Jika kita tidak pandai mengaturnya, kitalah yang akan diatur oleh media digital.
Belakangan ini, banyak orang tua yang mengeluh anaknya kecanduan gadget. Lantas bagaimana cara menyikapinya? Itu menjadi tantangan besar bagi sebagian orang tua untuk memperoleh “jawabannya”. Hidup di zaman era digital ini, memang terkadang tidak bisa disangkal bahwa anak akan berdekatan dengan yang namanya gadget; dari televisi, telepon genggam, hingga tablet. Padahal, kecanduan akut terhadap gadget pada anak dapat merusak kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. Efek rusaknya dalam beberapa hal bisa sama seperti kecanduan alkohol atau narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
Penelitian yang dilakukan oleh British Heart Foundation (BHF) menunjukkan bahwa hanya 1 dari 10 balita ‘generasi iPad’ yang cukup aktif untuk bisa dikategorikan sehat. Namun, bukan berarti anak harus dihindari sepenuhnya dari gadget. Bagaimana pun teknologi tetap memiliki peran dalam membantu perkembangan anak, asalkan kita tahu batasannya.
Orang tua dapat mengetahui apakah anaknya telah kecanduan gadget atau tidak, dapat dilihat dari perilaku anak itu sendiri. Ciri-ciri anak yang kecanduan gadget antara lain: penggunaan gadget secara terus-menerus disertai kurangnya minat untuk bersosialisasi, menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk menggunakan gadget, melakukan protes atas segala pembatasan dan aturan soal gadget, tidak dapat melewatkan waktu sehari pun tanpa gadget, selalu minta diberikan gadget (jika tidak diberi, anak akan mengamuk), dan tidak mau beraktivitas di luar rumah (misalnya, bersikeras minta pulang cepat agar bisa bermain game di rumah). Pada akhirnya, perdebatan terkait gadget akan membawa orang tua dalam pusaran yang tak kunjung selesai.
Namun, yang perlu diingat, dalam setiap pro dan kontra selalu ada solusi. The American Academy of Pediatrics (2013) dan Canadian Paediatric Society (2010) telah menerbitkan pedoman screen time terkait bagaimana cara bijak mengatasi kecanduan gadget pada anak, yaitu: anak-anak di bawah usia tiga tahun sebaiknya tidak diberikan izin bermain gadget, termasuk TV, smartphone, atau tablet; anak-anak usia tiga hingga empat tahun disarankan menggunakan gadget kurang dari satu jam dalam sehari; anak-anak usia lima tahun ke atas sebaiknya menggunakan gadget tidak lebih dari dua jam dalam sehari untuk penggunaan rekreasional (di luar kebutuhan belajar).
Di samping itu, menjadwalkan waktu yang tepat untuk bermain gadget juga diperlukan serta tidak memberi akses penuh kepada anak. Selain itu, orang tua juga harus bisa menetapkan wilayah bebas gadget, juga mengajarkan anak pentingnya menahan diri dalam menggunakan gadget serta memberikan contoh yang baik kepada anak ( meletakkan ponsel dan ikut bermain bersama anak).
Gantilah Gadget dengan Buku Bacaan
Benarkah jika kita membiarkan anak bermain gadget atau asyik dengan dunia digital secara berlebihan terlalu dini tanpa pengawasan, kemampuan membaca anak akan terganggu? Jawabannya tentu saja benar. Mengapa demikian? TV yang sering kita lihat atau video di gadget memiliki pergerakan gambar yang sangat cepat. Oleh karena itu, begitu anak diberikan buku (gambar tidak bergerak/diam saja), secara otomatis anak akan pergi meninggalkan kita. Karena baginya, buku tersebut tidak menarik jika dibandingkan gadget atau tayangan TV tadi. Mata anak sudah menjadi “malas” atau disebut visual laziness, yang selanjutnya dapat berakibat mental laziness (red-kepribadian yang malas)
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk menumbuhkan minat baca sejak dini pada anak antara lain: menghadirkan perpustakan keluarga di rumah dengan sarana buku-buku yang terkonsep dan tertata rapi, bagi orang tua yang bekerja dapat membiasakan membacakan buku kepada anak selama 15 hingga 20 menit setiap harinya, secara bergantian sebelum atau sepulang dari bekerja. Di sisi lain, sesekali mengajak anak ke tempat-tempat yang pernah diceritakan di dalam buku juga penting, agar anak bisa lebih termotivasi untuk memulai membaca. Membiarkan anak bercerita dengan gaya bahasanya sendiri juga diperlukan serta mengajak anak ke perpustakaan dan memperkenalkannya tentang jenis-jenis buku bacaan.
Lantas, yang paling diperlukan adalah melakukan “diet” digital kepada anak dengan batas-batas yang masih wajar dan tidak berlebihan. Dengan begitu, kita sebagai orang tua bisa menjadi panutan dari sang anak dan tidak dikendalikan oleh teknologi.[]
*Penulis adalah Guru Bidang Studi IPS, SD Sukma Bangsa Bireuen
Editor : Ihan Nurdin
Komentar