Oleh Ahmad Humam Hamid*
Sial dan keberuntungan tidak hanya menjadi monopoli nasib individu, keluarga, atau masyarakat. Kedua kata itu juga bisa terjadi pada negara bangsa. Kadang memang ada waktu yang membuat untung tak bisa diraih, dan malang tak bisa ditolak. Cerita jatuh bangun negara, bahkan pusat peradaban menghiasi buku sejarah, sehingga muncul berbagai perspektif dan bahkan grand teori. Berbagai pemikiran ditulis, mulai dari Ibnu Khaldun, Edward Spengler, Arnold Joseph Tonybee, dan lain-lain.
Salah satu perspektif yang paling sering didiskusikan adalah teori siklus yang kerangka awal teorinya ditulis oleh Edward Spengler, dan kemudian dilanjutkan oleh Tonybee. Penjelasan pemikiran kedua ilmuwan ini sangat sederhana. Sama dengan hidup, peradaban juga mempunyai tahapan atau siklus. Sama dengan manusia, peradaban juga lahir, tumbuh, remaja, dewasa, tua dan mati.
Logika siklus membuat kita mudah untuk mengerti perpindahan pusat peradaban dari Firaun di Mesir,Kerajaan Persia dengan Darius Agung, Yunani, Romawi, Dinasti Umayah dan Abasiyah, Dinasti Khan Monggolia. Dinasti Tang di Cina, Dinasti Ottoman di Turki dan dalam dua abad terakhir Inggris Raya dan Amerika Serikat. Tidak hanya itu di Amerika Tengah ada imperium Inca,sedangkan di Amerika Selatan ada pula peradaban Maya. Semua itu adalah peradaban besar yang meninggalkan bekas, baik budaya material dan non material yang luar biasa biasa, dan tak jarang terus digunakan oleh masyarakat moderen pada saat ini.
Fakta pyramid dan patung Sphink besar di tengah gurun dekat Kota Kairo di Mesir misalnya memberikan pesan dan keyakinan kepada kita bahwa ada sebuah periode pada zaman dahulu kala tentang kejayaan dinasti Firaun yang sangat maju, kuat dan hebat. Kehebatan arsitektur dan struktur bangunan yang luar biasa itu, sampai hari ini belum mampu dijawab oleh ahli manapun. Dinasti Firaun juga memberikan bukti kepada kita, betapa manajemen makanan penduduk yang dihasilkan dari pertanian gandum di delta Sungai Nil adalah buah karya insinyur bangunan air yang dimiliki kerajaan itu ribuan tahun yang lalu.
Kita dapat membayangkan bagaimana sumberdaya yang dimiliki, kecanggihan organisasi dan manajemen konstruksi yang dipunyai, dan ilmu yang mendasari kehebatan budaya material itu. Hebatnya, bangunan itu telah melintasi milenia, namun bangunannya tetap indah dan kokoh sepanjang zaman. Kitab suci Al-Quran menceritakan tentang dinamika sejarah Firaun, tentang Nabi Musa yang hidup bersamanya, dan kemudian dimusuhinya. Al-Quran juga menceritakan perilaku megalomania yang dimiliki Firaun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Tidak cukup dengan budaya material yang dimiliki, dinasti Firaun juga meninggalkan budaya non material yang luar biasa, yang terungkap semuanya melalui hieroglif ,sebuah tulisan yang menggunakan gambar sebagai symbol untuk menggunakan logograf- dan alfabet dan telah berumur lebih dari 3.000 tahun.
Yang selalu menjadi pokok kajian dari para pembelajar dan pemerhati sejarah terhadap fakta berbagai imperium yang hebat itu adalah bagaimana proses kelahiran, tumbuh, berkembang, dan jayanya imperium mencapai puncak tertinggi, kemudian turun secara perlahan, dan hilang dari muka bumi selamanya. Dalam kasus Romawi diceritakan misalnya bagaimana keberuntungan Romawi yang mempunyai lima raja terbaik pada akhir dan awal abad Masehi yang mengantar Romawi mencapai puncak tertinggi sejarah. Kehebatan Romawi pada abad kedua kemudian mengalami sebuah ledakan besar pandemi yang dikenal dengan wabah Antonine yang memberikan pukulan telak kepada imperium itu.
Sejarah juga menceritakan tentang ketidak beruntungan Romawi yang mengalami jajaran pemimpin yang kurang berkualitas, bahkan bebal dan berwatak jelek pada masa pasca pandemi Antonine itu, dimulai dengan Comodus, anak dari Marcus Auralius pada penghujung abad ke II. Pukulan pandemi, ditambah dengan raja-raja yang buruk setelahnya adalah ketidak beruntungan Romawi Barat yang secara perlahan mengalami pembusukan selama berabad-abad. Ketidakberuntungan itu semakin menjadi-jadi ketika korupsi dan hedonisme menjadi budaya dominan dan terus menerus ditumbuh kembangkan oleh elitnya, sehingga akhirnya Romawi Barat hanya meninggalkan nama dan jejak peradabannya di muka bumi.
Pada zaman ini kita sedang melihat sebuah “imperium” besar dunia yang sering disebut oleh para ahli tengah mengalami proses “penurunan” dan bahkan sedang memasuki fase akhir “kedigdayaannya” dimuka bumi. Pengamatan terhadap fenomena itu telah lama dibicarakan oleh para ahli. Salah seorang yang yang termasuk dalam kategori 100 pemikir global paling bepengaruh, Fareed Zakaria, pria Islam kelahiran India yang kemudian menjadi warga negara AS telah memberi aba-aba pada tahun 2008, ketika ia menulis buku, The Post American World.
Di dalam buku itu, Fareed menulis kehebatan AS yang telah menyebarkan faham demokrasi, menjadi kekuatan penentu dalam penghentian dan pemusnahan kekuatan fasis di Eropa dan Asia pada Perang Dunia II, dan menjadi pelopor keteraturan kehidupan global melalui PBB dan berbagai organisasi dan institusi maultilateral, termasuk pengadilan internasional untuk kejahatan kriminal melawan kemanusiaan. Amerika juga dianggap berjasa karena setelah Perang Dunia II, membentuk rezim pembangunan internasional Breton Woods melalui Bank Dunia dan IMF. Tidak hanya itu, AS juga membentuk organisasi perdagangan Internasional yang mengatur berbagai ketentuan dan perdagangan dalam semangat perdagangan bebas.
Tidak dapat dibantah, hasil kerja keras banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah memberikan hasil yang cukup luar biasa. Hanya dalam tempo 40 tahun,kemikinan dunia telah berkurang dari 40 persen menjadi sekitar 8 persen pada tahun 2019. Sejumah negara yang telah naik status secara bertingkat, dari miskin, menjadi menengah bawah, menengah atas dalam jumlah yang besar.
Pertumbuhan ekonomi negara – negara berkembang mengalami perkembangan yang luar biasa. Cina telah berubah statusnya dari negara miskin parah pada tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan menjadi negeri dengan ekonomi terbesar kedua setelah AS. Semua kejadian itu terjadi dalam suasana global yang relatif damai, dan kampiun perdamaian itu adalah AS dengan segala kebaikan dan keburukannya.
Istilah “payung keamanan” global yang dikaitkan dengan Pax Americana adalah sebuah julukan yang diberikan sebagai konsekuensi hegemoni global AS yang telah memberikan peluang membangun luar biasa secara global dalam suasana damai. Disebut damai, karena memang sebelum Perang Dunia II, dunia tidak pernah berhenti berperang, dan perang itu berlanjut sesama negara besar yang membuat dunia tidak pernah aman.
Setelah capaian semua itu terjadi, kini dunia menyaksikan sebuah drama baru, ketika sang adidaya telah berubah menjadi raksasa yang sakit, lemah, dan gontai. Kini, kecuali kekuatan angkatan perang AS yang masih sangat kuat, hampir semua komponen lainnya berada dalam bayang-bayang kemuraman yang tiada tara. Ketimpangan pendapatan yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang rendah, pengangguran, masalah rasial kulit hitam, keterbelahan warga terhadap pilihan politik yang cukup tajam, dan peran AS yang semakin meredup pada tataran global bersamaan dengan tampilnya sejumlah kekuatan baru dunia.
Sekedar gambaran keterpurukan AS dalam bidang ekonomi, lihat saja utang nasionalnya yang berjumlah 20,3 triliun dolar, dengan rasio dengan GDP 98,2persen. Apakah ini aib atau bukan lihat saja utang AS ke Cina dan Jepang, berturut-turut 1,07 trilliun dolar dan 1, 29 trliun dolar. Yang sangat sulit untuk dipercaya, antara 45-54 persen penduduk AS tidak punya tabungan individu, dan hanya 22 persen yang mempunyai tabungan 5,000 dolar. Sebaliknya di Cina kontribusi tabungan rumah tangga berjumlah sekitar 25 persen dari rasio GDP, dan bersama-sama dengan negara berjumlah 47 persen dari rasio GDP. Bandingkan saja dengan rasio tabungan rumah tangga dan negara AS terhadap GDP hanya sekitar 5 persen dan 12 persen.
Kini AS telah memilih presiden baru, Joe Biden, yang berumur 78 tahun, namun mempunyai pengalaman jam terbang dalam dunia publik dan politik AS hampir selama umur dewasanya. Berpengalaman dalam dunia legislatif puluhan tahun, pernah menjadi wakil presiden dua periode, rendah hati dan berpenampilan sederhana. Kini ia mewarisi pemerintahan yang kontroversial, pemerintahan yang mengubah kawan menjadi lawan, menjadikan lawan sebagai musuh, dan pongah di dalam negeri dan luar negeri.
Biden juga mewarisi situasi keuangan dan ekonomi yang parah, angka pegangguran yang tinggi, insitusi kepolisian yang kurang dipercayai publik, dan keterbelahan sosial yang tinggi. Namun dari semua itu, suatu hal yang paling berat yang akan diurus Biden adalah keparahan penularan dan kematian akibat pandemi Covid-19 yang melanda negerinya.
Dengan angka penularan yang jutaan, dan kematian melebihi 230,00 hari ini, bagi AS persoalannya kini bukan lagi masalah pandemi. Persoalannya adalah pertanyaan tentang kapasitas negara, dan inovasi ilmu pengetahuan dan kehebatan berbagai ilmuwan di kampus-kampus kampiun internasional yang tak terdengar. Ini adalah aib nasional AS yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan dalam beberapa kasus pandemi, atau calon pandemi, seperti MERS dan SARS, termasuk HIV , AS selalu tampil memimpin masyarakat global untuk mencegah wabah itu menyebar secara luas. Sekalipun HIV sampai hari ini masih belum dapat diatasi, akan tetapi masyarakat global patut berterima kasih terhadap berbagai upaya keras yang telah dilakukan AS untuk mengurang penyebaran dan jumah kematian, berikut dengan perlakuan terhadap penderitanya.
Dalam sebuah wawancara dengan salah satu radio di AS beberapa waktu yang lalu, Tom Friedman, wartawan senior The New York Times, dan penulis buku terkenal tentang globalisasi dan revolusi digital ,menyebutkan optimismenya tentang kemampuan Biden menangani pandemi Covid-19. Ia secara satire menyebutkan tentang kehebatan “merusak” Trump, dan kepandaian Biden “memperbaiki” dengan sejumlah kasus masa lalu yang pernah ditanganinya. Tidak hanya dalam pandemi, Tom Friedman juga percaya bahwa Biden juga akan mampu membawa era baru AS pada tataran internasional.
Pada tahun 1941, Henry Luce, pendiri majalah Times, Life, dan Fortunes memperkenalkan istilah “Abad Amerika” sebagai proklamasi terhadap kedigdayaan AS, walaupun Inggris dianggap masih menyandang sebagai pemegang utama hegemoni global, Klaim wartawan, intelektual kondang, dan pengusaha itu terbukti setelah AS sebagai pemimpin sekutu menjadi pembebas Eropa dan Afrika dari fasis Jerman dan Italia, dan Asia dari fasis Jepang. Kemudian Inggris mundur secara teratur, dan AS betul-betul menjadi kekuatan yang mendikte dunia dengan kekuatan perang dan uangnya yang berlimpah. Tidak jarang sekali-kali status hegemoni yang dimilkinya membuat AS merasa perlu “menertibkan” dunia dengan caranya sendiri tanpa peduli bahkan pada aturan dan etika yang dilahirkan oleh AS sendiri.
Bebarapa bulan yang lalu, istilah “Abad Amerika” yang diperkenalkan oleh Luce dan digunakan sebagai objek perbahasan tak pernah habis oleh para ilmuwan dan pengamat, dipertanyakan dalam editorial majalah berpengaruh internasional, The Atlantic. Disebutkan tentang klaim AS sebagai pemilik abad, padahal kalau dihitung semenjak perang dunia, peran hebat AS di panggung internasional baru berjalan hanya sekitar 65 tahun.
Banyak pengamat setuju bahwa AS sedang surut dalam segala hal, terutama dalam hal ekonomi dan keuangan. Bahkan banyak lembaga keuangan internasional memperkirakan paling lambat pada tahun 2030, Cina akan menggeser AS dari nomor satu menjadi nomor dua ekonomi terbesar di dunia.
Ramalan itu kini direvisi lagi, setelah Covid-19, apalagi setelah AS bengalami kontraksi GDPnya yang paling parah semenjak perang dunia II untuk tahun ini, sementara Cina, dan di dunia, hanya Cina yang mempunyai pertumbuhan positif pada kuartal ketiga dengan angka 4,9 persen. Banyak pengamat juga hampir setuju bahwa Covid-19 akan mempercepat Cina tampil ke panggung international sebagai kekuatan baru dunia yang mumpuni.
Dalam kaitannya dengan Biden, maka pertanyaannya bukan lagi apakah AS akan surut, tetapi seberapa cepat atau besarnya AS surut, baik dalam konteks domestik dengan rakyatnya, maupun dalam konteks internasional. Memang menjadi kaya tidak mudah, menjadi miskin memang tak sukar. Tetapi mejadi kaya, kemudian miskin, lalu berpenyakit, itu berat sekali dan mungkin memalukan. Itulah pekerjaan Biden dan masyarakat AS di tahun-tahun mandatang, memastikan dugaan tentang memudarnya AS dan peran AS tidak terjadi secepat yang diramalkan paling kurang, atau kalau memungkinkan kembali kepada status awal yang pernah disandingnya. Berat memang.
*)Penulis adalah Guru Besar Unsyiah.