Laporan Suhaina*
Benarlah kata orang, untuk menikmati sesuatu kita harus berjuang terlebih dahulu. Demikianlah yang saya rasakan, sehingga hingga kini masih terus dapat merasakan keindahan panorama alam Bedari, sebuah dusun di Kampung Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih,Aceh Timur.
Dusun yang tersembunyi nun di pelukan rimba, merupakan permukiman yang didiami oleh mayoritas suku Gayo. Sebuah komunitas yang hidup harmoni di kawasan terluar, terdepan dan tertinggal (3T).
Saya ke sana dibawa oleh jalan hidup dan cinta. Suami saya seorang guru negara yang ditempatkan di sana. Mendidik anak negeri agar tetap mendapatkan layanan pendidikan. Saya pun, sebagai sarjana pendidikan ikut membantu mengajar di sana. Tapi tentang dunia pendidikan Bedari dan dinamikanya akan saya ceritakan pada kesempatan lain.
Banyak jalan menuju Bedari, pilihan jalur darat dan air (sungai) tersedia. Bandara belum ada di sana. Sehingga jalur udara belum dapat dipilih. Pun demikian, walau banyak jalan menuju Bedari,bukan berarti kita bisa menempuhnya dengan mudah.
Saya akan bercerita bagaimana perjalanan melalui sungai dan menggunakan boat kecil. Anda dapat memulai perjalanan melalui pelabuhan di pinggiran ibukota Aceh Tamiang. Jarak tempuh enam jam mengarungi Sungai Tamiang. Di awal perjalanan, mungkin kebosanan akan bergelayut. Tapi itu hanya sekitar dua jam saja.
Setelah itu Anda akan bertemu dengan buaya putih yang berenang di aliran sungai. Pun terlihat cantik, buaya tetaplah buaya, tapi tidak sebahaya buaya darat. Sebenarnya saya belum tahu apakah reptil bertubuh lebih kecil dari buaya umumnya, apakah masuk bangsa crocodile, ataukah alligator albino.
Tidak jauh dari sana, di tepian sungai, kaum ibu menyuci pakaian dan mandi, seakan -akan tidak ada binatang buas di dalam sungai. Mungkin inilah yang disebut keberanian alamiah, hasil adaptasi manusia dengan alam tempat tinggal.
Perjalanan menggunakan boat yang tidak dapat melaju kencang, sempit dan tanpa atap, tentu menjemukan. Setelah melewati kawasan buaya, kita dapat rehat di Desa Babo. Di sana kita bisa melepas lelah sembari mengudap makanan yang dijual.
Selanjutnya, Anda dapat menyaksikan tarian alam dari reranting pohon yang melambai dari kejauhan. Tebing sungai, awan di langit, dan juga semilir angin yang ditengahi suara boat.
Duduk di dalam boat tidaklah dapat dimaknai duduk dalam arti sebenarnya. Duduk setengah jongkok, dan kaki yang tidak bisa diluruskan, tentu menyebabkan pantat akan meronta ronta kesakitan, minta ampun, minta turun, atau minta pulang. Itulah ujiannya.
Bila Anda melakukan perjalanan melalui sungai di musim kemarau, ada hadiah tambahan. Air sungai yang jernih akan memberikan pemandangan luar biasa. Kita bisa melihat dasar sungai dengan batu alam yang indah. Perahu juga akan sering tersangkut karena air sungai dangkal. Penumpang dan pemilik boat akan bahu – membahu mendorong perahu kayu itu agar bisa lagi menyusuri aliran sungai. Warga di sana juga dengan senang hati turut membantu. Luar biasa!
Bila musim hujan suasananya akan lain. Air sungai melimpah dan perahu akan melaju tanpa kendala. Hanya saja, indahnya dasar sungai tidak bisa dilihat.
Jauhnya perjalanan jalur sungai, sebenarnya bisa dipangkas, bila kita menempuh menuju Simpang Jernih, Aceh Timur. Anda dapat menggunakan kendaraan melewati jalan Kompi di Kuala Simpang, kemudian melewati rimbunnya kebun sawit sepanjang mata memandang. Dari sana, hanya sekitar 1 atau 2 jam saja perjalanan jika melanjutkan menggunakan boat.
Bagaimana dengan jalur darat? Dari titik gerak yang sama. Di seberang pelabuhan ada jalan ke Bedari. Tapi tidak saya sarankan untuk para wanita. Jalurnya tidak aman bagi kesehatan fisik.
Akses jalur darat pun dapat dilalui melalui Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Peunaron. Tapi jalannya harap dimaklumi. Berlumpur dan acap bertemu pup gajah.
Jika Anda seberuntung saya, Anda dapat melihat tempat lesehan gajah liar dengan tumpukan daun pisang atau ranting kayu yang masih segar yang dipadu dengan bau tanah selepas hujan.
Kami pernah juga mencoba jalur darat. Hal itu menguras tenaga yang cukup banyak. Cukup sekali kami lalui lajur itu. Motor kami mogok di tengah bukit yang terjal. Dengan berat hati kami meninggalkan motor dan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki di tengah rimba diiringi suara monyet. Kami harus berjalan kaki selama 1,5 jam. Ternyata, 1,5 jam perjalanan, belum cukup mengantar kami ke kampung tujuan.
Saat itu bersama kami ada si buah hati yang masih berumur 7 bulan. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIB kala kami menapak jalan tanah berlumpur di tengah hutan.
Akhirnya, di ujung lelah, warga datang menjemput. Kehadiran mereka dengan wajah ikhlas, memicu dapur mental kami kembali hidup. Semangat mengabdi suami saya pun kembali berkobar. []
*)Penulis adalah seorang istri guru dan sekaligus guru sukarela. Alumni Universitas Almuslim. Kader LPM Suara Almuslim.
Komentar