Setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia, satu per satu impian Isnawi bin Ishak terpaksa disimpan. Termasuk mengumpulkan dana untuk persiapan pendaftaran putranya ke perguruan tinggi. Kini, setiap hari, sembari mengemudi truk jungkit intercooler, lelaki berusia 40 tahun itu hanya berharap tidak ada ban yang meletup, agar dapat mengirimkan uang untuk anak dan istri di kampung.
Maret 2020 adalah bulan yang tidak bisa dilupakan oleh Isnawi bin Ishak. Beberapa proyek pembangunan ditunda oleh pemerintah. Lelaki bercambang dan berkulit gelap itu dengan sendirinya kehilangan pekerjaan. Sebagai sopir dump truck intercooler, dia sangat tergantung pada proyek-proyek pembangunan pemerintah. Itu satu-satunya sumber pendapatan, sebab di Aceh sangat minim pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta untuk kepentingan swasta.
“Sejak Maret hingga Agustus saya menjadi pengangguran,” kata Isnawi, Rabu (11/11/2020), ketika ditemui aceHTrend.com, di sebuah gudang di Gampong Neuheun, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.
Berstatus sebagai suami dan ayah empat orang anak, Isnawi tidak nyaman tanpa pekerjaan. Kebutuhan rumah tangga tetap harus dipenuhi. Di sisi lain, walau berstatus keluarga miskin, Isnawi tidak mendapatkan subsidi apa pun dari pemerintah. Selain belum memiliki rumah sendiri, keempat anaknya juga masih sekolah. Si sulung tidak lama lagi akan menamatkan pendidikannya di SMA.

Lelaki asal Kecamatan Juli, Bireuen, ini merupakan sopir truk jungkit yang tidak bekerja pada perusahaan. Dia mengemudikan truk besar milik perseorangan. Dengan status ‘truck jungkit liar’ selama ini Isnawi mendapatkan pekerjaan dari pihak ketiga. Seringkali upah angkut material telah melalui beberapa agen.
Sebelum Covid-19 melanda Aceh, Isnawi sedang berusaha mengumpulkan biaya untuk mendaftarkan putranya ke perguruan tinggi. Sekitar setahun lagi, anak tertuanya akan lulus SMA. Sedari dulu dia bercita-cita agar buah hatinya mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
Rupiah demi rupiah telah ia kumpulkan. Namun, begitu Covid-19 mewabah dan pemerintah melakukan refocusing anggaran, Isnawi segera kehilangan pekerjaan. Beberapa peluang raib seketika. Tabungannya yang tidak banyak, habis untuk menanggulangi kebutuhan belanja pokok rumah tangga.
Awal Oktober 2020, Isnawi mendapatkan kabar tentang adanya pekerjaan di Banda Aceh. Setelah berbulan-bulan tidak bekerja, ia menemukan secercah harapan. Seorang temannya yang bernama Heri memberi tahu kepadanya. Tanpa pikir panjang, Isnawi langsung ambil keputusan. Malam itu juga dia berangkat ke ibu kota Provinsi Aceh, dengan membawa serta dump truck yang ditunjuk oleh kawannya itu. Isnawi pun hijrah. Dari daerah yang berjuluk Kota Juang, menujuk daerah yang dijuluki Kota Pusaka.

Sejak ‘hijrah’ ke Banda Aceh, dia tidak lagi tertekan. Walau pendapatannya tidak besar, setidaknya dia sudah memiliki harapan. “Kalau sudah berkumpul di lokasi kerja, bilapun tidak berhasil mendapatkan uang yang banyak, setidaknya masih ada peluang. Alhamdulillah, walau sedikit, masih ada uang yang bisa saya kirim ke kampung untuk anak dan istri. Perihal biaya mendaftar kuliah untuk si sulung, semoga saja ada keajaiban,” katanya.
Bertahan dengan Upah Murah dan Dilarang Mengisi BBM Subsidi
Gudang yang berdiri di tepi jalan lintas Banda Aceh – Pelabuhan Malahayati, telah dua bulan menjadi ‘markas’ sementara sejumlah sopir truk jungkit yang dimiliki oleh “juragan-juragan” kecil. Saat ini ada enam dump truck di sana. Selain truk yang disopiri oleh Isnawi, ada juga yang dikemudikan oleh Heri, Saiful Jamil, Polem, Mustaqim, dan Syarif Hidayatullah. Mereka semua berasal dari luar Banda Aceh.
Saiful Jamil (38) lelaki asal Gampong Meunasah Dayah, Aceh Utara, bercerita, menjadi sopir dump truck liar tidak cukup sekadar memiliki keahlian menyetir. Namun, juga harus memiliki kemampuan mekanik. Karena semua kebutuhan biaya harus ditanggung oleh sopir yang merangkap sebagai pencari pekerjaan untuk mobil yang disopiri.

Saat ini, kata Saiful, pekerjaan sangat sulit didapatkan. Di awal pandemi dia sempat beralih profesi selama tiga bulan. Di kampung dia menjadi tukang becak barang yang menerima jasa angkut jenis apa pun. Sejak mendapatkan pekerjaan mengangkut tanah buangan di proyek Tol Sibanceh beberapa waktu lalu, dia berangkat ke Banda Aceh. Di Proyek Strategis Nasional (PSN) itu dia bekerja pada subkontraktor yang menurutnya jujur.
“Saya mendapatkan uang yang lumayan di sana. Subkontraktornya jujur. Kami tidak ditipu dan ongkos kerja juga sportif,” kata Saiful. Hanya saja, pekerjaan itu tidak berlangsung lama. Usai dari sana dia bekerja di tempat lain. Saat ini sedang mengangkut material batu gajah untuk kebutuhan pembangunan Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Hanya saja, pekerjaan itu saat ini juga sedang tidak lancar. Sehari bekerja, empat sampai lima hari off.
Sebagai sopir dump truck ‘independen’, mereka selalu mendapatkan pekerjaan yang sudah disub ke kontraktor lebih kecil. Bahkan seringkali mereka mendapatkan pekerjaan dari lapis ketiga. Sehingga upah yang mereka terima juga sudah dipotong-potong untuk fee perantara.
Mustaqim (27), sopir termuda di sana bercerita, dalam pos anggaran induk biaya per satu trip Rp850.000. Namun, ketika sampai pada mereka angkanya menyusut menjadi Rp650.000. Dengan jarak tempuh yang jauh dan beban operasional tinggi, membuat Mus dan teman-temannya harus memutar otak menyiasati keadaan. “Kalau tak pintar menyiasati, saya dan teman-teman bukan saja tidak akan mendapatkan gaji, tapi juga tidak mampu membeli spare part mobil,” kata Mus, lelaki asal Kutablang, Bireuen.

Menurut Heri (37) yang merupakan ‘kepala suku’ di kelompok sopir perseorangan itu, mereka jarang sekali menggunakan ban baru. Bahkan ada sopir yang tidak pernah memasang ban baru di truk jungkitnya.
“Harga ban baru paling murah Rp3,5 juta per ban. Truk yang kami sopiri menggunakan 10 ban. Kalikan saja berapa biayanya. Dengan kondisi medan kerja yang tidak menentu, dan upah yang juga tidak menentu, tentu kami tidak akan mampu memasang ban baru,” ujar Heri, yang menyebutkan bila sempat tidak bekerja selama tiga bulan di awal pandemi.
Untuk menyiasati kondisi, mereka pun berburu ban bekas yang masih layak pakai. Layak pakai yang dimaksud juga sesuai dengan terjemahan masing-masing sopir. Kondisinya harus didefinisikan sesuai uang di kantong masing-masing.
“Yang penting tetap aman di jalan. Pintar-pintar sopirlah. Di sinilah dibutuhkan kelihaian mengemudi agar ban tidak cepat aus. Cara memutar kemudi saja sangat berpengaruh pada ban,” terang Heri yang mengaku sudah berangkat ke Banda Aceh beberapa bulan lebih awal dari Isnawi.
Untuk kebutuhan bahan bakar, mereka tidak diperkenankan menggunakan BBM subsidi. Truk jungkit yang mereka kemudikan dimasukkan ke dalam daftar golongan kendaraan industri. Pola pukul rata yang dilakukan oleh pengambil kebijakan negara, membuat para sopir ‘independen’ itu semakin tertekan.
Harga BBM subsidi dengan nonsubsidi harganya sangat jauh. Dexlite per liter mencapai Rp9.000. “Kalau kami isi dexlite, jangankan gaji, makan pun kami tidak bisa lagi,” kata Syarif Hidayatullah (30).

Lelaki asal Parang Sikureung, Aceh Utara itu menyebutkan, mematuhi perintah pemerintah untuk mengisi BBM nonsubsidi tidak mungkin mereka lakukan. Para sopir itu harus berkeliling ke pengecer BBM untuk mengisi solar subsidi yang dijual lebih mahal dari harga SPBU. “Tidak ada pilihan, kan? Daripada harus mengisi dexlite, lebih baik kami mengisi BBM di pengecer. Bedanya dengan yang subsidi Rp1.500,” terang Syarif yang akrab disapa Putra.
para sopir itu juga menjelaskan, bila dalam satu hari mereka mendapatkan upah kotor Rp1 juta, maka setengahnya harus disetor kepada pemilik mobil, sisanya untuk gaji, BBM dan biaya-biaya lain yang di dalamnya termasuk untuk membeli ban dan mengganti spare part.
“Pemilik mobil hanya menyerahkan mobilnya kepada kami. Selebihnya urusan sopir di lapangan. Makanya, ada juga pekerjaan yang terpaksa kami tolak. Bukan karena sopir seperti saya tidak butuh pekerjaan. Tapi tidak bisa lagi kami kerjakan karena upahnya sudah terlalu murah. Daripada bergotong royong untuk orang lain, dan bila ada kerusakan mobil kami yang harus menanggungnya, lebih baik mobil tetap di gudang hingga kami mendapatkan pekerjaan yang dikelola oleh orang yang masih punya nurani,” kata Saiful.
Tidur di Mobil dan Rindu yang Tak Bertepi
Ada satu haba maja (pepatah) yang selalu diulang-ulang oleh Mustaqim ketika melihat senior–seniornya mulai kehilangan kendali ketika waktu makan tiba. Sembari tersenyum, dia sering memperdengarkan pepatah Aceh: Geutanyoe tulo peunajoh pade. Bek pajoh cangguk, huek mate. Secara harfiah dapat dimaknai jangan besar pasak daripada tiang.
Haba maja itu menjadi kalimat yang selalu diulang-ulang oleh sesama mereka, bisa dikatakan menjadi guyonan setelah terjadinya makan besar pada suatu siang. Adalah Isnawi dan Heri yang sangat ingin makan siang dengan ikan panggang yang dijual di sepanjang lintasan Krueng Raya, jalur pesisir yang selalu mereka lintasi kala mengangkut batu gajah. Setelah makan, ternyata uang di saku mereka hanya cukup untuk membayar makanan tersebut. Pulang ke gudang, Isnawi meminta Mus memberikannya utangan.
Jurus hemat harus benar-benar digunakan untuk bertahan, agar ada uang yang bisa dikirimkan ke kampung. Polem, sopir paling kurus di antara mereka, memberikan istilah mareh, untuk menyebutkan warung-warung yang menjual nasi dengan harga di atas kemampuan mereka.
“Jangan di situ, warung itu mareh,” kata Polem, tiap kali melihat warung besar. Pernah suatu ketika, karena terlalu selektif memilih warung, dengan tujuan mencari yang termurah, Polem dan Saiful Jamil salah masuk warung. “Berharap hemat malah buntung,” kata Polem ketika keluar dari warung.
Bukan hanya makan yang harus disiasati, tidur juga demikian. Tiap malam para sopir itu merebahkan punggung di dalam kabin mobil. Tidur di sana tentu sekadar memenuhi kebutuhan raga agar mendapatkan jatah istirahat. Jauh dari kata nyaman.

“Sopir seperti kami tidak boleh manja. Walau tidak senyaman di rumah, tempat tidur di mobil sudahlah cukup untuk melepas penat,” kata Isnawi.
“Nyaman tentu saja tidak. Tapi karena kelelahan di siang hari, maka terlelaplah saya di dalam kabin,” sebut Saiful Jamil.

Pun demikian, yang paling berat adalah menahan rindu. Isnawi, Saiful dan Syarif Hidayatullah tentu sangat memahami arti rindu. Sebagai ayah sekaligus suami, Isnawi dan Saiful kerap dilanda kerinduan yang meluap-luap. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban rindu dengan menelepon keluarga tercinta. Saiful juga punya cara lain mengobati lara rindu. Dia menulis status romantis di dinding Facebook-nya, mengirim signal kepada istri tercinta di Lhoksukon.
Bagi yang pernikahannya belum begitu lama seperti Syarif Hidayatullah, bila sedang kesepian, maka dia memutar lagu di YouTube. Dia akan mendengar dendang lagu lawas yang dinyanyikan oleh allahyarham Bob Rezal, penyanyi kelahiran Aceh yang eksis di Malaysia melalui label EMI Record akhir 80-an dan awal 90-an.
“Saya sudah menikah dan memiliki satu orang puteri yang saat ini berusia 1,5 tahun. Bila rindu, saya menelepon istri sembari mendengar suara si kecil. Untuk membunuh jenuh di tengah malam saya mendengar lagu Bob Rezal,” kata Putra.
Heri, Polem dan Taqim, tidak menceritakan tentang rindu mereka. Sebagai manusia, mereka tentunya juga punya cara melampiaskan rindu.
Bila kerinduan tidak bisa lagi mereka bendung, dan ada uang yang cukup para sopir itu pun akan pulang ke kampung masing-masing . “Pulang kampung bila lagi kosong trip dan bila ada uang. Kalau tidak ada, rindu itu disimpan di hati untuk dibawa ke dalam mimpi,” sebut Isnawi bak pujangga.
“Salah satu yang paling sulit dibendung, bukan perut yang kurang terisi. Hal yang paling sulit dilawan adalah rindu kepada keluarga. Padahal kami semua sudah bekerja di berbagai medan berat di daerah-daerah, termasuk di luar Aceh. Tapi hingga kini belum menemukan formula menyembuhkan rindu selain pulang untuk bertemu,” kata Isnawi.
Mereka berharap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh bekerja lebih kuat lagi, agar pandemi Covid-19 segera dapat menjadi masa lalu. Tanpa Covid-19 pun mereka sudah kewalahan bertarung di provinsi yang minim investasi, konon lagi di tengah pandemi. “Kali ini kami jatuh tertimpa tangga. Untung saja kaki belum patah,” sebut Saiful sembari menyeruput kopi robusta di sebuah warung yang berada di seberang jalan gudang.[]