Oleh Ahmad Humam Hamid*
Ketika pada awal tahun ini Covid-19 muncul di AS, Presiden Trump dengan semena-mena langsung memberi label pandemi itu dengan flu Wuhan. Ia beralasan itu adalah flu yang datang dari kota yang berada di Provinsi Hubei itu. Padahal sampai hari ini masih terjadi penyelidikan yang belum pernah berhenti, sekalipun kasus pertama dilaporkan terjadi di Wuhan, tetapi dari mana virus itu berasal masih belum ada sebuah kesimpulan yang final.
Penamaan kasus Wuhan terhadap Covid-19 oleh Trump adalah bukti statemen tak bertanggung jawab seorang presiden negara besar, seperti AS. Jamaknya, untuk kasus seperti itu ia mendapat briefing yang cukup dari pembantunya, baik birokrat atau ilmuwan tangguh. Hal itu penting untuk tak membiarkan sang presiden mendemonstrasikan “kebodohan”-nya kepada publik global tentang sebuah pandemi yang belum jelas benar diketahui tentang berbagai hal yang menyangkut dengannya.
Ia lupa tentang sejarah Flu Spanyol, Spanish Flu yang terjadi pada tahun 1918, yang pertama kalinya dilaporkan terjadi di negara bagian Kansas. Kejadiannya adalah di salah satu barak angkatan darat AS, Fort Riley, yang terletak antara kota kecil Manhattan, Kansas, dan Junction City. Virus itu kemudian berbiak di barak itu, untuk kemudian di ekspor ke Eropa via tentara AS yang dikirim ke sana dalam rangka Perang Dunia I. Selain itu Flu Spanyol juga menyerang kota berbagai negara bagian lain di AS, untuk kemudian menjalar ke seluruh AS.
Sekalipun pandemi itu berasal dari Kansas, AS dan dinamakan dengan Flu Spanyol, nama itu sama sekali tak berurusan dengan negeri itu. Pemberian nama hanya lebih karena keadaan ketika Perang Dunia I terjadi, di mana seluruh negara yang terlibat perang mengalami pemberangusan media yang ketat. Spanyol sebagai negara yang netral, tidak terlibat perang, adalah negara yang medianya sangat gencar melaporkan perkembangan pandemi itu. Akibatnya publik Eropa yang mendapatkan berita dari media Spanyol memberi label Spanyol kepada jenis flu itu, padahal di Spanyol sendiri penyakit itu oleh media disebut dengan Flu Perancis. Nama AS, Kansas, apalagi Fort Riley, sama sekali tak berasosiasi dengan pandemi itu, dan tiba-tiba saja Spanyol terkait dengan pandemi menjadi buah bibir publik global.
Pandemi yang terjadi pada tahun 1918 itu merupakan pandemi yang paling mematikan dalam sejarah modern umat manusia. Dimulai pada musim semi tahun itu, untuk kemudian berlanjut pada musim gugur dan musim dingin. Serangan awal pada musim semi yang oleh para ahli disebut sebagai gelombang pertama, berdampak sedang, namun serangan gelombang kedua pada musim gugur tahun yang sama menghasilkan korban manusia yang cukup banyak jumlahnya.
Pandemi itu berbiak hebat selama 18 bulan menulari sekitar 500 juta penduduk dunia dengan jumlah kematian lebih dari 50 juta, melebihi dari kematian yang diakibatkan oleh Perang Dunia I yang berjumlah antara 17-20 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dunia pada masa sekitar 1,8 miliar, maka jumlah kematian yang diakibatkan oleh virus ini adalah kurang dari 3 persen.
Perjalanan pandemi ini berbeda antarnegara, dengan serial gelombang yang berbeda pula. Akan tetapi, catatan kematian terbesar yang ditimbulkan oleh virus ini tercatat sangat tinggi pada gelombang kedua pada musim gugur dan dingin, terutama dengan melihat kepada rujukan statistik kematian di AS. Di AS saja jumlah kematian yang diakibatkan oleh pandemi berjumlah 675.000, dan mencapai puncaknya pada musim gugur 1918.
Dalam konteks Covid-19 yang saat ini sedang ramai dibicarakan karena sudah muncul gelombang kedua, terutama di Eropa dan AS, ada baiknya pengalaman dunia mengalami gelombang kedua Flu Spanyol perlu dibaca lagi. Kajian ini tidak harus didasari pada anggapan kemiripan kedua penyakit itu, namun lebih kepada keragaman faktor, termasuk wilayah biologi pandemi, wilayah manusia yang berhubungan dengan pengalaman nonklinis, dampak sosial ekonomi, dan respons negara terhadap pandemi.
Banyak ahli berpendapat bahwa Flu Spanyol yang praktis berhenti pada tahun 1920 terjadi setelah virus berkembang dan berkelana ke seluruh dunia secara bergelombang, untuk kemudian berhenti. Diperkirakan selama jangka waktu dua tahun virus itu telah menulari cukup banyak banyak manusia, dan dengan demikian dalam tempo dua tahun flu Spanyol telah sampai ke batas terakhir penyebaran, karena pandemi praktis telah sampai di garis batas immunitas kelompok yang dikenal dengan istilah “herd immunity.”
Ada banyak spekulasi yang menyebutkan bagaimana gelombang kedua terjadi dan memberikan pukulan yang paling telak terhadap kematian di terutama di AS dan Eropa. Paling kurang ada tiga hal yang dianggap bertanggung jawab terhadap pukulan gelombang kedua flu Spanyol; mutasi virus, pergerakan tentara pada Perang Dunia I, dan musim gugur dan dingin yang menyebabkan penduduk lebih banyak berada di dalam ruangan dibandingkan dengan di luar ruangan.
Namun di antara ketiga faktor itu menutut Jhon Barry (2005), penulis buku The Great Influenza: The Story of the Deadliest Pandemic in History, faktor mutasi viruslah yang menjadi variabel besar yang berkontribusi pada jumlah kematian terbesar. Tingkat keparahan gelombang kedua jelas terlihat pada penelitian kualitatif catatan harian para tentara yang menyebut flu Spanyol gelombang satu sebagai “flu tiga hari” yang tingkat fatalitasnya relatif rendah.
Virus gelombang kedua bukan hanya mewarisi sifat pendahulunya, tetapi telah bermutasi dan menjadikan dirinya lebih ganas dan mematikan dibandingkan dengan generasi pertama yang terjadi pada musim semi 1918. Dengan melihat kepada fenomena yang baru itu, ditambah dengan pengetahuan mengenai mikrobiologi, khususnya virology yang belum berkembang pada masa itu, banyak dokter dan ilmuwan menganggap bahwa serangan gelombang kedua merupakan pandemi lain yang tidak ada hubungannya dengan Flu Spanyol sebelumnya.
Perkembangan terakhir pada tataran global terlihat pandemi Covid-19 telah mulai kembali mengancam Eropa, terutama Inggris, Spanyol, Perancis, Portugal, dan Italia, dan yang terakhir adalah Austria. Bahkan dalam beberapa hari yang lalu, Kanselir Austria Sebastian Kurz, telah mengeluarkan perintah lockdown ketat untuk mencegah kematian yang lebih besar. Beberapa hari kemudian Portugal memberlakukan karantina wilayah di hampir setengah negeri itu.
Untuk diketahui sebágian besar negara-negara itu, kecuali Inggris pernah memiliki berakhirnya gelombang I secara relatif sempurna. Kondisi itu kemudian membuat kehidupan publik dibuka lagi, lebih rileks, sekalipun anjuran protokol tetap dilajutkan.
Di Indonesia sendiri, termasuk di Aceh, angka-angka resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang menunjukkan terjadinya penurunan penularan, bahkan penurunan angka fatalitas yang relatif lebih baik. Akan tetapi, suatu hal yang mesti diingat dari pengalaman flu Spanyol, pandemi ini akan berhenti ketika seluruh dunia telah ditulari dan mencapai batas angka herd immunity. Pengalaman gelombang kedua flu Spanyol juga harus menjadi catatan bagi kita bahwa pandemi ini bisa saja kembali dengan serangan yang lebih dahsyat dan lebih mematikan.
Banyak pemerhati kesehatan publik melihat kasus AS yang terus menaik, sebagai sambungan yang tak terhenti antara gelombang satu dan gelombang kedua Covid-19. Negara bagian New York yang pada putaran pertama Covid-19 melanda AS dan meminta korban yang lumayan banyak, dan kemudian mampu dikendalikan kini terancam lagi. Kini New York sudah memberlakukan lagi pengetatan kehidupan publik untuk mengontrol merebaknya gelombang kedua yang mematikan.
Kearifan sejarah menghadapi kemungkinan gelombang kedua Covid-19 harus dimulai dari melihat perkembangan statistik pengendalian pandemi flu Spanyol 1918. Periset Universitas Michigan, Alexander Navaro (2020) yang membuka arsip 43 kota di AS pasca flu Spanyol gelombang pertama menemukan fakta yang patut diperhatikan. Kota-kota yang mempertahankan kebijakan pengendalian yang konsisten dan berlanjut setelah gelombang pertama, pada kejadian gelombang kedua mempunyai penurunan jumlah penularan dan kematian yang sangat signifikan. Bahkan kasus puncak gelombang kedua yang terjadi di kota-kota yang ketat aturannya jumlah kematiannya jauh lebih sedikit dari total kematian seluruhnya sebelum gelombang kedua terjadi.
Sebaliknya, arsip yang dikumpulkan oleh Navaro itu menemukan kota-kota yang lebih rileks yang membiarkan pertemuan umum, parade kota, telah membuat kematian yang yang lebih banyak. Perbedaan itu tampak antara kota San Francisco yang ketat dan Philapdelphia dan Denver yang lebih lunak, yang kemudian berdampak parah untuk dua kota terakhir, sementara San Francisco hanya mengalami hantaman yang relatif kecil.
Dalam kaitannya dengan kita di Aceh, pikiran bahwa Covid-19 ini telah selesai sebaiknya tidak perlu dianut dan disebarluaskan. Yang harus diberitahu kepada publik adalah bahwa protokol Covid-19 harus tetap dilanjutkan, dan seharusnya dalam masa sepi seperti ini, kegiatan edukasi informasi harus lebih ditingkatkan lagi. Pengalaman gelombang kedua di AS dan Eropa berpeluang sama untuk kembali lagi ke kita.
Akhirnya banyak catatan sejarah pandemi menyimpulkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah di berbagai negara pada masa awal pandemi yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai berlebihan atau overdosis pada waktu itu, setelah pandemi selesai dan dievaluasi ternyata menjadi sangat kurang. Mungkin karena itulah Cina membuat pengendalian overdosis pada masa awal dan seterusnya, dan itulah rahasianya kenapa jumlah yang meninggal sedikit. Tidak hanya itu ekonomi Cina tumbuh positif, di tengah semua negara dunia tumbuh negatif.[]
Editor : Ihan Nurdin