Oleh H Kas Pani M Pd
Awal November 2020 lalu, alumnus, guru, dan santri Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil, meluncurkan dan membedah buku Menapak Jejak Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam
(Ulama, Dai, Guru, dan Politikus) yang ditulis oleh muridnya Sadri Ondang Jaya.
Bedah buku tersebut tampil Ustaz Ralidin dari kalangan guru dan santri,serta Ustaz Roesman Hasmy dan Abu Muda Ichasunul Fikri selaku Pimpinan Pesantren Darul Hasanah. Selain saya sendiri mewakili unsur akademisi.
Membincangkan figur Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam dalam konteks sebagai ulama, dai, guru, dan politikus bukanlah tugas sederhana, apalagi membincangkannya di depan murid biologis, murid rohani, dan ideologisnya.
Mengapa? Karena kalau salah dalam penyampaian, keseleo lidah atau tongue sprains, bukan malah kebaikan yang muncul, tapi akan lahir kejengkelan, rasa tersinggung dari keluarga, murid atau teman dekatnya.
Namun, sebagai pembedah dari kalangan akademisi, saya berusaha untuk bersikap objektif dan seimbang dalam menimbang buku ini, sekalipun saya akui sikap objektif seratus persen sulit saya lakukan.
Mengapa? Karena, sekalipun saya bukan murid biololgis yang langsung belajar pada Abuya, tetapi secara rohani saya pernah mendengar ceramah-ceramah beliau. Dengan kata lain, setiap kali ada ceramah yang di dalamnya Abuya sebagai pembicara, saya selalu mengikutinya.
Ceramah Abuya pernah beberapa kali saya ikuti saat beliau berkunjung ke Pulau Balai dan Haloban. Ketika itu saya masih bertugas di Pulau Banyak sebagai guru mulai tahun 1997-2005 lalu.
***
Saya memulai paparan ini dengan sebuah cerita. Tatkala mahasiswa dulu, saya memiliki sebuah buku yang berjudul Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Buku itu, ditulis oleh beberapa penulis kenamaan. Salah seorang di antaranya adalah sejarawan Taufik Abdullah. Dalam pengantar buku tersebut, Taufik Abdullah menulis, “Terkabarlah bahwa seorang penulis biografi muda usia, mendatangi pembimbingnya. Ia merasa gelisah dan kecewa. Tak mungkin rasanya ia menulis biografi dari seorang tokoh dengan sejujurnya. Bagaimana mungkin, sebab istri si tokoh masih hidup. Dengan tenang si pembimbing memberinya solusi. Bunuh saja isterinya!” (Manusia dalam Kemelut sejarah, LP3S:1978).
Akhir cerita? Tentu saja si penulis muda tidak membunuh istri dari si tokoh. Tetapi ia mencoba “membunuhnya” sebagai faktor akan memengaruhi tulisannya, yaitu faktor subjektivitas, yang membuat ia berpikir tidak objektif atau bias dalam memandang si tokoh.
Dalam perkiraan saya, saat Sadri Ondang Jaya, S.Pd menulis buku ini, ia berpikir sama, yaitu bagaimana caranya buku yang ingin diterbitkan ini tidak menimbulkan kontroversial di kalangan pembaca, khususnya di kalangan murid-murid Abuya, pengikut, dan keluarganya. Mungkin ada yang marah, jengkel, tersinggung, dan sebagainya.
Setelah saya membaca dan menelaah isi buku ini, nyaris saya tidak menemukan isinya yang menimbulkan polemik atau perdebatan, baik yang sifatnya substansial maupun esensial. Semuanya menggambarkan hal – hal positif tentang profil dan aktivitas dakwah dari Abuya.
Bahkan seperti yang diakui penulisnya, buku ini diterbitkan, hanya untuk membentangkan kenangan dan fakta sejarah, tanpa bermaksud untuk membesar-besarkan Abuya, meskipun tak ada yang menampik Abuya memang orang besar.
Buku ini dari pengamatan saya, hanyalah refleksi dan takzim seorang murid kepada gurunya. Guru yang pernah memberikannya ilmu, dari pada sebuah biografi lengkap yang betul-betul mencerminkan sebuah biografi yang sesungguhnya.
Menurut saya, sebagai seorang jurnalis, Sadri Ondang Jaya hanya ingin membagi keteladanan Abuya untuk motivasi bagi setiap pembaca dari tulisan-tulisannya di surat kabar, media sosial dan buku yang ditulisnya.
Buku ini berjudul Menapak Jejak Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam (Ulama, Dai, Guru, dan Politikus) yang ditulis Sadri Ondang Jaya–yang selanjutnya kita sebut saja SOJ–merupakan sebuah buku biografi dari Abuya H Zamzami Syam.
Dalam literatur disebutkan, biografi adalah kumpulan perjalanan kehidupan seorang tokoh yang dimulai dari ia dilahirkan sampai meninggal, dan dituliskan oleh orang lain. Sebaliknya, ketika pengalaman, riwayat atau perjalanan hidup seseorang mulai dari masa kecil hingga kondisinya sekarang ditulis oleh tokoh itu sendiri, maka dinamakan autobiografi.
Dari pengertian biografi itu, buku yang ditulis SOJ ini layak dan memiliki syarat sebagai karya biografi, terlepas apakah keautentikan sumber informasi, data dan fakta yang dikumpulkan, serta sistematika dan substansi penulisannya berbentuk opini, esai, human interes atau tulisan ilmiah. Tapi yang jelas, sebagai konklusi awal, buku yang dikemas dengan bahasa yang renyah dan gurih, sangat mudah dicerna dan enak dibaca.
Sebagai jurnalis, SOJ berhasil membuhul ikatan-ikatan yang lepas dari tulisan-tulisannya menjadi simpulan yang kuat dan utuh yang akhirnya menjadi sebuah buku yang menarik.
Buku ini menjadi power full, setelah ditambah kemampuan penulis dan editornya yang telaten dan apik membungkus tema-tema yang berserakan itu, menjadi tapak jejak yang sangat runtut dan kronikal, akhirnya berbuahlah menjadi sebuah biografi yang bermakna dan bermanfaat untuk pembaca.
Sebuah buku yang baik dan punya power, tidak hanya membuat pembaca terhibur, tetapi juga memberi edukasi, dan pengaruh sosial bagi pembacanya, dan inilah saya kira salah satu kekuatan buku ini.
Bagi saya membaca karya SOJ ini, sebenarnya akan mengembalikan dan menghadirkan sosok Abuya yang telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kita ingin bernostalgia dan bersulang rindu dengannya. Ingin menyusuri jejak-jejak langkah yang ditinggalkan Abuya lewat ingatan yang diawetkan yang bernama buku.
Sesuai dengan daftar isi, ada dua puluh tiga tapak jejak Abuya yang terhimpun dalam buku ini. Dan setiap tapak jejak memberi informasi baru buat kita, bahkan kadang informasi itu meloncat dan aktual yang tidak diduga-duga sebelumnya.
Buku ini dimulai prolog dari Dr Damanhuri Basyir, MAg, putra kelahiran Gosong Telaga, yang merupakan santri angkatan ketiga Pesantren Darul Hasanah SyekhbAbdurrauf Singkil, yang berjudul, Abuya yang Saya Kenal. Lalu tulisan dari putri bungsu beliau Fauziati, SAg berjudul Sang Anak Menapak Jejak Abuya, dan Mukaddimah dari SOJ. Lalu isi buku terus beranjak dari Menapak Jejak Kampung Kelahiran, Jejak Saat Lahir, Ketika Berguru ke Pesantren Darussalam, PTI Malalo Padang Panjang hingga menapak Jejak sebagai Guru, Politikus dan Menapak Jejak Akhir Hayat.
Mengingat kondisi waktu, saya mohon maaf, tidak mungkin akan membahas satu per satu setiap tapak jejak yang ada di buku ini. Saya hanya akan memilih dan memilah tapak jejak tertentu yang memiliki kaitan dengan substansi pembicaraan kita, yaitu Abuya sebagai ulama, dai, guru, dan politikus.
Sebagai ulama, SOJ menulis Abuya sosok ulama yang bertalenta. Dari referensi, talenta adalah seseorang yang dianugerahkan kemampuan, kekuatan dan petunjuk lebih dari satu. Artinya, Abuya tidak hanya punya pengetahuan luas di bidang agama, tetapi ia juga seorang pendidik, pendakwah, aktivis, organisatoris, dan politikus ulung.
Dengan multiple intelegence atau kecerdasan jamak meminjam istilah dari Howard Garner, Abuya telah memainkan kapasitas intelektualnya secara prima. Ia telah memberikan kontribusi penting bagi tatanan hidup masyarakat di Aceh Singkil sejak awal kiprahnya hingga akhir hayatnya.
Nah, ketika SOJ bertanya dalam kalimat pendahuluannya, “Siapa tak kenal dengan Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam? Pertanyaan retoris ini menjadi tidak relevan lagi. Karena memang sosok Abuya apalagi di mata aktivis dakwah, ulama, dan santri sangat mengenalnya.
Tapi, entah angin dari mana berembus, tiba-tiba saja keraguan saya datang, apakah untuk selanjutnya sosok Buya akan terus diingat oleh muridnya atau generasi selanjutnya. Sementara pemikiran, ide dan tausiyahnya tak pernah dipelajari dan dikaji lagi.
Apakah semangat, keteladanan dan gaya dakwahnya hanya jadi titian ingatan bagi kita, sedangkan kita enggan mempraktikkannya? Yang ada kita hanya menyaksikan sebuah makam yang bertuliskan, di sini dimakamkan Abuya Teungku Syekh Zamzami Syam, pendiri Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil. Wallahualam bissawab. Allah yang tahu apa yang terjadi di masa depan.
Sebagai dai, dalam buku ini dinukilkan, Abuya melakukan kegiatan dakwahnya menggunakan metode bersafari. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain, seperti ke Takengon, Tapaktuan, dan Kutacane. Safari dakwah itu dilakukan pada momen-momen tertentu seperti Maulid Nabi Muhammad saw, Israk Mikraj, Nuzulul Quran, dan lain-lain.
Sedangkan di Wilayah Singkil, safari dakwah Abuya pertama kali dilakukan tahun 1967 pada masyarakat Lipat Kajang dan Rimo. Pelopor penggerak dakwah ini, antara lain H Mawardi dan H Jakfar.
Sebagai dai, di buku ini juga, SOJ dengan cermat dan detail memvisualisasikan gaya retorika Abuya saat berdakwah. Dikatakannya, metode dakwah Abuya sangat memikat dan menarik, dan pengetahuan keislaman Abuya sangat luas dan tinggi. Apalagi saat menyampaikan ceramah, Abuya menggunakan petatah dan petitih sebagai salah satu langgam berbahasa orang pesisir. Sehingga tak ayal, membuat jemaah yang mendengarkannya tertarik. Khusus yang ada di Rimo dan Singkil “memperebutkan ” Abuya supaya berkenan menetap dan mengajar di tempat mereka.
Namun, sekalipun berbagai bujuk rayu, Abuya diranggi oleh masyarakat Rimo ketika itu, Abuya Teungku Syekh H Zamzami Syam ternyata memilih Singkil sebagai tempat domisilinya.
Barangkali saya sedikit flashback, kembali ke belakang, memaparkan eksistensi Abuya yang merupakan sebagai fondasi awal perjalanan hidup dan karier beliau selanjutnya.
Sebelum berdakwah dan tinggal di Singkil, Abuya pernah menjadi guru di Labuhan Tarok, Meukek, mengajar di desa kelahirannya Trieng Maduro Baroh, Sawang, Aceh Selatan. Kemudian, berdakwah ke Rimo, Simpang Kanan, Simpang Kiri dan wilayah Singkil lainnya, ketika itu termasuk dalam Kabupaten Aceh Selatan.
Tetapi yang menjadi pertanyaan bagi saya dan tidak ada jawaban dalam buku ini, mengapa Abuya memilih Singkil sebagai pusat domisili, sebagai tempat tinggal dan lokasi pesantrennya Darul Hasanah? Mengapa bukan di Lipat Kajang, Rimo, Rundeng, atau di tempat kelahiran beliau, Trieng Maduro Baroh. Hubungan psikologis apa, dan emosional apa sehingga Abuya lekat dan dekat hatinya dengan Singkil?
Menurut saya, seharusnya SOJ menempatkan satu artikel di buku ini untuk menjawab pertanyaan ini, yang isinya mungkin menapak jejak, mengapa Abuya memilih Singkil?
Tahun 1972, proses persiapan pembangunan Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil dimulai. Pesantren ini dibangun di Desa Kilangan, di atas tanah hibah yang berasal dari almarhum H M Khalis Kamil. Pada awalnya hanya beberapa rumah, surau dan tempat pengajian, baru kemudian dibangun asrama putra dan putri.
Di buku ini disebutkan, ada beberapa nama tokoh masyarakat yang sangat besar jasanya dalam pembangunan Pesantren Darul Hasanah ini. Siapa-siapa orangnya, Bapak/Ibu dapat membacanya di halaman 60 dan 61 dari buku ini. Di pesantren inilah Abuya sebagai guru sekaligus pemimpinnya.
Sebagai seorang guru, Abuya betul-betul guru yang mumpuni dan jadi panutan. Dia tidak hanya mentransfer ilmu semata, tetapi memberi teladan, memberi semangat, inspirasi dan apresiasi untuk santri-santrinya. Di sisi lain, sebagai pembelajaran akan pentingnya disiplin, jika ada santri yang melanggar, Abuya tak segan-segan memberi sanksi atau hukuman. Apalagi bila ada santri yang tidak bangun ketika salat Subuh.
Di mata santrinya, Abuya betul-betul guru yang hebat, tegas tapi luwes. Sehingga tak heran oleh murid-muridnya , Abuya disebutkan mereka Syaikut Tarbiyah, Sang Guru Pendidik, atau ada juga memberi gelar Sang Murabbi, Seorang pendidik sekaligus pembina.
Pada profil yang terakhir dari Abuya, Menapak Jejak Menjadi Politikus, di sini saya rasakan kehilangan objektivitas sebagai pembedah. Maaf beribu maaf, dan mohon ampun pada Allah dan Abuya, apa pun alasannya, terlibatnya Abuya dalam kegiatan politik praktis yang ketika itu bergabung dengan salah satu partai politik, lalu terpilih menjadi anggota DPRD Aceh Selatan, awal dari menurunnya kredibilitas pesantren.
Saya tidak mempersoalkan bagaimana dunia politik yang bisa menggerus idealisme seseorang, bisa membuat orang lain berubah. Dan dalam pengamatan, sejak ikut dalam politik praktis, saya tidak melihat Abuya berubah idealismenya, dalam buku ini juga disebutkan, ulama berpolitik bukanlah hal baru dalam Islam, bahkan disebutkan, selama menjadi anggota DPRD Aceh Selatan, Abuya sangat serius dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Tapi saya melihat dari sisi lain, ternyata setelah Abuya menjadi anggota DPRD, waktu, pikiran dan aktivitas Abuya tersita dan tidak fokus untuk mengembangkan pesantren. Akhirnya apa yang terjadi? Pertumbuhan pesantren tergangganggu, tidak tertangani dengan serius, orang tua santri mulai enggan mendaftarkan anak-anaknya mondok, dan pada akhirnya jumlah santri menjadi berkurang.
Saya kira, ada dua hal penting yang menyebabkan hal itu. Pertama, Abuya domisilinya di Tapaktuan sebagai anggota dewan, sehingga sulit mengikuti pertumbuhan lembaga. Sedangkan saat itu, sarana transportasi dan komunikasi tidak secanggih saat ini.
Kedua, pesantren terpusat pada satu figur, yaitu Abuya sendiri. Kaderisasi pimpinan ketika itu nyaris tidak ada.
Ketiga, manajemen atau pengelolaan lembaga masih terlalu sederhana, belum mengikuti manajemen modern seperti pesantren yang ada di tempat lain.
Sekarang siapa yang salah, tak ada yang salah. Dan itu telah menjadi takdir dan menjadi perjalanan sejarah dari Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil. Toh, saat ini di bawah kepemimpinan cucu Abuya, Abu Muda Irsyadul Fikri, pesantren Darul Hasanah telah berkibar kembali. Insyaallah semoga terus berkibar.
Hanya saja, setelah saya tuntas membaca buku karya Sadri Ondang Jaya ini, muncul pikiran nakal di otak, “Seandainya Abuya tidak masuk ke lingkungan politik praktis masa itu, tentu Pesantren Darul Hasanah akan maju seperti pesantren di luar sana?”
Saya cuma tersenyum kecut. Mengapa? Karena itu sama saja membuat pernyataan, “Jika saja hidung Cleopatra sedikit lebih pendek, tentu sejarah dunia akan lain,” atau “Jika saja Napoleon Bonaparte gugur sewaktu ia masih sersan, tentu…. ”
Sampai di sini saja pembedahan saya terhadap buku SOJ, semoga ada manfaatnya untuk kita semua. Mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan.[]
Penulis adalah adalah alumnus FKIP Sejarah Unsyiah dan penulis
Editor : Ihan Nurdin