Oleh Munawar Liza Zainal*
Pada suatu hari, saya diundang untuk menjadi pembicara di pertemuan di aula sebuah universitas di Banda Aceh. Ada serombongan tamu datang dari berbagai negara untuk mendapatkan informasi tentang konflik dan perdamaian Aceh.
Pembicara pertama, dari perwakilan Pemerintah RI di Aceh Monitoring Mission (AMM), menyampaikan beberapa infomasi yang berkaitan dengan proses perundingan dan juga implementasi MoU Helsinki. Intinya menyampaikan kepada tamu bahwa penyelesaian konflik Aceh baru bisa berjalan setelah pemerintah sadar, untuk tidak menyelesaikannya dengan kekerasan.
Saya juga kemudian menyampaikan beberapa pengalaman terkait dengan konflik dan pelajaran-pelajaran yang patut diambil dari Aceh.
Kemudian ada pembicara lain, seorang ‘tokoh’ yang baru pulang ke Aceh setelah bertugas di Jakarta.
Tokoh itu langsung menyampaikan bahwa GAM itu tidak memiliki konsep, tidak ada tujuan, pejabat yang duduk dari background GAM di DPR tidak buat apa-apa. Sambil menunjuk ke saya, dia berkata, “seperti dia ini, duduk walikota, apa yang dia buat.”
Saat diberikan kesempatan kembali, di hadapan hadirin saya sampaikan, bahwa alhamdulillah, GAM yang duduk di pemerintahan, dari gubernur sampai wali kota dan bupati, sudah berbuat semampu mereka. Mereka bukan duduk diangkat, tetapi hasil pemilihan di pilkada dan pemilu.
Demikian juga yang duduk di dewan semampu mereka sudah berbuat untuk masyarakat. Memang ada beberapa kendala yang menghambat sehingga tidak maksimal. Tetapi tidak benar kita mengatakan mereka tidak berbuat apa-apa.
Kemudian saya menambahkan, “suara seperti bapak ini sampaikan, itu su glang, suara cacing. Karena ada keinginan yang tidak kesampaian, sehingga menganggap orang lain semua bodoh”.
“Dalam demokrasi ada pemilihan, siapa yang terpilih, dia yang duduk di pemerintahan baik di eksekutif atau legislatif. Ada calon paket C, dalam sebuah pemilihan mengalahkan calon yang bertitel doktor, apa patut kemudian calon kalah mengatakan bahwa yang menang itu bodoh?”.
Kondisi Aceh hari ini, perlu orang-orang yang bermental pendidik. Membantu dengan berbagai cara agar pemerintahan dan dewan berjalan dengan baik dan bergerak demi kesejahteraan masyarakat. Kritik kepada pemerintah dan DPR sangat perlu, oposisi juga sangat penting. Tetap dengan tidak menganggap orang lain sebagai bangai atau bodoh.
Bagi saya, yang menjelekkan GAM, menganggap partai lokal itu “bangai”, itu suara yang keluar dari cacing di perut. Su glang.
Penulis adalah bekas mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo, yang tidak bisa menyelesaikan studi karena kegiatan politiknya di GAM.