Oleh Muhajir Juli
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke -28 di Sumatera Barat, belum berakhir. Tapi peringkat sudah dapat dilihat. Provinsi Aceh berada di nomor urut 22 dari 33 provinsi peserta lomba tersebut. Aceh hanya mampu meloloskan 1 peserta ke final. Cabang khat dekorasi putri.
Dilihat dari peringkat, Aceh tentu bukan yang terlemah. Buktinya dari 33 provinsi, kita masih bisa mengirimkan 1 wakil ke final. Bayangkan, masih ada provinsi yang tak mampu membawa satupun dutanya ke level tertinggi. Aceh keren!
Banyak yang kaget bila Papua, Maluku, Papua Barat dan Kalimantan Tengah, jauh lebih unggul dari Aceh. Padahal keempat wilayah itu, Islam bukan yang dominan. Di Maluku hanya 50% umat Islam. Kalteng 73,99%. Papua 22 % dan Papua Barat 38%. Bandingkan dengan Aceh sebanyak 98,18%.
Sejumlah orang seperti para pejabat bidang keagamaan di Aceh mengatakan hasil MTQ bukan tolok ukur. Karena lomba tersebut seringkali bisa dinegosiasi. Siapa yang tuan rumah, dialah pemenang. Kita tidak perlu mendebat itu, karena di negeri ini, semua bisa diatur.
Hanya saja, andaikan hasil MTQ bisa diatur untuk memenangkan tuan rumah, lalu mengapa peringkat Papua dan Papua Barat lebih bagus ketimbang Aceh. Padahal mereka itu jelas – jelas bukan daerah dengan basis Islam. Bahkan Papua mengklaim diri sebagai basis Injil.
Peringkat Aceh berada di nomor paling buncit di antara yang berprestasi, –mengacu pada pendapat sejumlah tokoh dan birokrat bahwa hasil MTQ bisa cincai – cincai– maka saya simpulkan Aceh adalah peserta paling jujur. Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, Kafilah Aceh mustahil mengajak cincai dewan juri. Karena cincai merupakan perbuatan korupsi. Seperti kita ketahui bersama korupsi haram, dan pelakunya masuk neraka. Kafilah Aceh tidak mau masuk neraka.
Kita harus bangga, bila Aceh masih mampu bertindak jujur di tengah ketidakjujuran yang mewabah di semua lini. Kita harus kagum bila Aceh dapat masuk final dengan kepala tegak, walau hanya mampu mengantar satu orang, tapi itu hasil perjuangan sendiri. Tanpa korupsi!
Seorang teman berkata, “Andaikan tidak ada cincai di arena untuk menyelamatkan muka tuan rumah, percayalah Aceh juara umum sejak MTQ pertama kali diselenggarakan di Indonesia.” Saya bangga dengan klaim ini. Berani dan meu aneuk agam.
Seorang teman yang lain berujar, bila pada MTQ Nasional 2020, Aceh sengaja mengirimkan peserta level II, agar tidak terlihat sombong. Sebagai Serambi Mekkah, Pemerintah Aceh harus merendahkan diri, supaya tidak terlihat sombong. Bukankah di dalam Islam, kealiman seseorang tidak pernah dapat dilombakan. Semakin alim seseorang maka semakin ia merunduk. Di MTQ Aceh tidak butuh peringkat. Hal terpenting bisa berangkat.
Jadi, tanpa harus menyalahkan si A, B, C, D karena itu adalah abjad, kita patut bangga bahwa Aceh berada di peringkat 22 bukan karena kalah saing. Tapi tidak mau melakukan sogok -menyogok. Kedua, sejak ikut serta, Aceh sudah mempersiapkan diri untuk kalah, dengan cara mengirimkan peserta kelas II. Ini perwujudan betapa sufinya Aceh. Kita mengalah kepada daerah – daerah yang belum menjadi Serambi Mekkah. Bahkan kuat berkali – kali kalah, demi tegaknya kehormatan daerah lain yang masuk Islam lebih lambat ketimbang Aceh.