Oleh Ahmad Humam Hamid*
Laporan terakhir tentang perkembangan vaksin menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Banyak pembuat vaksin, baik di Cina maupun di Eropa dan AS melaporkan telah merampungkan fase-fase menentukan untuk dilanjutkan dengan produksi massal. Salah satu perusahaan farmasi global terbesar, Pfizer dan BioNTech mengumumkan bahwa hasil uji coba lapangan menunjukkan vaksin mereka, terbukti 90 persen efektif. Saat ini perusahaan itu sedang mengajukan permohonan penggunaan darurat yang diharapkan akan keluar pada akhir bulan November ini.
Persuhaan Inggris terkemuka AstraZaneca yang bekerja sama dengan Universitas Oxford dalam pembuatan vaksin juga telah merampungkan pembuatan vaksin. Dalam minggu-minggu ini perusahaan ini tengah mempersiapkan rancang bangun fabrik untuk produksi massal untuk melayani kebutuhan dunia. Selain di Inggris dan di AS,kemajuan pembuatan vaksin juga dilaporkan telah dicapai oleh Cina.
Salah satu BUMN farmasi terbesar Cina, Sinopharm mengumumkan telah merampungkan pembuatan dua vaksin sekaligus. Selain itu dua BUMN Cina lain, CanSino Biologicss, dan China National Biotec Group (CNBG) juga sudah merampungkan percobaan terakhirnya. Perusahan BUMN Cina itu juga sangat aktif menjajaki calon pengguna vaksin produksi mereka yang tersebar di Asia Tenggara, Timur Tengah, Timur Tengah, Eropa, dan mayoritas negara Afrika.
Di luar percobaan klinis yang jumlah pesertanya mencapai puluhan ribu orang, perusahaan itu juga telah menyuntik vaksinnya kepada satu juta masyarakat Cina. Rendahnya angka penularan di Cina akhir-akhir ini tentu saja tidak dapat dijadikan klaim bahwa vaksin itu telah sukses, karena mungkin saja hal itu lebih mencerminkan upaya preventif daripada keampuhan vaksin.
Namun, salah satu bukti tentang keampuhan vaksin Cina, tampaknya terbukti dari 60.000 orang yang telah divaksin dengan merek Sinopharm, belum ada satu pun yang melaporkan kejadian yang tidak diharapkan. Tidak ada satu pun dari peserta itu yang melaporkan kasus infeksi baru dari Covid-19. Itu artinya, penggunaan vaksin Cina di luar negara Cina hanya masalah waktu, hari atau minggu saja.
Jumlah vaksin yang akan diproduksi juga dilaporkan mencapai miliaran ampul. Pfizer saja misalnya, di samping memproduksi 50 juta dosis sampai akhir tahun ini, perusahaan itu juga mengharapkan akan mampu melepas 1,3 miliar dosis pada tahun 2021. AstraZaneca juga melaporkan rencana yang serupa. Di samping menyediakan untuk kebutuhan Inggris yang berjumlah 100 juta dosis, perusahaan ini juga akan memproduksi dua miliar dosis untuk kebutuhan dunia. Dalam konteks Cina, Komisi Kesehatan Negara itu (NHC) menjanjikan akan memproduksi 610 juta vaksin sampai akhir tahun ini. Tahun depan diharapkan akan dapat diproduksi satu miliar dosis untuk kebutuhan domestik. Bagi Cina produksi massal miliaran dosis, bukanlah sesuatu yang berat. Oleh karena itu potensi produksi untuk kebutuhan global yang jumlahnya lebih dari 6 miliar dosis- setelah dikurangi dengan penduduk Cina bukan suatu pekerjaan berat untuk dilakukan.
Proses produksi vaksin, betapa pun rumitnya adalah masalah kerja sama ilmuwan dengan korporasi. Sehebat apa pun kontribusi hibah yang diberikan semisal raja kaya digital dunia, Bill Gate, pada akhirnya tetap saja persoalan investasi, laba dan rugi. Memang benar di situ ada dana hibah, tetapi itu tidak lebih dari insentif yang diberikan oleh Bill Gate kepada sejumlah perusahaan yang jumlahnya triliunan rupiah, agar vaksin Covid-19 cepat ditemukan dengan kualitas yang menjamin. Ketika sudah sampai kepada produksi dan distribusi, maka berlaku pula hukum ekonomi investasi laba rugi dan seterusnya.
Masalahnya kemudian adalah apakah akan ada sebuah jaminan masyarakat global, bahwa semua penduduk di berbagai negara mana pun di dunia, kaya miskin, maju tidak maju akan berpeluang mendapatkan injeksi vaksin dalam waktu yang relatif sama? Untuk diketahui, harga vaksin AstraZaneca-Oxford untuk AS dijual pada harga 4 dollar per dosis, karena pemerintah AS memberikan subsidi pada tahap penemuannya. Belum ada harga pasti untuk masyarakat internasional. Harga vaksin Cina di dalam negeri sekitar 6 dolar AS, sementara untuk harga internasional diperkirakan paling tinggi sekitar 600 yuan, atau lebih dari 1,25 juta rupiah. Harga vaksin Pfizer, Moderna, Merc,diperkirakan tidak berbeda jauh dari harga vaksin Cina, dan mungkin saja lebih mahal.
Ketimpangan vaksin antara negara berkembang dan negara maju memang telah lama diantisipasi, dan hasil investigasi itu dibuktikan telah dan sedang terjadi. Oxfam memperkirakan jika semua perusahaan yang telah siap itu memproduksikan vaksinnya, jumlah vaksin yang tersedia sekitar 5,94 miliar dosis, untuk melayani penduduk dunia , sekalipun diperkirakan akan ada antisipasi dosis ganda per individu. Sementara itu telah terjadi perjanjian pembelian antara berbagai perusahaan itu dengan sejumlah negara kaya.
Dari jumlah itu sebanyak 51 persen telah selesai kontrak pembeliannya dengan beberapa negara maju, seperti AS, Inggris, Australia, Hongkong, Jepang, Swiss , Israel, dan negara-negara Uni Eropa. Kelebihan dari jumlah itu telah dijanjikan akan dijual kepada Cina, India, Mexico, Brazil, Bangladesh, dan Indonesia. Kalau itu benar, maka Indonesia akan bernasib lebih dari negara-negara lain di dunia yang mungkin harus menunggu tahun 2022, baru akan dapat melaksanakan vaksinasi kepada warganya.
Fenomena ketimpangan realisasi vaksin untuk semua itu segera menimbulkan berbagai reaksi. Oxfam, organisasi nirlaba Inggris terkemuka, segera mengeluarkan istilah vaksin laba dan vaksin rakyat, sekaligus menyerukan agar semua warga bumi berhak mendapatkan vaksin secara gratis. Oxfam misalnya menyerukan agar perusahaan penemu vaksin itu segera menyerahkan temuan mereka dengan cara hibah kepada masyarakat global untuk dapat direproduksi oleh perusahaan nasional dari berbagai negara menjadi semacam status generik, seperti banyak obat lainnya.
Tentu saja hal itu tidak disrepons oleh korporasi farmasi internasional mengingat tenggat waktu pengembalian investasi dan laba yang belum mereka dapatkan. Sebenarnya, permintaan Oxfam dan dan berbagai organisasi sepaham lainnya juga sangat kuat alasannya. Perhitungannya adalah kerugian total dunia yang terjadi akibat Covid-19 pada tahun 2020 berjumlah 12 trliun dolar AS. Jumlah itu seharusnya dibandingkan dengan total uang yang dicurahkan untuk penelitian, pembuatan, produksi, logistik dan distribusi, sekitar 70.6 miliar dolar AS. Jumlah itu jika dibagikan kepada seluruh penduduk dunia dan dibandingkan dengan kerusakan ekonomi dunia akibat Covid-19, maka angkanya hanya 0.59 persen dari ekonomi global.
Terhadap tuntutan mulia itu korporasi internasional mulai dari negara kampiun kapitalis semisal AS dan Inggris, bahkan Cina yang komunis sekalipun tetap diam saja. Persoalan untung rugi dan persoalan murah hati bagi korporasi tentu saja mempunyai pijakan tersendiri. Produksi, jual, murah atau mahal satu perkara. Sumbangan, dispensasi, murah hati, atau apapun namanya perkara lain lagi. Ada saat menjual ada saat memberi. Soal mati atau hidup manusia, masing-masing ada penanggung jawabnya. Bahwa negara itu miskin, mungkin ada negara kaya lain yang membantu.
Akhirnya uang tidak menjadi pembatas yang jelas antara ideologi, paling kurang antara kapitalis dan komunis, mereka sama saja. Buktinya, apakah itu kapitalis pasar bebas atau kapitalis negara, prinsip keuntungan tetap saja nomor satu, hatta ketika berhadapan dengan ancaman kematian massal penduduk bumi.[]
*Penulis adalah Guru Besar Unsyiah
Editor : Ihan Nurdin