Oleh Muhajir Juli*
Seorang intelektual muda Aceh Dr. Teuku Zulkhairi, MA, menerbitkan sebuah buku yang diberi judul Paradigma Islam Wasathiyah Tu Sop Jeunib. Buku tersebut diterbitkan oleh Rumoh Cetak yang dikelola oleh sahabat saya Muhammad Sufri, yang juga intelektual muda yang bergerak di jasa penerbitan dan percetakan.
Kiprah dakwah Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunib) telah dikenal luas hingga ke luar negeri. Diterima oleh banyak kalangan dan mendapat tempat di berbagai mimbar intelektual. Tu Sop adalah ulama Aceh yang bisa masuk ke mana saja dan dapat bergaul dengan siapapun. Pimpinan Dayah Babussalam Al Aziziyah Jeunib adalah cendekiawan muslim yang egaliter.
Ketika membaca buku Islam Wasathiyah tersebut, saya teringat pada tagline Tu Sop yaitu memperkuat arus kebaikan, sebuah konsep dakwah yang tidak menghardik, tidak mencaci, tidak pula menyalahkan. Pola dakwah yang menekankan pada nilai – nilai kebaikan dengan berpegang erat pada akhlak Rasulullah.
Tulisan Teuku Zulkhairi tentang Tu Sop, tentu bukan sesuatu yang baru. Apa yang disampaikannya adalah ingatan kolektif banyak orang, tidak terkecuali orang – orang di luar jamaah yang Ayah Sop pimpin.
Seperti ditulis oleh Ampôn Zulkhairi di dalam buku tersebut, Tu Sop adalah ulama yang mendapatkan pendidikan hingga ke Mekkah. Di Tanah Haram, beliau belajar Islam pada syaikh Sayed Muhammad Ali, seorang intelektual muslim bermazhab Maliki. Di Arab Saudi Tu Sop belajar selama empat tahun. Sebelum berangkat ke Tanah Suci, ia juga sudah mondok di Dayah Darul Atiq Putra Jeunib, dan Dayah MUDI Mesra, Mideun Jok, Samalanga.
Jauh melangkah, tentu banyak melihat. Banyak berguru bermakna banyak ilmu yang dapat ditimba. Ibarat ilmu padi, semakin berisi semakin pula merunduk. Demikianlah Tu Sop, yang saya simpulkan, demikian juga simpulan yang saya ambil dari tulisan Teuku Zulkhairi, putera kelahiran Gampong Pante Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.
Mengutip Syaikh Yusuf al -Qardhawy, Islam Wasathiyah, Ampon menyebutkan wasathiyah dapat dimaknai adil, istiqamah, kebaikan, aman, kuat, pusat persatuan. Dalam teks lainnya, cendekia Islam tersebut menyebutkan wasathiyah adalah karakteristik Islam yang menonjol, yaitu sikap pertengahan dan sikap seimbang antara dua kutub yang berlawanan dan bertentangan di mana salah satunya tidak berpengaruh sendirian, akan tetapi kutub lawannya pun tidak dinafikan. Salah satu kutub tidak diambil melebihi haknya. Tidak melanggar dan menzalimi kutub lawannya.
Lebih jauh, Ampon menuliskan wasathiyah sering dimaknai sebagai sikap moderat di dalam beragama. Yaitu sikap adil (jalan tengah) di antara berbagai pilihan ekstrem.
Menurut Teuku Zulkhairi –dan saya sepakat– dalam menjalankan dakwahnya, Tu Sop memilih jalan tengah. Tidak menyalahkan, tidak mencaci, tidak menghardik, tapi juga memiliki sikap yang jelas atas tiap persoalan.
Tu Sop dalam tiap tablignya, selalu berdakwah secara santun, mendidik, mengajukan gagasan serta tidak segan mengkritik perilaku agamawan muslim secara halus. Bahwa siapapun tidak luput dari dosa. Tidak ada yang sempurna, apalagi bila sudah berhubungan dengan penyakit hati.
Dakwah -dakwah Tu Sop selalu berorientasi pada kampanye persatuan. Lihatlah, betapapun dirinya secara jelas berdiri pada kelompok Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019, tapi tidak sekalipun dirinya mencaci paslon Joko widodo- Kyai H. Ma’ruf Amin. Karena bagi Tu Sop, sekalipun perbedaan tidak dapat ditolak, tapi jangan sampai meninggalkan akhlak yang baik dalam mengelolanya. Demikian juga kala maju pada Pilkada Bireuen berpasangan dengan dr. Purnama Setia Budi, Tu Sop tetap menjalankan kampanye yang berakhlak. Walau pasangan calon itu diganggu kiri dan kanan, tapi timsesnya dilarang membalas. Bahkan di media sosial sekalipun.
Buku Paradigma Islam Wasathiyah telah merangkum dengan baik narasi tentang dakwah jalan tengah Tu Sop, saya sendiri sejak 2017 telah intens berkomunikasi dengan Ayah Sop. Apa yang ditulis di dalam buku tersebut bukan sesuatu yang berlebihan. Tidak ada puja dan puji yang menjadikan Tu Sop sebagai sesuatu yang tidak bisa disentuh. Tu Sop memang tokoh membumi, dekat dengan siapapun dan bisa ditemui oleh kalangan apapun.
Dalam dakwahnya, Ayah Sop juga tidak sekadar berceramah. Apa yang ia sampaikan sekuat tenaga diaplikasikan dalam tindakan. Unit bisnis Ie Yadara, adalah salah satu bentuk usaha nyata di bidang ekonomi. Demikian juga sejumlah kegiatan membangun rumah untuk kaum dhuafa, adalah dakwah di bidang sosial. Bagi Tu Sop, dayah sebagai institusi pengkaderan ulama, harus mampu menjadi mata air bagi umat.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, seorang akademisi UIN Ar-Raniry, menyebut Tu Sop seperti Abul al-A’la al-Maududi, pendiri Jama’at Islami di Pakistan. “Tu Sop tokoh agamawan, ilmuan, dan juga aktivis dakwah.”
Dalam konteks berbeda, Pengamat Sospol Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachry Ali menyebutkan Tu Sop seperti Jusuf Kalla.
Akhirnya, Paradigma Islam Wasathiyah Tu Sop Jeunib: Narasi Besar Ulama Aceh untjk Membawa Ummat Bangkit dari Ketertinggalan, merupakan buku yang perlu dibaca oleh siapapun. Selamat kepada Dr. Teuku Zulkhairi,MA, atas karya tersebut. Semoga semakin banyak penulis yang bersedia menulis tentang kiprah dakwah Tu Sop yang egaliter, dan menghormati ragam perbedaan. Semoga ke depan, Pemerintah Aceh memberikan porsi anggaran kepada penerbit di Aceh, agar dapat berkiprah lebih besar menerbitkan narasi tentang Aceh, yang ditulis oleh orang Aceh dan diterbitkan oleh penerbit buku di Aceh. Bek tip thôn bak babah peugah keistimewaan, tapi bak rumoh sikula dan pustaka punôh buku dari blahdéh laôt.
*)Penulis adalah CEO aceHTrend.