Oleh Baihaki*
Hidup di dunia tidak abadi. Perubahan – perubahan yang dijalani selama di dunia kerap terjadi. Kesenangannya dicampuri kekeruhan dan kenikmatannya banyak keluhan. Di saat manusia berada pada puncak kejayaan, kebahagiaan dan ketenangan. Tiba – tiba ia dikejutkan oleh kemalangan yang menimpanya dan kesengsaraan yang menjeratnya, sehingga ia menjadi miskin setelah sebelumnya kaya, menjadi hina setelah sebelumnya terhormat.
Terkadang ia juga dikejutkan oleh kematian yang pasti akan menimpa semua yang hidup. Lalu meninggalkan jabatan, rumah mewah, istri idaman, popularitas dan kekuasaannya, sambil memikul beban di atas pundaknya.
Setelah itu ia diberi bantal tanah dan dibiarkan menunggu tempat kembalinya sendirian di negeri yang abadi, kesenangannya tidak pernah terputus, masa mudanya tidak pernah layu dan rezekinya tiada pernah habis, yakni negeri akhirat.
Perumpamaan dunia lebih mirip seperti naungan, dikira memiliki hakikat yang tetap, padahal sebenarnya ia menyusut dan mengerut. Manusia mengejarnya untuk menggapainya, tetapi tetap saja tidak bisa meraihnya. Hal lain yang lebih mirip dengan dunia adalah fatamorgana. Orang dahaga di tengah gurun sahara mengira air, padahal ketika ia menghampirinya ia tidak menemukan apa – apa. Begitulah kehidupan di dunia yang fana ini. Hal lain lagi dunia ini bagaikan mimpi, di dalamnya seseorang menyaksikan apa yang disukai dan dibencinya. Ketika terjaga, ia baru sadar bahwa hal itu ternyata tidak nyata.
Di zaman sekarang ini tipu daya dunia banyak memikat manusia yang suka dikejar adalah popularitas. Dengan akses teknologi mudah didapati, terlebih akses komunikasi dalam hubungan sosial. Banyak terlihat saat ini di antara kita berusaha berpikir keras membuat beberapa narasi dan konten dengan tujuan menunjang popularitasnya meningkat.
Para pegiat media sosial terkesan ingin menjadi terkenal secara instan hingga rasa malu dan harga dirinya terabaikan demi sebuah konten fenomenal. Membuat sebuah video bully-an misalnya kini marak terjadi, di mana penyelewengan moralitas mudah ditemukan di media maya. Bahkan itu menjadi sarana efektif untuk cepat terkenal.
Pada hubungan sosial pun demikian, jika suatu hal kebaikan yang diperbuat jika tidak ada yang foto dan mendokumentasi jiwa sosial yang sedang diperbuat semua itu terasa sia – sia baginya. Bantuan yang dicairkan terasa mubazir karena tak berefek apapun bagi ketenarannya kecuali hanya sebahagian orang di sekitar itu.
Banyak tertipu dengan semua ini. Popularitas disangka sebagai solusi hidup tenang dan senang karena ia akan banyak dikenal oleh khalayak ramai. Padahal ini adalah sebuah bumerang yang akan menghantam ketenangan, kesederhanaan dan kebahagiaan hidupnya.
Bukankah telah banyak kita temui para artis dan publik figur hidupnya dikekang demi menjaga popularitas yang sudah susah payah digapainya. Tak ayal rezeki halal dan haram seperti abu – abu, tak terlihat lagi perbedaan di pandangannya. Lain lagi sorotan media yang memantau seluruh aktifitas sosialnya, sampai urusan pribadi dalam rumah tangga pun jadi sorotan. Hingga hidupnya bagaikan sebuah hamster yang indah dipandang dengan kecantikannya tapi hidupnya terkurung dalam sebuah wadah.
Syaikh Ali Thantawi pernah berkata, “Aku heran melihat mereka yang mengejar kemasyhuran dan menganggapnya sebagai sesuatu yang indah. Apalah arti kemasyhuran atau keviralan itu, bukankah itu adalah hal yang membuat semua mata tertuju padamu, dan membuat mereka mengawasi semua gerak – gerikmu, dan dengan itu engkau kehilangan kebebasanmu.”
Banyak juga ditemui artis – artis bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi tekanan batin dari popularitasnya. Salah satunya dapat kita ambil pelajaran dari kisah Marilyn Monroe artis terkenal dari Amerika. Ia meninggal bunuh diri setelah menjalani hidup penuh tekanan. Sebelumnya ia menulis sepucuk surat kepada seorang gadis yang meminta sarannya tentang cara terbaik untuk menjadi seorang artis. Pada surat tersebut Marilyn Monroe berkata, “Kepada gadis ini dan semua gadis yang ingin bekerja di bidang perfilman, waspadai kebesaran dan waspadailah setiap orang yang menipumu melalui sorotan. Aku adalah wanita paling malang, semua orang telah menzalimiku. Sesungguhnya pekerjaan dalam dunia perfilman menjadikan wanita sebagai barang dagangan yang murah dan rendah, meskipun ia berhasil meraih kemuliaan, ketenaran dan popularitas palsu. Aku sarankan kepada semua gadis agar tidak bekerja di dunia perfilman dan dunia peran, karena keduanya jika mereka mau berpikir seperti akibat yang kualami sekarang.”
Niat yang bersih
Lalu, apakah kita harus berhenti berkarya baik melalui media sosial atau media lainnya, karena ditakutkan nanti popularitas kita meningkat. Tidak, berkarya tidak dilarang bahkan itu dianjurkan bagi setiap orang untuk mengekspresikan keahliannya. Namun sebelum itu persiapkan emosional jiwa kita kemana arah tujuan dari berkarya ini, Niatkan hanya mengharap ridha Ilahi.
Namun jika sebaliknya, berkarya dengan memandang kesuksesan dari banyaknya pengikut, pengaruh yang besar, dan dilihat dari viralnya. Ini adalah jalur berkarya yang sesat, ekspetasi kita tak kan pernah puas dan akan merasa gagal karena sedikit pengaruh, bahkan sampai mencapai tingkat putus asa mengingat jerih payah memikirkan ide tapi hasilnya tidak viral dan tidak berpengaruh bagi orang lain.
Jadikan pencapaian sukses itu adalah selama masih mampu berkarya dan diridhai oleh Allah, walau setelah itu kita tidak dikenal oleh khalayak itu bukan masalah. Karena tujuan utama adalah menyampaikan pemikiran dalam sebuah karya yang bermanfaat. Persoalan viral atau tidak itu bukan masalah yang penting ekspetasi sudah tersampaikan. Dengan demikian, andaikata hasil karya yang kita ciptakan menuai hasil pengaruh hingga sampai viral dikalangan masyarakat. Kita tidak ikut jumawa, sombong dan ujub. karena itu bukanlah tujuan melainkan hanya bonus dari hasil karya kita.
Hasil karya yang baik popularitas meningkat hingga menuai pujian dimana – mana, jika sebelumnya tidak didasari dengan jiwa yang mantap mengetahui hakikatnya yang sebenarnya sebagai manusia ialah tidak merasa dirinya mempunyai sifat – sifat yang layak untuk dipuji. Sebab ia hanya merasa mendapat karunia Allah jika ia dapat berbuat sesuatu yang baik, dan sama sekali bukan dari usaha kekuasaan dan kehendak sendiri. Jika ada yang memuji maka kita sebagai yang dipuji maka selayaknya harus memuji dan memanjatkan syukur kepada Allah yang sebenarnya berhak dipuji.
Marilah kita terus berkarya dengan sesuatu yang dapat diambil manfaat oleh orang lain sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat akal yang baik dan pikiran yang cerdas. Ciptakan narasi dan konten hasil dari keahlian kita Semata – mata karena Allah, bukan untuk mengharap pujian dan ketenaran dari manusia.
*)Blogger, Santri Dayah Bustanu Malikussaleh Ruhul Quddus, Kota Langsa.Alumnus Pelatihan dan Magang Jurnalistik Santri 2020 Dinas Pendidikan Dayah Aceh.
Komentar