ACEHTREND.COM, Banda Aceh– Dijadwalkan, Senin, 30 November 2020 besok, sekira pukul 10.00 WIB sampai selesai. Forum Jurnalis Aceh (FJA) melaksanakan Focus Group Discussion (FGD), tentang status hukum kontrak tahun jamak (multi years).
Diskusi ini dipandu Sekretaris Jenderal (Sekjen) FJA Ahmad Mirza Safwandy S.H., M.H. yang juga founder aceHTrend, menghadirkan dua narasumber utama yaitu; Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Aceh Ali Basrah Spd M.M. dan Ketua Ombusdman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Dr. Taqwaddin S.H., S.E, M.S.
“FGD berlangsung di Sekretariat FJA, Rumoh Aceh, Tibang Kota Banda Aceh,” jelas Ketua FJA, Muhammad Saleh, Minggu, (29/11/20) di Banda Aceh.
Menurut Saleh, begitu dia akrab disapa. Tema dari FGD ini tak lepas dari perkembangan terakhir mengenai proyek Multy Years Contract (MYC) yang tetap ditender meskipun telah dibatalkan oleh DPRA.
“Awalnya, Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah MT melayangkan surat kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dalam surat yang bernomor 180/12977 tersebut, melaporkan perkembangan proses pembahasan rancangan qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA TA 2019, Rabu 2 September 2020,” sebut Saleh.
Nah, dari Jakarta gayung bersambut, surat bernomor 903/3810/KEUDA, sebagai balasan kepada Plt Gubernur Aceh, Kemendagri meminta Pemerintah Aceh untuk membahas kembali Qanun tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA Tahun 2019 dengan DPRA. Surat itu ditandatangani Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Drs. Komedi, M.Si, tanggal 13 September 2020.
Selain ditujukan kepada Gubernur Aceh yang pada saat itu masih berstatus sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, surat itu juga ditembuskan kepada Ketua DPRA.
Namun, memburuknya hubungan DPRA-Gubernur Aceh layak dikatakan sudah kadaluarasa.
Maklum, diduga puncak dari ketidakharmonisan antara DPRA versus Gubernur Aceh, ketika DPRA menggulirkan hak interpelasi hingga merembet ke hak angket yang menyasar Gubernur Aceh atas pengalokasian dana refocusing sampai menyerang ranah pribadi Gubernur Nova.
“Pasalnya, Nova Iriansyah enggan hadir memenuhi undangan DPRA. Meskipun mengirimkan Sekda sebagai utusannya, hal itu tidak serta merta membuat DPRA melunak,” ungkap wartawan senior ini.
Ironinya papar Saleh, DPRA justeru pernah membahas sendiri APBA tanpa dihadiri Gubernur Aceh.
“Dalam politik, perseteruan tidaklah abadi. Lagi-lagi hubungan elit Aceh hangat dalam satu meja, setelah kedua belah pihak saling sowan ke Kemendagri. Seolah-olah ingin membenarkan adigium politek Aceh yang dibincangkan di warung kopi, “karu di Aceh, Jakarta Peudamee” (konflik di Aceh Pemerintah Pusat yang mendamaikan),” ungkap Saleh mengutip pepatah Aceh.
Sebelumnya atau beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh memenuhi undangan DPRA. Di depan awak media DPRA-Gubernur Aceh saling melempar senyum, setelah Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melakukan penandatanganan nota kesepakatan bersama terhadap Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun Anggaran 2021, Jumat (21/11/20).
Pokir dan Angin Segar dari “Blang Padang”
Angin segar ke jalan “Daud Bereueh” tentu saja karena ucapan yang mengundang harapan dari Gubernur yang siap untuk meneliti terlebih dahulu semua program pembangunan yang diusulkan masyarakat melalui pokok pikiran (Pokir) Anggota DPRA saat melakukan reses, sebelum nantinya dimasukkan dalam RAPBA 2021.
“Publik menduga, Pokir masih menjadi senjata negosiasi dalam pembahasan RAPBA 2021. Padalah proyek tahun jamak pernah ditentang dan dibatalkan melalui sidang paripurna DPRA,” ujar Saleh.
“Tentu masih belum lekang dari ingatan publik terkait aksi Pimpinan DPRA Dahlan Jamaluddin bersama anggota DPRA, khususnya dari Koalisi Aceh Bermartabat (KAB), yang ikut melaporkan Pemerintah Aceh ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (18/9/2020) lalu,” ucap Saleh menginggatkan.
Memang, tidak ada yang aneh dari laporan tersebut, sebab DPRA meminta KPK agar melakukan pengawasan terhadap proyek multiyears tahun 2020-2022 dan penggunaan dana refocusing Rp2,3 triliun.
Disudut lain, DPRA seakan sedang mengirim sinyal, bahwa fungsi badan legislatif sebagai lembaga pengawasan sedang aktif dijalankan.
“Kesan lain, tindakan DPRA tersebut sebagai tindaklanjut dari hasil paripurna untuk membatalkan proyek tahun jamak dengan pagu anggaran Rp2,7 triliun pada Rabu, 22 Juli 2020,” ulas Saleh.
Seperti disebutkan, proyek tersebut terdiri dari 14 ruas jalan penghubung antar daerah dan satu waduk, ruas jalan Peureulak-Lokop-batas Gayo Lues sepanjang 107,30 kilometer (Km) dan ruas jalan batas Aceh Timur-Pining- Blangkejren sepanjang 61,42 Km, ruas jalan Blangkejren-Tongra-Batas Aceh Barat Daya sepanjang 90,15 Km, ruas jalan Babah Rot-Batas Gayo Lues sepanjang 27,57 Km, dan ruas Jantho-Lamno batas Aceh Jaya sepanjang 66,33 Km.
Kemudian ruas jalan Simpang Redelong-Pondok Baru-Samar Kilang sepanjang 57,08 Km. Ruas jalan Batas Aceh Timur-Kota Karang Baru sepanjang 43,52 Km, Trumon-Batas Aceh Singkil sepanjang 51,42 Km dan ruas jalan batas Aceh Selatan-Kuala Baru-Singkil Telaga sepanjang 44,93 Km, dan ruas jalan Sinabang-Sibigo sepanjang 92,64 Km dan ruas jalan Nasreuhe-Lewak-Sibigo sepanjang 129,42 Km. Total panjang jalan yang direncanakan dibangun dalam proyek tahun jamak tersebut sepanjang 219,06 Km.
Kepada media pers, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Moch Ardian Noervianto, meminta kontrak proyek tahun jamak untuk dilakukan di tahun 2021-2022, dan menyarankan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) bersama dengan DPRA melakukan adendum terhadap MoU antara Pemerintah Aceh dengan DPRA.
“Yang jadi soal dan pertanyaan adalah, apakah wajar bila nasib tender yang keburu dilelang Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Aceh (ULP) sebelum addendum dilaksanakan,” kritik Saleh.
Itu sebabnya kata Saleh, FGD terbatas ini dilakukan FJA agar posisi dan status hukum proyek tersebut menjadi terang menderang. Selain itu, narasumber akan membedah; “Hubungan Eksekutif-Legislatif di Aceh, dan menyentil aksi politik elit Aceh ‘Dari Laporan Ke KPK Hingga Rujuk Untuk APBA, Adendum Kontrak Tahun Jamak Hingga Pengusulan Pokok Pikiran”.
Kepada para pihak yang diundang dalam FGD terbatas ini, Saleh mengingatkan untuk memperhatikan protokol kesehatan.
“Bagaimana kelanjutan kisah eksekutif-legislatif, apakah kesepakatan yang tertuang bersama antara Pemerintah Aceh dan DPRA sebagai wujud pelaksanaan program Aceh Hebat, atau justru kesepakatan tersebut membuat kedua lembaga terjerembab dalam peribahasa lama, karam di darat,” ujar Saleh.