Oleh Usman Lamreung*
Menurut sebuah riwayat, terdapat sebuah negeri di Antah Berantah yang kaya raya tapi rakyatnya banyak yang morat-marit, hidup dalam huru-hara. Bahkan penduduk negeri itu dikisahkan banyak yang deuk troe (banyak yang lapar), saket asoe (berpenyakitan), buta tuloe (berprestasi rendah).
Negeri di Antah Berantah itu pernah mencapai kejayaan pada masa leluhur sekira tiga abad lalu. Kala itu orang-orang dari negeri-negeri tetangga banyak merantau ke negeri Antah Berantah itu untuk tujuan menimba ilmu dan mencari nafkah.
Oleh karena itu, banyak kampung di negeri Antah Berantah ini mempunyai nama mirip nama negeri tetanggga, seperti Kotanya Malaka, Kampungnya Jawa, Cina, Desanya Padang, Daerahnya Jamee, Negerinya Portugis, dan lain-lain.
Suatu ketika negeri di Antah Berantah itu dipimpin oleh raja yang memiliki kelainan kejiwaan dibanding leluluhnya. Jika dulu ada leluruh yang hobi menyabung ayam (peulet manok), Sang Raja yang satu ini malah hobi mengadu domba tokoh rakyat (peupok ureung).
Diriwayatkan, hampir saban tahun Sang Raja menggelar even adu domba antartokoh. Ketika suasana negeri sedang teduh, maka dia membuat sayembara yang menghebohkan. Sang Raja sepertinya sangat menikmati sayembara ini; syuuurrr!
Semua jajaran pemimipin agama di negeri itu diam seribu bahasa, tutup mulut semua. Tak ada ulama yang mengajukan protes pada raja yang memiliki hobi aneh ini.
Setelah ditelusuri, Negeri Antah Berantah itu memiliki empat pintu penjuru angin. Negeri yang kaya raya, sumber daya alam melimpah ruah, dana pembangunan yang besar dan dihuni oleh orang-orang Islam. Para wanita di negeri itu selalu pakai kerudung, kaum laki banyak memakai kain sarung dan sorban.
Ironis, rakyatnya masih banyak yang miskin, pengangguran di mana-mana, minim prestasi, para pemangku kekuasaan dan kebijakan kerajaan suka foya-foya dan koruptif, kerap ribut dalam bagi-bagi jatah proyek.
Hiruk-pikuk politik begitu masif, bahkan jegal-menjegal. Asal bapak senang (ABS) jadi laporan rutin sang bawahan kepada raja.
Orang yang tidak disenangi sang raja dilengserkan dengan segala cara, biar pun sudah ada keputusan hukum, sang raja tetap membangkang atas hasil keputusan tersebut agar konflik para tokoh tak terjadi.
Begitulah fenomena di Kerajaan Antah Berantah. Elite negeri itu semua beragama Islam, namun realita mereka saling sikut, sikat, jegal, untuk dua tujuan; kekuasaan dan uang. Tak pandang halal haram.
Tahun sebelumnya Sang Raja mengadakan even adu domba pada sebuah badan otorita kepulauan yaitu memakzulkan pejabat lama yang telah ikut seleksi dan mengangkat pejabat baru sesuka hati walau tanpa seleksi. Untuk badan otorita diberikan anggaran yang boleh digunakan untuk foya-foya ke luar negeri. Satu syarat untuk aman: ABS!
Setahun berselang Sang Raja mengadakan even adu domba dua tokoh dari satu daerah yang sama. Kepala Badan Urusan Hal Ihwal Peutuah Indatu (BUHIPI) yang terpilih melalui musyawarah besar tidak diakui oleh raja. Raja menunjuk tokoh lain dari puak yang sama untuk menggulingkan kepala BUHIPI versi musyarawah.
Kepala BUHIPI versi musyawarah besar membawa perkara ini ke meja qadhi hingga ke jenjang yang paling tinggi. Di semua jenjang, qadhi memutuskan dia menang dan berhak atas jabatan Kepala BUHIPI Negeri Antah Berantah.
Namun, Sang Raja dengan kekuasaan yang super power meletakkan keputusan qadhi di bawah telapak kakinya. Raja meminta tokoh kesukaannya untuk menggusur Kepala BUHIPI yang sah, dengan menggelar musyawarah lain, dana pun disiapkan.
Kepala BUHIPI bodong terpilih dan segera dilantik oleh raja. Kepala BUHIPI ini ikut senang melihat kezaliman, mengikuti jejak raja. Satu syarat: ABS, maka kepala BUHIPI yang baru ini aman, dapat uang dan fasilitas.
Patut diduga, Sang Raja mengadu domba dua tokoh BUHIPI di atas dan lainnya sebagai bagian strategi agar ada konflik dalam masyarakat. Masyarakat dibenturkan dalam dua blok.
Akhirnya, masyarakat sibuk berdebat sesama mereka dan lupa melihat kiprah raja dalam memakmurkan negeri seperti masa emas indatu dulu. Raja pun aman, langgeng dalam kuasanya, bermewah-mewah dengan bermacam kuda hias. Jajarannya pun menjilat sembari memberi laporan yang ABS.[]
Penulis adalah warga Aceh Besar dan akademisi Universitas Abulyamata
Editor : Ihan Nurdin