Oleh Muhajir Al-Fairusy*
Penghujung tahun 2016, di lantai dua gedung Margono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, ruangan yang sering digunakan untuk memproduksi wacana pengetahuan sekaligus melahirkan para sarjana hingga doktor yang akan menjadi penyebar ilmu kebudayaan di seluruh Indonesia, hadir seorang peneliti Cap dari Inggris, Annabel Teh Gallop. Saya sendiri mendapat undangan untuk menyaksikan langsung kuliah tamu ini dari pesan groub pada pembelajar di FIB.
Seorang perempuan paruh baya, duduk di depan para audiens, sambil terus mengumbar senyum, menunjukkan ia sosok yang begitu ramah. Selanjutnya ia melakukan orasi workshop, menampilkan beberapa bentangan kertas manuskrip kuno milik Keraton Jogja dengan seperangkat hiasan di dalamnya pada layar proyektor yang telah disediakan panitia. Dari biografi yang dibacakan moderator saya baru tahu jika ia adalah seorang penting dalam khazanah keilmuwan budaya. Ia telah melakukan penelitian cap dan bentuk bingkai yang terdapat dalam ribuan manuskrip di Asia Tenggara. Annabel adalah seorang Lead Curator, Southeast Asia yang kini menetap di London, Inggris.
Selesai presentasi, saya mendekati Annabel, dan memperkenalkan diri, jika saya orang Aceh yang sedang belajar di UGM. Selanjutnya, ingin memastikan apakah ia juga menyimpan beberapa peninggalan sejarah berupa cap Kerajaan Singkel. Ia menjawab pernah mendengar Singkel, namun belum bisa memastikan apakah masih menyimpan koleksi tersebut. Seminggu kemudian, ia mengirimkan saya email yang dilengkapi dengan sederet foto. Alangkah kagetnya saya, ternyata ia mengirimi beberapa cap penanda Kerajaan Singkel. Annabel begitu peduli pada kebudayaan. Paling penting, sebagai sosok intelektual, ia tak sungkan berkomunikasi dengan siapapun.
Penghujung tahun 2020, empat tahun setelah saya mengenal Annabel, insititusi tempat saya bekerja sekarang-STAIN Meulaboh, akan mengadakan Konferensi Internasional. Temu intelektual dari beberapa negara ini adalah langkah strategis memperkuat daya tahan kampus di bidang akademik. Salah satu pemateri yang selanjutnya menjadi prioritas adalah Annabel Teh Gallop. Alasan ideologis memilih Annabel mengingat STAIN Meulaboh sedang menggalakkan distingsi diri sebagai salah satu Perguruan Tinggi Islam di Barat Selatan yang melekat legacy Turats.
Annabel mempresenstasikan papernya yang berjudul “Mushaf al-Quran Aceh yang Berhiasan; Yang Biasa, Yang Istimewa dan Yang Luar Biasa.” Tak lama kemudian beberapa mushaf al-Quran tulis tangan dari abad ke-16, 17, 18 dan 19 M yang pernah diproduksi di Aceh secara manual oleh tangan manusia menghiasi dinding zoom. Para peserta kagum melihat keindahan bingkai berwarna dan iluminasi yang mengepung ayat al-Quran. Apalagi, ditulis dengan tangan dalam lembaran kertas produk Barat berabad-abad yang lau, jauh sebelum mesin percetakan berkembang seperti sekarang.
Menurut Annabel, Aceh merupakan salah satu kawasan di Asia Tenggara yang paling produktif menulis dan memproduksi ilmu pengetahuan tempo dulu. Beberapa naskah dan mushaf al-Quran kuno yang ditulis tangan paling banyak ditemui di Aceh. Salah satu lumbung mushaf di Aceh adalah kawasan Lambada dan Lam-Nga. Ia juga menunjukkan beberapa keterangan mushaf yang pernah disalin di kawasan pesisir tersebut. Beberapa mushaf lama al-Quran kini disimpan di berbagai museum Eropa, seperti Tropenmuseum, Amsterdam, bahkan ia pernah menemukan mushaf Aceh di Welt Museum, Vienna-Austria yang berasal dari Meunasah Lambada, Lamnga. Annabel telah meneliti dan melakukan studi mengenai cap dan gambar dari ribuan kertas manuskrip kuno. Ia kagum pada peradaban Aceh tempo dulu.
Annabel dan Filantropi Kebudayaan
Sebagai seorang peneliti kebudayaan dari perspektif manuskrip kuno, dan keberadaan cap, Annabel menaruh perhatian besar pada generasi muda dan lembaga kebudayaan di Aceh yang konsen dengan wacana ini. Salah satunya adalah Pedir Museum yang didirikan oleh Masykur Syarifuddin, dan para kolektor manuskrip lainnya. Kondisi ini dibuktikan, saat saya meminta alamat untuk mengirim honornya sebagai salah seorang speaker di International Konferensi STAIN Meulaboh, ia justru mengirim pesan yang mungkin menohok bagi saya dan panitia. Ia menganjurkan jika honornya didermakan saja pada lembaga kebudayaan yang sedang berusaha melestarikan kebudayaan di Aceh.
Annabel memang telah lama dikenal sebagai ilmuwan yang kerap keliling Indonesia (mungkin) tanpa terjebak pada honor. Ia mengabdikan ilmu dan orasinya total pada kebudayaan dan manusia. Kerena itu, saat zoom berlangsung, tak sedikit chat room yang berisi kekaguman pada sosok Annabel. Bahkan, berminat akan mengundangnya untuk dapat menjadi salah seorang pembicara di institusi mereka berikutnya.
Saat gempuran kapitalis di industri pendidikan kian pekat, di mana honorarium menjadi salah satu tolok ukur bagi kepakaran, dan berjamurnya jurnal scopus yang menjadi syarat kenaikan pangkat di dunia akademik dengan standar pembayaran yang kian tak terjangkau. Hingga kerap membuat pusing para akademisi yang sedang memburu kum pangkat. Justru Annabel tampil dengan jiwa filantropinya. Baginya, ilmu bukan (hanya) soal kalkulasi di tengah panggung pasar dan industri yang semakin nyata di dunia pendidikan, melainkan persoalan kepedulian. Saat banyak orang Aceh kian terperosok ke lubang materi dan kekuasaan, ilmuwan seperti Annabel justru menawarkan kembali konsep filantropi dalam dunia pendidikan.
Kondisi serupa mungkin juga telah dilakukan oleh Irwan Abdullah, Guru Besar UGM. Selama pandemi Covid, justru ia membuka kelas bimbingan menulis gratis via Zoom dan Youtube yang dapat dinikmati oleh siapapun.
Menutup catatan ini, saya mengutip salah satu kisah sejarah bangsa ini, (mungkin) penyebab Indonesia bisa tegak berkembang hingga sekarang, karena negara ini memiliki orang-orang seperti Natsir. Dalam catatan Menteri dengan Jas Bertambal. Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa menyodorkan catatan dana taktis yang berisi saldo lumayan banyak. Itu hak Natsir menurut Ulfa, tapi Natsir menggeleng, selanjutnya dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan, tanpa sepersenpun masuk dalam kantong pemiliknya (Seri Buku Tempo ; Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan).
Cerita Annabel, Irwan Abdullah dan Natsir seperti oasis di tengah gempuran pasar yang kian akut. Di mana, agama dan pendidikan adalah produk yang dapat dimodifkasi oleh siapapun demi meraup keuntungan. Bahkan, senggol-menyenggol karena kerakusan menjadi hal biasa. Tapi, di tangan mereka, justru posisi ilmu dan agama menjadi lebih bermartabat, karena diletakkan pada ruang kemanusiaan, dan dalam wadah kebudayaan berbasis filantropi. Tindakan ketiganya menyentak saya, ternyata ini bulan Maulid, di mana seharusnya maulid memang harus dimaknai secara profetik, bukan ritual semata.
*)Penulis adalah dosen STAIN Meulaboh, Aceh.