ACEHTREND.COM, Banda Aceh– Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Dr. Taqwaddin Husein, SH SE MS menilai, melunaknya Gubernur Aceh Nova Iriansyah beberapa waktu lalu karena tekanan politik DPR Aceh, menurutnya, hubungan antara wakil rakyat dan kepala daerah itu terguncang karena fluktuasi komunikasi dalam kebijakan publik.
“Fluktuasi komunikasi menyebabkan naik-turun hubungan Legislatif dan Eksekutif menjadi fakta politik hari ini, sehingga terjadinya aksi saling menekan, DPRA menggunakan hak interpelasi dan hak angket, kemudian Eksekutif melemah, nah di sini bargaining position.”kata Taqwaddin dalam FGD, “Hubungan Legislatif-Eksekutif di Aceh” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Aceh (FJA), Senin, (30/11/20) di Sekretariat FJA Jalan Tengku Meulagu, Rumoh Aceh Tibang, Banda Aceh.
Dalam komunikasi hukum, Taqwaddin menyarankan agar kedua lembaga terhormat tersebut memahami apa yang dalam teori disebut dengan, content, emosi, dan interest.
“Masalah konflik politik bukan karena masalah hukum saja, namun sejujurnya kalau kita bedah karena faktor komunikasi.”ujar Dosen Senior Fakultas Hukum Unsyiah itu.
Taqwaddin mengatakan, permasalahan selama ini yang dihadapi oleh kepala daerah di Aceh adalah komunikasi.
“Kalau dulu pada masa Bang Wandi terjadi over-communication karena terlalu merespon di social media, walaupun beliau mengatakan kepada Saya nyan keu gura-gura, tetapi ada batasan dalam bersosial media apalagi untuk pejabat public, seyogyanya berhati-hati. ‘tetapi yang sekarang justru lost-comunication, jadi sulit untuk ditafsirkan, seperti diundang tidak hadir, atau diam saja.”Imbuhnya.
Dalam studi komunikasi, ada yang dinamakan meta komunikasi, seperti isyarat tidak langsung, memahami penafsiran dengan gestur,
“Beberapa hari lalu di Harian Serambi Indonesia memberitakan Gubernur Aceh dan DPRA saling melempar senyum, padahal fotonya pake masker, apa matanya yang tersenyum-senyum, muncul penafsiran public, mungkin sudah deal untuk pembahasan APBA.”kata Taqwaddin.
“Kebijakan publik harus dikomunikasikan, baik regeling maupun beschicking, dan barangkali masih kurang selama ini.”tambahnya.
Nah, komunikasi penting untuk mewujudkan good governance.
“Pemerintahan harus terkelola dengan memperhatikan prinsip asasa-asas umum pemerintahan yang baik dan bersih, misalnya transparansi. Saya mau tanya kepada Pak Ali Basrah, apakah Bapak tahu detail penggunaan dana recofucing? Tidak ada yang tahu kan, bukan kah itu uang rakyat, nah itu penting dikumunikasikan supaya clear, efektif pemanfaatannya, dan jelas berdampak terhadap masyarakat.”tegas Taqwaddidn.
Potensi Masalah Hukum
Bukan tak memiliki dampak apabila kebijakan publik tidak dikumunikasikan, menurut Taqwaddin hal tersebut dapat menimbulkan masalah hukum, sosial, masalah politik dan ekonomi.
“Masalah hukum misalnya, DPRA bertemu menteri, melaporkan ke KPK atas peukateun yang terjadi di Aceh, padahal satu sisi DPRA memiliki fungsi pengawasan.”ucapnya.
Taqwaddin mengingatkan, bila terus menerus terjadinya fluktuasi komunikasi antara elit Aceh, maka berpotensi munculnya ketidakpuasan masyarakat, akibatnya menurut Taqwaddin, hal itu dapat menurunkan kepercayaan publik, sehingga muncul curiga yang membuat suasa batin masyarakat tidak enak.
FGD tersebut dipandu oleh Sekjen FJA Ahmad Mirza Safwandy, SH MH membedah tema “Hubungan Eksekutif-Legislatif di Aceh”, ‘Dari Laporan Ke KPK Hingga Rujuk Untuk APBA, Adendum Kontrak Tahun Jamak Hingga Pengusulan Pokok Pikiran.’
Selain Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Dr. Taqwaddin SH SE MS, juga menghadirkan Anggota Banggar DPRA Ali Basrah Spd MM, dan sejumlah pembanding, diantaranya Ketua Umum FJA Muhammad Shaleh, Akademisi FISIPOL Universitas Syiah Kuala Dr. Bustami Usman M.Si, Advokat Senior Mukhlis Mukhtar SH, dan Seniman Sarjef.