Oleh Muhajir Juli*
1 Desember 2020, Benny Wenda, tokoh Gerakan Persatuan Kemerdekaan Papua Barat/United Liberation Movement for West Papua, mendeklarasikan kemerdekaan negerinya dari Indonesia. Sekaligus ia sendiri sebagai Presiden ULMWP, yang menjalankan mandat menyatukan rakyat Provinsi Papua dan Papua Barat menuju referendum.
Klaim Benny Wenda ditolak oleh
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Organisasi perlawanan bersenjata itu menolak mengakui Benny Wenda sebagai presiden sementara Negara Republik Papua Barat (NRPB).
Dikutip dari detiknews, Kamis (3/12/2020) OPM juga tak mengakui klaim terbentuknya NRPB karena Benny melakukan deklarasi dari Inggris, yang dinilai sebagai negara asing serta berada di luar wilayah hukum. Mereka juga tak mengakui klaim Benny karena berstatus warga negara Inggris sehingga masuk kategori warga negara asing (WNA).
Pun demikian, deklarasi kemerdekaan yang dilakukan Benny mendapat sambutan lumayan oleh netizen Aceh dan kelompok oposisi Pemerintah Indonesia. Bila di Jakarta, para politisi dengan berbagai jubah mempertanyakan tindakan nyata Joko Widodo terhadap organisasi perlawanan di Bumi Cenderawasih, maka di Aceh netizen mempertanyakan komitmen Mualem (Muzakir Manaf) terkait cita – cita kemerdekaan dan bendera Aceh.
Ada yang menarik di dalam konteks ini. Wenda dan Mualem dua hal berbeda dan berada pada sisi berbeda. Bila Wenda mendeklarasikan 1 Desember 2020 sebagai hari kemerdekaan, maka Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperingati 4 Desember sebagai tanggal bersejarah, bahwa pernah ada gagasan memerdekakan Aceh pada 4 Desember 1976 di Gunong Halimon, Pidie. Pun, ide untuk membentuk negara Aceh, sudah berhenti pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.
Bila melihat posisi jabatan di dalam gerakan kemerdekaan, Benny setara dengan Tengku Hasan Tiro yang merupakan Wali Negara Aceh Merdeka. Sedangkan Muzakir Manaf, adalah Panglima Teuntra Aceh Merdeka (TNA) yang merupakan sayap militer GAM. Lelaki yang akrab disapa Mualem, bukan pucuk pimpinan di tubuh GAM. Dia pucuk pimpinan militer, menggantikan Allahyarham Teungku Abdullah Syafii yang gugur di rimba Pidie
Kedua, GAM tidak lagi berperang menggunakan senjata api untuk memperjuangkan kemerdekaan. Setelah perundingan di Helsinki, GAM memilih jalan baru mewujudkan kemerdekaan untuk rakyat Aceh. Tentu, hasil dari MoU Helsinki telah banyak didapatkan oleh Aceh. Pemerintah Pusat yang sebelumnya acuh tak acuh melihat Aceh, pasca Helsinki, sudah lebih banyak memberikan dukungan finansial untuk Serambi Mekkah. Walau demikian dari sisi regulasi masih banyak juga yang belum dapat diimplementasikan karena tidak kunjung terbitnya PP untuk menjalankan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, yang ide penyusunannya ikut dipengaruhi oleh memorandum of understanding di Helsinki antara Pemerintah Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia.
Sebagai Ketua Umum Partai Aceh, parlok terbesar–Walau setiap pemilu terus menyusut kekuatannya, Mualem memiliki beban besar untuk mengemban misi politik Aceh yang pernah diperjuangkan GAM di Helsinki. Mengapa Mualem? Karena dia adalah pimpinan parlok sekaligus Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, dia adalah satu -satunya eks kombatan GAM yang memiliki kekuatan politik [besar] untuk mewujudkannya. Para intelektual GAM seperti Teungku Nur Djuli, Munawar Liza Zainal, dan lain – lain telah lama berada di luar kekuasaan. Mereka tidak memiliki mah untuk dapat melakukan banyak hal.
Umur GAM telah 44 tahun. Sebuah batang usia dewasa, ideal dan matang. Tapi GAM bukanlah individu. Organisasi yang dalam bahasa Inggris disingkat ASNLF adalah lembaga besar yang dihuni oleh banyak orang dengan ragam kepentingan setelah terajutnya damai di Aceh.
Dengan berbagai dinamikanya, sebagai organisasi, GAM tidak boleh padam. Harus tetap ada agar kepentingan Aceh tetap terjaga. Bilapun saat ini GAM telah tercerai berai dalam berbagai klan politik pascakonflik, GAM tidak boleh mati, untuk menjaga imaji Aceh yang beridentitas dan bermartabat.
4 Desember 2020, harus menjadi tonggak bagi Mualem untuk berefleksi tentang capaian yang sudah diraih dan apa yang harus dilakukan untuk menjemput mimpi yang belum berhasil didapatkan. Sebagai pemimpin karismatik di tubuh KPA dan PA, politik Mualem ke depan tidak boleh lagi pök tembok. Sesuatu yang tidak produktif jangan lagi dijadikan wacana. Misal perihal bendera. Jangan lagi menjadi bumerang yang membuat produktivitas terkungkung karenanya. Masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk membangun marwah Aceh.
Syarat utama agar perjuangan GAM kembali ke jalur sesuai semangat Helsinki, Mualem harus berbesar hati merangkul kembali senior dan juniornya, duduk bersama untuk merumuskan cita – cita yang belum tercapai.
15 tahun saya kira sudah cukuplah kita semua diba lé geunteut. Kita sudah harus bangun dari tidur. Telah terlalu jauh kita hanyut dalam rentak irama lagu yang musiknya ditabuh oleh orang lain. Orang -orang yang dulunya kita anggap sebagai ‘asing’.
Mualem pun tak usah hirau suara – suara yang membandingkannya dengan Benny Wenda. Sebagai prajurit Mualem sudah pada jalur, patuh pada perintah Wali Neugara Aceh Merdeka Tengku Hasan Tiro. GAM berdamai, setelah tidak memiliki lagi alasan yang kuat untuk terus berperang melawan RI. Gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 adalah alasan paling kuat bahwa perang harus diakhiri. []
*)Muhajir Juli, lelaki kelahiran Gampông Teupin Mane, Juli, Bireuen adalah seorang kolumnis. Penulis buku biografi serta peminat kajian sosial, politik dan kebudayaan. Dapat dihubungi via email:muhajirjuli@gmail.com.