Oleh Teuku Murdani*
Semenjak adanya Dana Desa (DD) ramai masyarakat di gampông yang sudah mulai memahami sistem perencanaan, penggunaan dan pertanggung jawaban anggaran negara. Sebut saja Gampông Mawar tidak ketinggalan dalam merancang pembangunan gampônng dengan menggunakan anggaran desa tersebut.
Dinamika yang terjadi di Gampônng Mawar sangat luar biasa. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa warga Gampông Mawar tidak begitu siap dengan anggaran yang begitu besar dikucurkan setiap tahun untuk mendukung pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh warga. Banyak elit gampông yang mencoba ‘mengolah’ dana tersebut agar lebih menguntungkan mereka.
Proyek pembangunan rabat beton jalan gampông hampir semua dikuasai oleh para elit, maklumlah mereka memiliki modal yang kuat untuk menanggulangi pendanaan awal sebelum dana gampông cair. Sementara aparat gampông sudah cukup solid dalam mengelola baik uang maupun program pembangunan di Gampông Mawar.
Bagi warga gampông yang dianggap vokal segera dicarikan solusi baik dengan memberikan dana pengembangan ekonomi maupun dengan melibatkan di dalam program pembangunan. Warga Gampông Mawar yang sangat majemuk membutuhkan strategi khusus agar semua persoalan dapat diselesaikan dengan baik.
Tetapi namanya saja Gampông Mawar yang merupakan nama samaran dan bukan nama sebenarnya, tentu ramai juga warganya yang protes. Mereka menggunakan berbagai sarana yang ada untuk melakukan aksi protes. Mulai dengan media sosial, menulis opini di surat kabar dalam jaringan, berbincang di warung kopi, menulis di spanduk dan ada juga yang melaporkan kepada pihak yang berwajib.
Di antara para pemerotes tersebut ada yang paling vokal yaitu Apa Bram, Bram merupakan nama panggilan. Nama asli Apa Bram sengaja disamarkan agar tidak terdeteksi oleh para elit Gampông Mawar. Apa Bram dikenal dengan keberaniannya membela kepentingan warga dari kezaliman para elit gampőng.
Keberanian Apa Bram bukan hanya di warung kopi atau di media sosial ataupun di spanduk saja. Apa Bram berani beradu argumen dengan para elit dan keuchik di dalam rapat umum gampông yang dilaksanakan di meunasah. Ternyata Apa Bram memiliki informasi yang lengkap terhadap kecurangan para elit selama ini. Keserbatahuan Apa Bram membuat pensus keuchik yang terdiri dari para pemalas, kaum tuna karya dan elit komunitas yang culas, tidak nyaman. Mereka sering membuat manuver – manuver kecil membungkam Apa Bram.
Apa Bram memprotes bagaimana elit gampông dengan dalih ingin mencari investor menggunakan uang desa untuk bisa jalan-jalan keluar daerah bahkan keluar negeri. Kenyataannya investor tidak pernah datang ke gampông tersebut. Yang ada uang gampông habis terkuras dan terbuang sia-sia.
Apa Bram ternyata juga memiliki data yang lengkap terhadap permainan para elit yang menggunakan dana gampông untuk pengembangan ekonomi namun hasilnya semua dinikmati oleh para elit saja. Dana-dana dari hasil usaha tersebut tidak pernah dimasukkan ke dalam penghasilan asli gampông (PAG).
Setelah beberapa tahun berlalu, kekesalan dan kemarahan Apa Bram sudah tidak terbendung lagi. Dia sudah mulai terang-terangan menentang para elit gampông. Apa Bram juga sudah menggalang dukungan dari teman-temannya untuk memprotes keuchik dan elit gampông.
Ternyata sudah tercium sama Apa Bram kalau dalam waktu dekat akan ada rapat pertanggung jawaban setahun masa kepengurusan keuchik. Maka dia sudah mengatur strategi dengan teman-temannya untuk membuat perhitungan dalam rapat tersebut.
Benar saja, tidak lama berselang hari, Apa Bram menerima undangan rapat umum pertanggung jawaban keuchik di meunasah. Maka dia dengan sangat bersemangat hadir dalam rapat umum tersebut.
Rapat berjalan dengan sangat alot, banyak pertanyaan warga mengenai penggunaan dana gampông. Keuchik, Sekdes ‘Ep-‘ep, dan aparat gampông hampir kehabisan akal untuk menjawab berbagai pertanyaan dan protes dari warga. Namun demi kebersamaan dan persatuan gampông semuanya dapat diselesaikan dengan bijaksana.
Sebelum rapat berakhir, Apa Bram angkat tangan. Dia berbicara sangat serius dan memaparkan berbagai fakta yang dia miliki terhadap bobroknya pengelolaan dana gampông dan penyimpangan berbagai proyek yang ada di gampông.
Pada akhirnya dia mengatakan dengan tegas tidak terima dengan laporan palsu keuchik dan berjanji akan melaporkan keuchik dan aparat gampông lainnya kepada pihak yang berwajib. Ancaman Apa Bram membuat keuchik bergeming dan kelihatan sedikit gemetar. Namun seorang penasehat berhasil menenangkan suasana dan menyarankan agar rapat ditunda untuk tujuh hari kedepan.
Dalam masa penundaan berbagai berita dan isu yang tidak jelas sumbernya berkembang tanpa dapat dibendung. Sementara Apa Bram tetap slow seperti biasa dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Dia memiliki sepetak sawah di Gampông Mawar dan di ujung areal persawahan terdapat sebuah warung kopi tempat dimana dia biasanya selalu kunjungi baik sebelum maupun sepulang dari sawahnya.
Suatu hari saat Apa Bram sedang duduk di warung kopi tersebut setelah dia bekerja di sawahnya, penasehat keuchik sebut saja namanya Baim datang ke warung tersebut. Melihat Apa Bram sedang membalut rokok daun nipah dia langsung datang menyapa sekedar berbasa- basi dengan Apa Bram.
Kemudian sang penasehat memesan dua gelas kopi susu, rokok Dji Sam Su satu bungkus dan dua piring mie guréng khas warung kopi tersebut. Mula-mula suasana sedikit tegang namun dengan keahliannya Baim mampu mengendalikan suasana. Suasana semakin akrab ketika Apa Bram mulai meneguk kopi susu dan membuka bungkusan Dji Sam Su di depannya.
Tidak lama kamudian keuchikpun datang dan bergabung semeja dengan Apa Bram. Setelah Apa Bram menghabiskan sebatang Dji Sam Su dan setengah gelas kopi susu diapun menjelaskan kepada keuchik dan penasehatnya bahwa dia tidak memiliki persoalan pribadi baik dengan keuchik maupun aparat gampông lainnya.
Dia kemudian menjelaskan bahwa seharusnya keuchik janganlah bertindak ‘one man show’. Pemerataan dana desa itu penting agar semua warga merasakannya. Singkat cerita, Apa Bram dan geuchik kemudian menyepakati kalau pembangunan jalan gampông yang tembus ke kecamatan akan melibatkan Apa Bram. Karena jalan tersebut memang sangat dibutuhkan oleh warga.
Persetujuan antara Apa Bram dengan keuchik yang difasilitasi oleh penasehat keuchik ini tidak hanya mempermudah program pembangunan jalan tersebut, tetapi juga telah memudahkan penanggung jawab keuchik dan tidak ada lagi penolakan di dalam rapat umum gampông.
Apa hendak dikata, setelah kesepakatan tersebut menyisakan pekerjaan rumah untuk Apa Bram bagaimana menghadapi kroninya dan masyarakat yang sudah menggantungkan harapan besar sama Apa Bram dengan harapan akan ada sedikit perubahan di Gampông Mawar. Warga yang sudah menganggap Apa Bram sebagai pahlawan mulai melihat Apa Bram sebagai makelar.
Bahkan ada juga yang memprotes dan mencaci maki Apa Bram sebagai pengkhianat. Ada juga warga yang menyamakan Apa Bram seperti Habib Abdurrahman yang mengkhianati Aceh dengan menerima uang dari Belanda yang kemudian pindah dan hidup dengan tenang di Arab ketika Belanda memerangi Aceh tempo dulu.
“Sungguh tega Apa Bram” salah satu cuitan Cuda Ramulah di halaman facebook-nya yang mendapatkan ratusan komen dari pembaca. Komen-komen tersebut beragam namun ramai yang mempertanyakan idealisme Apa Bram yang bisa dibeli dengan ‘peng griek’.
Demikianlah kisah Apa Leman, yang akhirnya ‘takluk’dengan segelas kopi susu, rokok samsu dan janji akan dilibatkan dalam pembangunan jalan menuju ibukota kecamatan Ule Tutu, Kabupaten Beurujuk Balu, Provinsi Hantu Blau.
Canberra, 6 Desember 2020.
*)Penulis adalah pengajar di UIN Ar-Raniry. Saat ini sedang menempuh studi di Australia.