Oleh Ahmad Humam Hamid*
Wabah Covid-19 yang telah meluluhlantakkan dunia kini sudah berjalan hampir setahun. Kematian dan hantaman kehidupan ekonomi dan sosial menyerang siapa saja di belahan bumi, tak peduli kaya miskin, individu, komunitas, atau negara. Yang pasti masyarakat global kini berada dalam sebuah kejadian yang menentukan terhadap keberlanjutan kehidupan masa depan yang dibayang-bayangi oleh virus kecil yang belum jelas kapan akan berakhir.
Janji ilmu pengetahuan tentang penawar manjur, vaksin Covid-19 sedang dalam proses akhir. Semenjak dimulai pada awal tahun ini, tidak kurang dari 151 jenis vaksin sedang dalam proses penciptaan dan pembuatannya yang harus melalui paling kurang 3 fase untuk kemudian dapat digunakan untuk mengendalikan sang pandemi.
Vaksin itu dibuat di berbagai negara, mulai dari AS, Jerman, Cina, Inggris, Cuba, Rusia, Taiwan, Kanada, India, dan lain-lain. Ada perusahaan swasta yang mendapat dukungan negara, ada pula yang sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan negara. Dari jumlah 151 vaksin itu 21 sedang memasuki fase uji klinis tahap satu, 13 vaksin sedang memasuki uji klinis tahap dua, dan 11 vaksin sedang mengalami uji klinis tiga.
Sekalipun 10 vaksin telah memberikan bukti yang menjanjikan, tetapi sampai dengan 2 Desember 2020, hanya Inggris yang telah memutuskan memberikan izin penggunaan darurat untuk vaksinasi rakyatnya mulai pekan ini. Vaksin yang telah mendapat pengesahan dan izin untuk digunakan adalah vaksin yang dibuat dari hasil kolaborasi perusahan farmasi Pfizer yang berkantor pusat di New York, dan BioNTech, perusahaan farmasi Jerman. Badan yang berwenang untuk penggunaan obat di AS, FDA, memberikan keterangan media bahwa dalam beberapa hari ini akan di putuskan apakah vaksin kolaburasi Pfize BioNTech yang sudah memohon izin penggunaan darurat dapat di luluskan atau tidak.
Pada hakikatnya, upaya pencarian, penemuan, dan pembuatan vaksin adalah kegiatan ilmuwan yang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan manusia. Wajah kemanusian dari upaya itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan sekiranya ada hibah dari pemerintah untuk upaya penemuan itu. Dalam konteks seperti ini, baik negara , perguruan tinggi, dan lembaga riset, bahkan berbagai sumbangan filantropi untuk penemuan Covid-19 mempunyai wajah kemanusiaan yang menonjol.
Untuk hal yang seperti itu, hampir semua negara, utamanya negara maju biasanya menyediakan hibah tertentu untuk penemuan vaksin. Tidak hanya itu para miliuner dunia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk berbagai tujuan kemanusian, termasuk mendanai upaya penemuan berbagai obat dan vaksin, termasuk vaksin Covid-19. Kucuran uang fenomenal konglomerat nomor dua global Bill Gates yang berjumlah 150 juta dolar AS-lebih dari 2 triliun rupiah kepada Institut Serum India untuk menemukan dan memproduksi vaksin Covid-19 yang ditujukan untuk negara-negara berkembang, utamanya negara-miskin adalah contoh sempurna.
Dalam konteks ancaman Covid-19 yang mematikan dengan ancaman massal, maka siapa pun yang terlibat dalam upaya pencarian dan penemuan vaksin adalah pekerjaan mulia. Tujuannya jelas, untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Kepakaran ilmuwan, kebijakan dan ketersediaan sumber daya dari negara, upaya perusahaan, atau pun sumbangan murah hati para orang kaya tidak bisa dibantah adalah pilar penting yang sangat menentukan terhadap kecepatan dan ketepatan penemuan vaksin. Dalam hal ini label kemanusiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Menyelamatkan masa depan manusia adalah sesuatu yang menyentuh emosi kemanusiaan, apa pun singgungannya, agama, kapitalis, komunis, atau ideologi apa pun namanya.
Masalahnya menjadi lain ketika yang terlibat dalam upaya pencarian itu adalah korporasi, baik perusahaan swasta, maupun pemerintah. Betapa pun hibah yang didapat, baik dari pemerintah maupun dari sektor filantropi, suatu hal yang mesti diingat adalah, di balik hubungan antara perusahaan dengan stake holder-pemangku kepentingan, tidak kurang pula hubungannya, bahkan sangat menentukan hubungannya dengan share holder-pemegang saham perusahaan.
Jika pemangku kepentingan lebih berurusan dengan kabaikan bersama, maka pemegang saham lebih berkepentingan dengan investasi dan keuntungan bersama. Logikanya menjadi agak berbeda, karena ada garis pisah mendasar antara investasi dengan sedekah. Vaksin kemudian mempunyai dua wajah, barang publik yang seharusnya layak didapatkan oleh individu dan barang ekonomi, karena proses penemuannya memerlukan investasi yang besar.
Vaksin, apa pun kehebatannya menjadi tak berarti ketika masyarakat tak mampu membelinya, apalagi jika negara menjalankan kebijakan tidak menyediakan vaksin gratis atau vaksin subsidi. Di sebalik itu tentu perusahaan juga tidak bisa semena-mena menerapkan harga vaksin, namun perusahaan pada saat yang sama juga harus mengembalikan uang pemegang saham berikut dengan labanya. Sampai di sini urusannya menjadi campuran antara etika dan ekonomi.
Penentuan harga kini mulai terlihat kepada publik. Pfizer bioNTech menetapkan harga 15,50 dolar AS, sementara Moderna menyebutkan harga antara 25-30 dolar per dosis. Ada pembuat vaksin lain seperti AstraZaneca &Oxford yang menyebutkan harga 3-4 dolar AS per dosis, sementara perusahaan AS, Jhonson & Jhonson menyebutkan akan menjualnya 10 dolar AS per dosis. Perdebatan mengenai harga akhirnya menyentuh debat besar tentang etika kedokteran dan kesehatan, dan kali ini nama-nama besar filosof kembali bermuculan mulai dari Immanuel Kant sampai ke John Lhocke tentang negara, korporasi, dan kepentingan publik.
Suatu hal yang mungkin agak memberikan harapan, bahwa hampir semua perusahaan yang telah berada pada fase uji klinis ketiga itu menyebutkan bahwa harga pada masa pandemi akan lebih murah, bahkan mungkin lebih murah dari harga pokok. Namun, ketika pandemi telah selesai- mereka memprediksi akan bersambung dengan endemi- perusahaan perusahaan itu menyebutkan akan menjual dengan harga yang lebih tinggi yang berurusan dengan keuntungan perusahaan dan pemegang saham.
Hadirnya vaksin yang ampuh dengan harga di bawah harga pokok selama pandemi belum menjadi jaminan bahwa semua makhluk yang bernama manusia di muka bumi akan memperoleh vaksinasi secara universal, tanpa melihat status negara atau status individu. Masyarakat negara berkembang dan negara miskin yang jumlahnya lebih 70 persen dari penduduk global mempunyai masalah tersendiri dibandingkan dengan negara-negara kaya.
Tersedianya vaksin yang baik, belum tentu memberikan jaminan bahwa negara akan bermurah hati memberikan vaksinasi untuk warganya, dengan alasan keuangan yang tidak mencukupi, atau pun karena ada alasan-alasan prioritas pembangunan lain yang mesti didahulukan. Kondisi ini kemudian memberikan ruang untuk menjadikan vaksin yang sudah diterima status sebagai barang “publik global” untuk menjadi komoditas politik pengaruh di antara kekuatan adidaya dunia, utamanya AS, dengan saingan Cina, dan Rusia.
Cina yang dengan terang-terangan menyebutkan sedang melancarkan diplomasi pandemi, dan kini diplomasi vaksin telah mempersiapkan vaksin made in Cina yang juga telah hampir rampung dikerjakan. Untuk Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina ditengarai akan menjadi dua klien utama vaksin made in Cina di kalangan negara-negara ASEAN. Hampir semua negara Afrika yang selama ini menjadi sumber bahan mentah dan pasar produk Cina, juga telah menyatakan kesiapannya untuk menggunakan vaksin Cina itu.
Cina juga tidak main-main. Sejumlah perusahaan negara telah dikerahkan dalam lomba lari cepat global untuk pembuatan vaksin. Dengan berbagai pengujian yang telah dilakukan, walaupun secara resmi uji klinis tahap ketiga telah hampir selesai dilakukan, vaksin Cina kini telah siap diluncurkan kepada publik internasional untuk digunakan. Untuk penggunaan darurat, sama halnya dengan PfizerbioNTech di Inggris, empat calon vaksin Cina bahkan telah diizinkan pemakaiannya di Cina. Vaksin-vaksin itu adalah dua dari Sinopharm, satu dari Sinovac, dan satu lagi adalah vaksin CanSino yang pengujiannya dan produksinya akan dibuat di Brazil.
Kini keunggulan dan kelemahan vaksin dari berbagai merek sedang menjadi perbincangan hangat ilmuwan global, baik debat resmi keilmuan, maupun debat narasi baik buruk keampuhan vaksin Cina versus vaksin-vaksin negara Barat. Hal yang sama juga berlaku untuk vaksin yang dibuat oleh perusahaan Rusia yang bermerek Sputnik. Baik di Rusia maupun di Cina, vaksin itu telah disuntik kepada publik beberapa waktu yang lalu, dan diklaim aman dan efektif. Dalam hari-hari terakhir ini penggunaannya semakin gencar dilakukan.
Indonesia sendiri telah menerima 1,2 juta dosis vaksin Sinovac dari pengiriman tanggal 7 Desember kemarin. Jika perusahaan-perusahaan AS dan Eropa menyiapkan vaksin antara dua-tiga ratusan juta vaksin, Cina kini sedang mempersiapkan tidak kurang dari 630 juta dosis. Cina bahkan menyebutkan tidak akan menggunakannya untuk keperluan domestik, karena mereka yakin dengan protokol ketat, namun akan menggunakannnya setelah “memberikan” perlindungan kepada masyarakat global di berbagai belahan dunia yang membutuhkan.
Berbeda dengan Cina, negara-negara barat, terutama AS masih tetap berpikir keras untuk memberikan prioritas pertamanya kepada warganya sendiri, paling kurang seperti kebijakan Donal J Trump untuk AS, yang kurang memberi perhatian kepada masyarakat global AS. Ruang kosong ini jelas menguntungkan Cina dengan diplomasi vaksin yang tak tertahankan. Cina tidak hanya mendeklarasikan vaksin buatannya sebagai barang publik global dengan produksi besar-besaran, tetapi juga bersedia memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara yang membutuhkan.
Cukup banyak negara-negara di dunia, terutama di benua Afrika, sebagian besar Amerika Latin, sebagian kecil Eropa, dan banyak negara Asia yang akan menjadi klien Cina untuk vaksinnya. Bila ini terealisasi, Cina akan memperoleh imbalan “soft power” global dengan diplomasi pandemi dan diplomasi vaksinnya. Cina akan mempunyai tiga keuntungan sekaligus dengan “image” kemanusian, bisnis, dan pengaruh internasional.
Hanya saja persoalannya kini, vaksin-vaksin itu baru disahkan dan diizinkan pemakainnya di Cina. Belum ada satu negara lain mana pun di dunia yang telah mengizinkan pemakaian vaksin itu untuk publik. Dan seperti biasa, narasi debat vaksin internasional, kini semakin kuat memperingatkan berbagai sinyalemen kekurangan vaksin Cina itu. Namun, ketika Indonesia hari ini telah menerima 1,2 juta dosis vaksin yang akan digunakan, seharusnya penerimaan itu bukan menjadi alasan utama untuk pemberian izin vaksinasi.
Pernyataan resmi BPOM beberapa waktu yang lalu bahwa Indonesia akan mengikuti standar internasional WHO untuk izin penggunaan vaksin kini dalam ujian. Tidak hanya itu, BPOM juga menyebutkan standar FDA AS dan sejumlah lembaga serupa lain di berbagai negara yang aturannya sama dengan Indonesia juga akan menjadi rujukan. Harapan kita seharusnya jumlah kiriman 1,2 juta dosis vaksin Sinovac Cina tidak menjadikan sebagai fait accomply kepada BPOM untuk mengizinkannya. Kali ini politik harus dinomorduakan, dan panglima untuk izin penggunaan Sinovac haruslah ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab.[]
Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala
Editor : Ihan Nurdin
Komentar