Oleh Elvi Marfinda, S.Pd
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah dilaksanakan delapan bulan terakhir ini terus mengalami evaluasi. Pada Jumat (20/11/2020), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan bahwa sekolah boleh melaksanakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021. Sebelumnya banyak opini yang berkembang terkait wacana pembelajaran secara tatap muka. Beberapa pihak menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan upaya menutupi kegagalan Kemendikbud dalam memfasilitasi pelaksanaan PJJ.
Seperti dikutip pada laman akuratnews.com, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui Dewan Pakar FSGI memberi rapor merah terhadap kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, berdasarkan data survei guru yang berhubungan langsung dengan orang tua peserta didik dari berbagai perwakilan daerah. Beliau juga menyinggung dua peserta didik yang secara tidak langsung menjadi korban pelaksanaan PJJ. Selain itu, menurutnya bantuan kuota internet pun menjadi tak berguna karena masih banyak rakyat di daerah, baik peserta didik maupun guru kesulitan mendapatkan jaringan atau sinyal dalam proses pembelajarannya.
Bagi guru, menjalankan pembelajaran di tengah pandemi bukanlah hal yang mudah. Guru harus membuka diri untuk peningkatan kompetensi di masa darurat. Artinya, guru harus memiliki pemahaman tentang pembelajaran jarak jauh dan seharusnya disosialisasikan secara baik oleh pihak Kemendikbud sehingga tidak menimbulkan misskonsepsi pada pelaksanaannya. Selama ini para guru menganggap bahwa pembelajaran jarak jauh adalah belajar secara daring. Hal ini menimbulkan berbagai kendala dan hambatan. Bagi guru dan peserta didik yang memiliki gawai dan sarana pendukung belajar daring mungkin tidak akan mengalami kendala yang berarti. Namun, bagaimana dengan guru dan peserta didik yang tidak memiliki gawai dan daya dukung pembelajaran daring. Bagaimana guru tetap dapat melaksanakan pembelajaran secara luring dan dapat memenuhi hak belajar peserta didik tanpa adanya pemahaman yang baik tentang pelaksanaan PJJ.
Permasalahan berikutnya yang dihadapi guru adalah sangat sulitnya menentukan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran dengan moda daring maupun luring harus dapat dipastikan memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik, salah satunya dengan menentukan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Kurangnya wadah pengetahuan dan pemilihan metode yang sesuai untuk peserta didik pada masa pandemi menyebabkan pembelajaran menjadi monoton dan membosankan. Selain itu guru masih mengejar capaian kurikulum ketika guru secara tidak langsung membebani peserta didik dengan banyak materi dan tugas. Hal ini menyebabkan peserta didik merasa jenuh dan tertekan terhadap pembelajaran dan secara perlahan atensi peserta didik menjadi menurun.
Hal berikutnya yang menjadi kendala dan hambatan guru adalah dukungan psikososial untuk diri sendiri. Guru bukanlah salah satu pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap hasil belajar peserta didik. Tidak jarang guru harus menerima kecaman dari berbagi pihak terutama orang tua selama pelaksanaan PJJ. Ungkapan verbal yang menyakitkan seperti “guru memakan gaji buta” dan berbagai kecaman lainnya jelas mampu memengaruhi psikososial guru dan berdampak terhadap sikap dan tindakan guru. Tidak jarang guru menjadi masa bodoh terhadap pemenuhan belajar peserta didik. Dukungan penuh dari orang tua kepada guru sangatlah dibutuhkan agar guru memiliki kepercayaan diri mengembangkan kompetensi dan pemahamannya untuk menggali dan merangsang kompetensi peserta didik.
Harus diakui, pelaksanaan PJJ masih sangat jauh dari harapan dan mungkin merupakan kebijakan yang cacat secara sistemik. Kemendikbud mengambil andil terbesar atas kegagalan pelaksanaan PJJ yang dibuktikan dengan semakin melebarnya kesenjangan kualitas peserta didik serta kegagalan melayani kebutuhan peserta didik dan guru dalam hal penyediaan sarana penunjang selama pelaksanaan PJJ. Keputusan melaksanakan pembelajaran secara tatap muka serta memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah dan orang tua merupakan wujud “menyerahnya” Kemendikbud terhadap permasalahan pendidikan selama pandemi. Dengan kata lain, pihak Kemendikbud akan lepas tanggung jawab dan menyalahkan pemerintah daerah serta orang tua terhadap dampak buruk yang mungkin timbul saat pelaksanaan pembelajaran pada wilayah/daerah yang masih rawan terhadap penyebaran wabah Covid-19.
Keputusan Kemendikbud terhadap pelaksanaan pembelajaran secara tatap muka di tengah belum redanya pandemi Covid-19 merupakan langkah berani walau memiliki risiko dan tidak tertutup kemungkinan sekolah menjadi klaster baru penularan wabah Covid-19. Namun, harus diyakini pula bahwa keputusan ini tentu diambil berdasarkan hasil dari berbagai evaluasi yang dilakukan selama pelaksanaan PJJ. PJJ adalah salah satu upaya terbaik dalam pemenuhan hak belajar peserta didik di tengah pandemi. Namun, memiliki risiko buruk apabila dilaksanakan terlalu lama seperti ancaman putus sekolah akibat peserta didik yang harus membantu orang tuanya bekerja di tengah krisis pandemi, hilangnya peranan sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, tingkat stres yang tinggi dari orang tua saat mendampingi belajar anaknya, terdapat kesenjangan capaian belajar antara peserta didik dari tingkat sosial yang berbeda dan risiko psikososial permanen dari peserta didik yang menjadi stres karena tidak bisa keluar rumah ataupun bersosialisasi dengan lingkungannya.
Terlepas dari gagal atau cacatnya pelaksanaan PJJ, pernyataan dan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tentang pembelajaran tatap muka Januari mendatang merupakan berita yang menggembirakan bagi guru, peserta didik, dan orang tua. Melalui pembelajaran secara tatap muka guru lebih optimis memulai pembelajaran dengan menjadikan pengalaman selama PJJ sebagai bahan refleksi untuk lebih melatih peserta didik pada kompetensi dan kecakapan hidup nya kelak.
Bagi peserta didik, pelaksanaan pembelajaran secara tatap muka adalah hal yang sangat dirindukan. Selama pelaksanaan PJJ, peserta didik tertekan dan mengeluhkan tugas yang menumpuk sepanjang belajar hingga membuat peserta didik kehilangan ruang untuk berekspresi dan melatih diri . Peserta didik bosan dan jenuh terhadap pembelajaran tanpa pembimbingan langsung dari guru dan merasa kehilangan sosok pendidik yang tanpa batas mendidik dan mendampinginya dalam menemukan dan merasakan makna belajar. Peserta didik menyadari bahwa untuk mencari sosok yang pintar mungkin Google akan jauh lebih pintar. Namun, mencari sosok pendidik yang tak kenal lelah tak akan ditemukan di search engine mana pun.
Keluhan dan curahan hati orang tua selama pelaksanaan PJJ seolah terjawab dengan adanya pembelajaran tatap muka dan menyambut antusias pelaksanaannya. Melalui PJJ orang tua mendapatkan catatan penting bahwa betapa penting peranan guru selama ini dan melahirkan empati terhadap profesi guru. Orang tua menyadari banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengajar anak secara efektif dan semakin memiliki kesadaran bagaimana mendidik anak dalam belajar.
Kendati dihadapkan pada keresahan dan kecemasan melepas anaknya melaksanakan pembelajaran secara tatap muka dengan risiko terpapar dan tertular, orang tua percaya bahwa pemerintah daerah dan sekolah memberi layanan optimal pembelajaran dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan kenyamanan bagi anaknya.[]
Penulis adalah guru SMAN Mosa Arun dan anggota IGI Kota Lhokseumawe
Editor : Ihan Nurdin