Kemunculan Covid-19 membuat banyak orang merasa terpenjara. Ruang gerak terbatas, minim aktivitas, berbanding terbalik karena interaksi dengan anggota keluarga meningkat. Jiwa butuh pelepasan. Dan, berkebun mungkin menjadi aktivitas yang cocok untuk memberi ketenangan batin.
Bagi Nur Asma, aktivitas berkebun menjadi pelepas penatnya. Hobi berkebun yang dilakoni sejak muda membantu perempuan berusia 58 tahun ini di masa pandemi. Meski tidak bebas bepergian dan beraktivitas seperti sebelum virus datang, Asma sama sekali tidak uring-uringan apalagi stres. Sebaliknya, dia bisa fokus mengurus tanaman yang tersebar di pekarangan rumahnya.
“Dengan menanam atau berkebun kita jadi tidak stres. Semua masalah bisa lepas, plong. Itu yang saya rasakan. Pagi-pagi saat bangun tidur dan buka pintu langsung lihat yang hijau-hijau, udaranya segar, itu rasanya sangat luar biasa,” kata Asma, saat berbincang dengan acehtrend.com di beranda rumahnya yang asri, di Jalan Matahari, Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Jumat, 20 November 2020.
Asma beruntung memiliki halaman yang cukup luas, sekitar 700 meter persegi. Di pekarangan itu dia menanam hampir segala jenis buah, mulai dari jambu, jeruk, sawo hingga apel india. Di sela-sela tanaman buah-buahan itu, ditanami tanaman sayur mayur, mulai dari kangkung, sawi, bayam hingga cabai.
Tak hanya itu, dia juga tengah mengupayakan tanaman sayur hidroponik dan aquaponik. Yang terakhir ini, dia mencobanya dengan cara budikdamber atau budi daya ikan dalam ember. “Ini baru saja selesai dipanen, jadi banyak lahan yang tampak kosong,” kata ibu tiga anak itu. Saat panen tiba, para tetangga ikut ketiban berkah kiriman, baik sayur maupun buah.
Berada di pekarangan rumah Asma rasanya seperti berada di kawasan hutan. Suasananya hijau dan asri. Posisi rumahnya yang menjorok ke belakang sama sekali tidak terlihat dari tepi jalan, terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Sejauh mata memandang, pasti akan bertabrakan dengan pohon-pohon bertajuk lebar. Dan yang tak kalah penting, udaranya terasa sangat segar karena oksigen yang melimpah. Denging dan hinggapan nyamuk yang sesekali menggigit menambah kental suasana hutan.
“Rasa-rasanya seperti bukan di kampung nelayan, kan?” kata Nur Asma dengan nada bertanya.
Sejak muda Asma memang sangat doyan berkebun. Baginya, berkebun bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga saja. Lebih dari itu, berkebun bisa menyehatkan jiwanya. Itu dirasakan betul oleh Asma pascatsunami dahsyat yang meluluhlantakkan kampungnya pada 26 Desember 2004 silam.
Baca juga: Jurus Jitu Kaum Ibu Siaga Pangan di Masa Pandemi
Tinggal di tenda pengungsian menjadi hal terberat bagi Asma dan keluarga. Hari-harinya terasa sangat kosong. Dia dan keluarganya seperti kehilangan arah. Gamang. Saat keadan mulai sedikit membaik, Asma dan keluarganya memilih segera pulang ke Lampulo. Untuk tempat berteduh sementara dari terik dan hujan, dia dan suaminya membangun rumah alakadarnya.
Untuk menyembuhkan hatinya, Asma menyibukkan diri dengan menanam berbagai macam pohon di antara puing-puing rumahnya. Aktivitasnya itu pernah mendapat cemoohan karena Asma dianggap tidak ada kerjaan. Namun, Asma bergeming.
“Saya diam saja ketika ada yang nyinyir dengan aktivitas yang saya lakukan. Paling saya jawab dalam hati, nanti kamu juga akan merasakan manfaatnya,” ujar Asma. Kini, tidak hanya dirinya dan keluarga yang merasakan manfaat itu, tapi juga warga sekitar ikut merasakan dampaknya.

Menanam bagi Asma bukan hanya soal aktivitas fisik. Dia bahkan memiliki keterikatan emosional dengan setiap tumbuhan yang ditanamnya. Aktivitas seperti menyiram atau menggemburkan tanah menjadi media untuk berinteraksi dengan setiap tanaman. Itu sebabnya, nyaris setiap pagi ia habiskan waktu untuk merawat kebun. Baginya, menyaksikan setiap senti tanamannya bertumbuh tak ubah seperti menyaksikan tumbuh kembang anak-anaknya sendiri. Termasuk kebanggaan yang muncul dalam dirinya manakala tamu-tamu yang berkunjung memuji pekarangan rumahnya yang asri, nyaman, dan sejuk. Kepuasan itu semakin bertambah, sebab Asma tidak hanya berbagi sayur atau buah-buahan untuk para tetangga. Tetapi juga oksigen yang tentu saja tak ternilai harganya.
Manfaat berkebun juga dirasakan oleh Syarifah Aini. Sebagai ibu empat anak, satu di antaranya masih balita, Aini merasakan betul bagaimana pandemi telah menyulap rumahnya yang tipe 36 jadi kian terasa sempit. Itu karena selama pandemi ini seluruh aktivitas anggota keluarga berlangsung di ruang tamu rumahnya yang mungil.
Belum lagi tambahan beberapa perabotan seperti lemari dan meja makan, menjadikan ruang tamu berukuran 6×3 meter itu jadi terasa sesak. Namun, Aini tidak ingin mengeluhkan kondisi ini secara berlebihan. Toh, menurutnya, perasaan tertekan seperti ini tak hanya dirasakan oleh dirinya saja.
“Semua orang mengalami hal yang sama, tetapi bagaimana cara kita menghadapinya,” kata perempuan berusia 37 tahun itu.
Untuk mengalihkan perhatiannya, Aini memiliki sebuah kebun mungil di belakang rumah yang terletak di Gampong Reuloh, Darul Imarah, Aceh Besar. Meski mungil, tanamannya cukup banyak. Ada singkong, jeruk purut, kunyit, lengkuas, jahe, temurui atau daun kari, dan pohon katu. “Daun jeruk dan jahe itu hampir setiap hari kami pakai. Kalau beli, walaupun sedikit-sedikit ya lumayan juga,” katanya.
Ada rasa bahagia dalam diri Aini saat memetik sayuran yang tumbuh di kebunnya. Perasaan yang sama muncul saat meraciknya menjadi hidangan dan disantap bersama keluarga. Kesempatan berkebun juga dimanfaatkan Aini untuk mengenalkan tanaman kepada anak-anaknya, terutama Faza, anak ketiganya yang berumur lima tahun. Dia punya ketertarikan khusus pada flora dan fauna.
“Kalau kakaknya lebih suka menanam bunga sekarang. Kadang tukar-tukaran bunga dengan teman-temannya, jadi sangat bermanfaat untuk mengenalkan aneka jenis bunga kepada si Kakak,” kata Aini. Secara tidak langsung, ini adalah siasat Aini mengusir kebosanan anak-anaknya karena harus selalu tinggal di rumah, mengurangi interaksi dengan orang lain untuk mencegah penularan Covid-19.
Kenali Gejala dan Pengalihan

Salah satu dampak negatif Covid-19 ialah meningkatnya stres. Hal ini bisa dipicu oleh berbagai persoalan yang memang sudah ada jauh sebelum pandemi muncul. Kemunculan pandemi adalah puncak dari berbagai problem tadi. Semacam benteng terakhir bagi pertahanan mental seseorang.
Spesialis kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, dr Fazia SpKJ mengatakan, beberapa kasus gangguan mental yang sering ditemui di masa pandemi adalah depresi, obsesive compulsive disorder (OCD), post traumatic stress disorder (PTSD), dan cabin fever.
Depresi bisa terjadi karena harus berpisah dari orang-orang yang disayangi, seperti anggota keluarga, teman-teman di lingkungan kerja dan sahabat karib. Protokol kesehatan di masa pandemi, isolasi mandiri atau bahkan yang terburuk adalah meninggal karena Covid-19 adalah beberapa penyebab munculnya depresi.
Item protokol kesehatan yang ketat, seperti mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menurt Fazia, bisa menimbukan perasaan cemas yang berlebihan, yaitu OCD. Sedangkan PTSD merupakan gejala tekanan mental yang ditandai dengan munculnya mimpi buruk atau hipervigilance terkait pengalamannya dengan korona.
Terakhir, cabin fever, yakni suatu kondisi yang terjadi karena terlalu lama di rumah. Gejala yang muncul seperti perasaan gelisah, kurang motivasi, murah marah, sulit fokus, hingga gangguan tidur.
Fazia mengatakan, gejala-gejala yang mengarah pada gangguan mental bisa dikurangi dengan melakukan rutinitas seperti biasa atau mencari kegiatan baru yang membuat diri tetap aktif dan menyenangkan. Berkebun adalah salah satunya.
“Dengan berkebun seseorang bisa fokus pada fungsi-fungsi kognitif. Saat berinteraksi langsung dengan alam, saraf parasimpatis akan terangsang sehingga menimbulkan efek relaksasi dan perasaan sejahtera. Kita akan lebih cepat mencapai pemulihan dari stres ketika terpapar dengan alam daripada lingkungan perkotaan,” katanya.
Menurut Fazia, ada tiga hal yang membuat seseorang bisa mendulang kebahagiaan melalui kegiatan berkebun, yaitu membuat seseorang bisa merasakan berada di tempat yang berbeda atau being away. Kedua, extent, yakni membuat mereka merasakan keterhubungan dengan dunia yang luas. Ketiga, compatibility, yakni kemampuan dari lingkungan untuk menemukan kebutuhan dan interest dari seseorang.
Fazia mengingatkan, meskipun kondisi saat ini sedang sulit, menjaga agar jiwa tetap sehat merupakan sesuatu yang sangat penting. Salah satunya bisa disiasati dengan tetap beraktivitas secara fisik, karena antara jiwa dan fisik merupakan satu kesatuan dan saling terhubung. Bagi individu yang tinggal di area perkotaan, berkebun merupakan salah satu sarana untuk menghadirkan suasana yang hijau dan asri.

Senada dengan apa yang disampaikan dr Fazia, Psikolog Ajeng Raviando dari Teman Hati Konseling mengatakan, memiliki mental yang sehat sangat penting karena akan menentukan bagaimana seseorang mengatasi stres, membuat pilihan dan mengambil keputusan, serta berinteraksi dengan orang lain. Gangguan mental seperti kecemasan kata dia, tidak hanya terjadi pada orang dewasa. Pada anak-anak juga sangat memungkinkan terjadi. Oleh karena itu, penting sekali mengenali gejala-gejala gangguan mental agar bisa lebih peka pada diri sendiri.
Ia mencontohkan, ketika seseorang terindikasi mengalami stres, tubuh akan menunjukkan gejala-gejala seperti sakit kepala, tegang otot, dan nyeri leher; gangguan pencernaan, sakit perut; detak jantung cepat, nyeri dada; mudah lelah, lesu, sulit tidur; gampang gugup, gelisah, gusar; peningkatan frekuensi masuk angin; kurang konsentrasi dan mudah lupa; serta terlalu banyak makan atau sebaliknya.
Indikasi-indikasi tersebut bisa diatasi dengan langkah-langkah seperti menenangkan diri dan “me time”; tidur cukup dan berkualitas; identifikasi, analisis, dan mengatasi stres; relaksasi; istirahat sejenak; bicara ke orang terdekat atau komunitas; serta olahraga rutin dan mengonsumsi makanan sehat dan bergizi.
“Kalau tingkat stresnya sudah buruk dan menjadi toksik itu berarti harus sudah ke psikolog,” katanya dalam diskusi daring tentang Pentingnya Merawat Kesehatan Mental di Masa Pandemi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen, Kamis, 26 November 2020.
Banjir informasi terkait Covid-19 juga bisa memberi dampak negatif bagi individu yang memiliki ketahanan mental rentan. Dia menyarankan agar pandai memilah-milah informasi yang akan dikonsumsi da disesuaikan disesuaikan dengan kebutuhan pribadi. Memastikan informasi yang diakses berasal dari sumber terpercaya, jelas dan membaca keseluruhan informasinya adalah langkah lain untuk mengurangi dampak negatif.
Terakhir, ia menyarankan sebaiknya fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan tetap berpikir positif, daripada mencemaskan hal-hal di luar kontrol.[]