ACEHTREND.COM,Banda Aceh- Bertempat di sebuah meeting room sempit warung kopi di bilangan Pango, Banda Aceh, belasan orang dari berbagai latar belakang, Kamis (10/12/2020) berkumpul membicarakan tentang sosok ayah yang telah jauh kehilangan fungsi aslinya di dalam keluarga.
Diskusi tersebut dihelat dalam bentuk focus group discussion (FGD) hasil kerjasama the Aceh Institute dan Baitul Mal Provinsi Aceh, serta diberi tajuk :Ayah, Pekerjaan, Ekonomi, Zakat dan Keluarga: Dinamika Tradisi dan Praktik pada masyarakat Aceh.
Pun begitu panjangnya tajuk yang diberi oleh panitia, secara umum diskusi itu membahas tentang kondisi sosial masyarakat Aceh, yang semakin tidak ideal di dalam pola pengasuhan anak. Anak – anak di Serambi Mekkah telah lama kehilangan ayah mereka. Bahkan tidak sedikit yang melihat ayah hanya sebatas ‘pembawa roti’ dan bukan sumber inspirasi.
Direktur Aceh Institute yang membuka FGD tersebut sepintas mengatakan, di dalam Alquran, ada 17 dialog antara ayah dengan anak, yang memberikan indikasi peran ayah sangatlah penting dalam pengasuhan di dalam keluarga. Pun demikian, di komunitas umat Islam di Aceh, peran tersebut justru tidak diambil oleh laki -laki, sehingga anak seluruhnya dibesarkan oleh ibu.
Moderator FGD Riskika Lena Darwin, pada kesempatan itu mengajukan tiga pertanyaan utama sebagai topik yang akan dibahas. Pertama, bagaimana budaya masyarakat muslim di Aceh, apa jenis dimensi konflik yang bakal muncul dari relasi sosial ayah dan anak dalam rumah tangga.Kedua, adakah pengaruh jenis pekerjaan ayah dengan ruang koflik interaksi anak dan ayah. Ketiga, bagaimana ayah menanamkan nilai-nilai etika agama dan sosial dalam ranah anak dan keluarga.
Niken, yang merupakan pengajar ilmu psikologi Universitas Syiah Kuala, yang memberikan pendapat pertama, menyebutkan, selama ini di Aceh anak -anak kehilangan sosok ayah mereka. Hal ini berhubungan erat dengan usia ayah yang rata -rata 45 tahun, yang merupakan generasi hasil penjajahan sehingga mengadopsi gaya militer di dalam rumah tangga.
Ayah sebagai sosok yang keras, tidak bisa dibantah dan harus benar tanpa kecuali. Sehingga bagi anak, ayah adalah sosok yang menakutkan. Pun demikian, di usia dewasa, akan muncul ketidakpuasan yang menyebabkan hadirnya jurang antara keduanya.
“Pola pengasuhan yang menganut sistem militer, menyebabkan anak patuh di rumah, tapi belum tentu juga lurus di luar. Karena apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dari sang ayah hanya menghasilkan ketakutan. Selain itu, ibu yang seharusnya menjadi penetralisir, justru ikut mengamini semua tindakan seorang ayah di rumah sebagai kebenaran yang harus diamini seluruhnya,” kata Niken, sesuai dengan notulensi yang didapatkan oleh aceHTrend.com.
Ia menambahkan, dalam kondisi rumah tangga yang demikian, banyak hal yang didapatkan oleh anak justru hasil belajar dari orang lain, bukan bersumber dari kedua orangtuanya.
Hal menarik lainnya disampaikan oleh Safriadi Ibrahim dari lembaga Home Education Aceh. Ia menyebutkan sejak dulu hubungan ayah dengan anak sangat kurang. Bahkan bila dikaitkan di bidang komunikasi, ayah dan anak selalu diperantarai oleh ibu. “Bila seorang ayah ingin berbicara kepada anak, selalu disampaikan melalui istrinya. Kemudian si istri yang akan menyampaikan kepada anak mereka. Termasuk jajan sekolah, semuanya melalui ibu atau ditaruh di meja,” kata Safriadi.
Pun perilaku demikian telah menjadi hal jamak di masyarakat Aceh, Safriadi sendiri tidak melakukannya. Sebagai suami sekaligus ayah, sejak memiliki anak, dia menghabiskan waktunya untuk bekerja dan keluarga. Termasuk mengikuti pengajian tentang parenting, mengisi waktu kosong bersama keluarga.
“Selama ini lelaki di Aceh mayoritas melihat anak sebagai tanggung jawab istri semata. Suami cukup mencari nafkah saja di luar. Padahal ini sesuatu yang keliru. Anak – anak justru kehilangan sosok ayah di dalam hidup mereka,” kata Safrizal.
Aktivis antikorupsi Aceh yang sekarang berkhidmad di isu penganggaran responsif gender, Abdullah Abdul Mutalleb, memberikan wacana berbeda. Sebagai seorang ayah dia memposisikan diri sebagai ‘mitra’ diskusi terhadap anaknya. Setiap hal yang ingin didapatkan oleh anak, selalu dibawa dalam diskusi hangat. Pola ini sempat diprotes oleh mertuanya.
“Banyak hal positif di masa lalu yang patut diberikan apresiasi. Tapi juga banyak hal yang mestinya kita ubah. Seperti pengistimewaan lelaki yang menurut saya agak berlebihan. Ayah yang hanya sekadar mencari uang di luar tapi tidak boleh lagi bekerja membantu istri di rumah. Ini keliru sehingga tidak menempatkan istri di posisi sebagai pasangan. Padahal di dalam Islam, istri adalah pasangan, bukan bawahan,”kata Abdullah.
Menurut Abdullah, Islam telah mengatur dengan sangat adil perihal tugas dan kewenangan antara suami dan istri. Hanya saja teks -teks ajaran agama, kerap tidak dipraktekkan di dalam kehidupan di Aceh. Antara nash dengan perilaku jauh berbeda.
Riris dari Flower Aceh mengajukan fakta lain. Dari hasil studi lembaganya, masih banyak wanita di Aceh yang belum dapat membedakan antara kodrat dengan tugas serta kewajiban. Sehingga apa yang selama ini harus ditanggung sendirian, dipahami sebagai kodrat.
Di tengah pandemi Covid-19, yang membuat sekolah tidak bisa diselenggarakan secara tatap muka di dalam kelas, kaum ibu mendapatkan beban ganda, menjadi tulang punggung ekonomi karena suami kena PHK, menjadi pengasuh anak di dalam keluarga dan sekaligus menjadi guru. Padahal secara pengetahuan, mereka tidak memiliki kemampuan mendidik anak seperti guru di sekolah.
Sejumlah narasumber lain juga memberikan pendapat yang setali tiga uang. Bahwa selama ini para ayah di Aceh telah jauh dari fungsi yang sesungguhnya. Mereka rata – rata tidak hadir sebagai kepala keluarga yang utuh. Gagal menjadi ayah sekaligus guru bagi anak – anak mereka.
Pola pengasuhan anak di dalam keluarga muslim di Aceh, sudah jauh dari tuntunan agama. “Ada peran yang saat ini alpa diisi ketika anak memasuki usia mumayyiz. Ayah tidak hadir di sana. sehingga kekosongan ini justru menyebabkan anak kehilangan patron sejati. Mereka kehilangan ayahnya yang seharusnya menjadi guru dan tauladan yang kelak akan digugu,” ujar Fakrurazi M. Yunus, akademisi UIN Ar-Raniry. []