Oleh Muhammad Usman, M.Ag*
Dalam situasi pandemi Covid-19, kita masih mampu melakukan berbagai rutinitas kenegaraan. Salah satu kegiatan kenegaraan tersebut adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 di 270 daerah pemilihan, guna memastikan lahirnya pemimpin di 9 provinsi, 225 kabupaten, dan 36 kota.
Hari pemungutan suara pun telah ditetapkan, melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 tahun 2020. Pemungutan suara tepat pada hari Rabu, 9 Desember 2020; bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia. Mungkin Presiden Jokowi memilih tanggal 9 (sembilan) tersebut, agar menjadi ‘peringatan keras’ bahwa Indonesia harus keluar dari berbagai perilaku koruptif.
Pilkada merupakan salah satu mekanisme yang dikenal dalam hukum dalam menentukan kepemimpinan, pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam ajaran Islam, pengangkatan pemimpin merupakan bahasan yang penting. “Pemimpin diharapkan mampu melindungi masyarakat dari ketidakadilan, memutuskan konflik dalam warga, tanpa pemimpin umat manusia dalam keadaan kacau-balau (chaos),” (Al-ahkam as-sulthaniyyah, Imam Al-Mawadi).
Para pihak yang terlibat langsung dalam pilkada tahun 2020 seperti; penyelenggara, partai politik, tim kampanye, media hingga masyarakat pemilih akan memiliki pengalaman dan kenangan tersendiri terhadap hasil, problematika, suka-cita serta hiruk-pikuk yang terjadi dalam pilkada sebab berlangsung di tengah situasi pandemi. Pengalaman para pihak akan menjadi pengetahuan baru di masa mendatang.
Selain itu, penyelenggara di bawah jajaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), yang sedang tidak melaksanakan Pilkada tahun 2020, juga sedang mengambil pengalaman/ pembelajaran berupa; bagaimana proses tahapan di tegah pandemi? Memahami tantangan dan masalah yang timbul serta berbagai hal lainnya. Ini dilakukan sebagai upaya memetik pembelajaran (mauidzah). Jajaran KPU di Aceh juga turut belajar agar pada Pilkada tahun 2020, sebagai media pembelajaran, dan berguna nantinya dalam pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022 (bila tidak bergeser).
Pilkada Aceh?
Seyogyanya memahami seluk-beluk proses dan tahapan di luar Aceh penting sebagai bahan catatan dan pembelajaran bersama, bagi seluruh stakeholder di Aceh. Dalam analisa penulis, setidaknya ada tiga alasan kenapa Pilkada Aceh berpotensi besar tetap dilangsungkan di tahun 2022.
Pertama, adanya regulasi dengan rujukan pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ditambah lagi pendapat pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Aceh, memandang Pilkada Aceh tahun 2022 memiliki landasan hukum yang kuat, hal ini terungkap dalam kegiatan focus group discussion (FGD) bertema ‘Menuju Pilkada Aceh Serentak’ di Hotel Grand Arabia, yang diselenggarakan oleh KIP Aceh, di Banda Aceh, Rabu (18/11/2020).
Pendapat pakar (intelektual/ahli) dan respon OMS Aceh, menjadi aspek pengungkit positif dalam penentuan keputusan terkait Pilkada Aceh; bahkan Pemerintah Pusat bisa menggunakan ini sebagai kaca mata dalam melihat Aceh. “Debat multi tafsir hukum; regulasi politik di Aceh sudah menjadi persoalan klasik, dan terus saja terjadi, maka Aceh selalu unik dikaji dalam isu politik” Taufik Abdullah (Pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh), dalam diskusi warung kopi di Lhoksukon.
Kedua, dinamika RUU Pemilu. Rancangan undang-undang pemilu yang sedang digodok oleh DPR-RI juga masih memberi ruang bagi pilkada di tahun 2022 dan 2023. Sesuai dengan draf versi 14 Juli 2020, disebutkan terkait pilkada hasil pemilihan 2017 berlangsung di tahun 2022 dan Pilkada hasil pemilihan 2018 diselenggarakan pada tahun 2023, (Baca: Pasal 731 ayat 1, 2 dan 3). Seandainya pasal ini tidak terjadi perubahan lagi, berarti keberadaan pasal tersebut akan memperkuat maksud pasal 65 ayat (1) UUPA.
Adapun alasan ketiga, terlihat keseriusan lembaga legislatif di Aceh. Hal ini terbukti dengan penyampaian surat berakhirnya masa jabatan gubernur/wakil Gubernur Aceh periode 2017-2022 pada 5 Juli 2022 mendatang, oleh DPRA kepada KIP Aceh.
Keseriusan yang sama pula, telah ditunjukkan oleh segenap para pimpinan DPR Kabupaten/kota di Aceh, contohnya pimpinan DPRK Aceh Utara telah menyurati KIP Aceh Utara pada 14 September 2020, terkait pemberitauan berakhir masa jabatan bupati yang sekarang menjabat.
Langkah Penyelenggara
Guna menjawab regulasi kekhususan Aceh (UUPA) dan keseriusan DPRA dan seluruh DPRK di Aceh, penyelenggara, KIP Aceh maupun KIP kabupaten/kota telah melakukan penyusunan kebutuhan anggaran, serta mengajukannya kepada pemerintah daerah (Pemda). Kecekatan penyelenggara dalam penyusunan anggaran supaya tidak terjadi kepanikan nantinya; (bek lagee ureung kut pade lam reudok), ungkapan hadih maja (peribahasa) yang melarang kita sebagai bangsa Aceh melakukan sesuatu dalam ketergesa-gesaan. Islam juga melarang manusia melakukan sesuatu dalam keadaan tergesa-gesa, sebab tabiat demikian termasuk kategori akhlak tercela.
Perlu diingat juga, kata wate trôh kapai, barô pula lada, filosofinya penekanan dalam mengerjakan sesuatu harus memiliki perencanaan yang matang. Kematangan persiapan akan memberikan kualitas hasil yang baik pula.
Respon Pemda
Di sisi lain, respon kebijakan pemerintah daerah (Pemda) dalam penyediaan anggaran pilkada di Aceh tidak sama dan beragam. Informasinya, ada Pemda yang berani menganggarkan, ada yang hanya mengalokasikan dalam jumlah terbatas, bahkan ada juga yang tidak mengakomodir sama sekali. Alasan utama yang disampaikan oleh pemerintah daerah adalah, karena belum ada kejelasan regulasi Pilkada Aceh tahun 2022 serta belum ada perintah dari tingkat di atas yang lebih tinggi. Sikap ini seperti kebijakan “mendua hati” dalam merespon UUPA bahkan terkesan anomali.
Padahal diketahui bersama, ada dua unsur yang mesti diperhatikan dalam penganggaran tahapan pilkada, pertama dana harus cukup, kedua anggaran haruslah dapat dicairkan tepat waktu. Selain itu karena sekarang sedang masa pandemi covid-19, postur anggaran perlu mengakomodir situasi pandemi.
Pilkada Aceh berpotensi berhimpitan dengan Covid-19, maka angggaran pilkada nantinya perlu menjawab protokol kesehatan. Pada level Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja, sudah terdapat 12 peralatan protokol kesehatan mulai dari: tempat mencuci tangan, hand sanitizer, sarung tangan plastik untuk pemilih, masker, face shield, tempat sampah, alat pengkur suhu, sarung tangan medis untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), disinfektan lokasi pemilih, Alat Pelindung Diri (APD), tinta tetes, dan ruangan khusus bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celcius (Kompas, 21/11/2020). Ini hanya di level TPS pada hari pemungutan suara, belum lagi kebutuhan protokol kesehatan pada setiap tahapan lainnya.
Guna mengakhiri polemik debat jadwal, diharapkan para pemangku kepentingan untuk segera duduk bersama, guna memastikan payung hukum pilkada Aceh. Apapun keputusan yang diambil, perlu mempertimbangkan sensitifitas kekhususan Aceh sebagai daerah pasca konflik guna menjaga dan merawat perdamaian Aceh.
*)Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com.