Oleh Ahmad Humam Hamid
Tidak dapat disangkal, wabah tidak hanya berurusan dengan individu, atau masyarakat, tetapi juga menentukan perjalanan sejarah. Dampak wabah tidak hanya dalam ruang dan waktu yang terbatas, tetapi juga luas dan lama, dengan jangkauan antar benua, antar abad, dan bahkan milenia. Dalam konteks Romawi, terutama Romawi Timur yang sering disebut dengan Byzantium ada pertanyaan sejarah yang paling mengusik.
Pertanyaan itu sebenarnya lebih cenderung ke arah pendekatan sejarah alernatif yang memulai pertanyaan sejarah bukan dengan what is? tetapi dengan pertanyaan what if? Pertanyaan itu kemudian menjadi unik karena jika dirumuskan menjadi bagaimanakah seandainya Romawi tetap berlanjut? BYzantium berlanjut? dan Sultan Mehmed II dari dinasti Ottoman tidak berhasil menaklukkan Konstantinopel?
Kejatuhan Romawi dimulai dengan bubarnya Romawi Barat pada tahun 476 yang disebabkan oleh berbagai faktor, dimana paling kurang dua pandemi besar-Antoninus dan Cyprian, turut memberi andil tehadap rusaknya sejumlah pilar-pilar penting imperium itu. Romawi kemudian terus berlanjut dengan tampilnya Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel yang terus berjalan satu milenium berikutnya, sampai dengan kemudian bubar pada tahun 1453.
Adalah Timothy Venning, sejarawan Inggris yang menulis buku ”What if Rome hadn’t fallen?” (2019) Yang mengajukan pertanyaan sejarah alternatif itu. Dia tidak mau mengikuti rute sejarah konvensional dengan mencari akar dan dampak dari sejarah. Sebaliknya ia lebih tertarik dengan proposisi bagaimana jika, dalam hal ini bağaimana jika Romawi berlanjut? Apa yang mungkin akan terjadi dengan Eropa? Bagaimana penyebaran agama kristen ?Apa yang akan terjadi dengan benua baru, terutama benua Amerika?
Banyak para sejarawan klasik yang melihat peristiwa lemah,hancur dan hilangnya Romawi Timur pada tahun 1454 dimulai dari sejarah yang paling panjang, yang kemudian mendefinisikan keberadaan kerajaan Byzantium. Kejadian itu kemudian membuat Byzantium yang berada diambang kejayaan kembali dengan keberhasilan merebut kembali sebagian kecil wilayah Romawi Barat yang telah bubar.
Sejarah panjang itu adalah kejadian sebuah sebuah wabah besar yang terjadi di imperium itu pada pertengahan abad ke VI, yang membunuh cukup banyak rakyat dan tentara Romawi tidak terjadi? Wabah kali ini lebih hebat bila dibandingkan dengan dua wabah yang telah pernah melanda Romawi pasa abad kedua- wabah Antoninus dan ketiga Masehi- wabah Cyprian. Ada banyak jawaban yang diberikan. Satu di antaranya menyebutkan bahwa kemungkinan besar di benua Eropa hanya akan ada satu negara, dan negara itu apapun nama dan bentuknya kemudian, tetap bermula atau melanjutkan dari warisan Romawi.
Wabah Justinian,adalah nama pandemi yang dinisbahkan kepada penguasa Romawi Timur Petrus Sabbatus Iustianus (482-565), juga dkenal dengan nama Justinian Agung. Dia memerintah Romawi mulai tahun 527-565 menggantikan kaisar Aclamatio. Wabah itu tiba di Konstantinopel pada tahun 542 setahun setelah masuk ke provinsi baru wilayah Romawi, Mesir.
Pandemi Justinian, adalah jenis penyakit menular yang kemudian menjadi perbincangan tak pernah selesai sampai dengan hari ini, tentang bagaimana sebuh fenomena makhluk kecil mendikte sejarah peradaban, tidak hanya pada suatu wilayah kecil, tetapi juga terhadap sebuah imperium yang berusia sekitar 1.500 tahun. Jawaban terhadap what if Timothy Venning memberikan penelusuaran terhadap sebuah perspektif besar tentang kapasitas pemulihan kekuatan Romawi Timur setelah delapan dekade sebelumnya kehilangan wilayah dan kuasa atas Romawi Barat. Sebenarnya, ketika kedua Romawi masih berada dan berkuasa, praktis seluruh benua Eropa di bawah kuasa imperium itu, ditambah sebagian Afrika Utara, dan sebagian Asia.
Menurut catatan sejarawan Byzantium, Procopious (500-565), sekalipun titik awal penyebaran wabah di Mesir, asal wabah diduga keras dari Cina dan Timur Laut India yang mencapai Afrika via jalan darat perdagangan. Di Mesir tempat mulai terjadi adalah di Pelusium di kawasan bilir tepi timur sungai Nil yang kemudian menyebar ke dua arah, utara ke Alexandria-Iskandariah, dan timur ke Palestina.
Adalah kapal dagang dan kapal pengangkut gandum ke Roma yang membawa wabah itu melalui tikus hitam jenis rattus-rattus. Tidak hanya tikus yang berperan menjadi jaringan migrasi wabah, ketika tikus sudah tiba di satu tempat, lalat juga menjadi penyebar lokal yang cukup dahsyat. Penyakit yang dikenal dengan penyakit pes, yang disebabkan oleh bakteri yersin pestis, menurut sejarahnya pernah mejadi endemi selama berabad-abad sebelum Masehi di kawasan hulu dan sepanjang sungai Gangga di India.
Alexandria kemudian menjadi pusat penyebaran wabah itu ke seluruh kawasan laut Mediterania, dan kemudian menyebar ke Eropa. Penyakit itu datang dibawa oleh tikus yang terbawa bersama kiriman upeti gandum dari Mesir yang baru saja dikalahkan oleh Romawi. Wabah ini terus menerus terjadi, berulang-ulang menyebar di Afrika Utara, Eropa Timur dan Selatan selama 225 tahun, dan baru berakhir pada tahun 755 Masehi.
Menurut catatan yang ada, wabah ini membunuh cukup banyak manusia, dengan claim yang berbeda, 25 juta, 50, juta, dan bahkan 100 juta. Anehnya, berapapun kali yang diajukan, hampir semuanya menyebutkan dua hal. Pertama, jumlah korban terbesar ada di benua Eropa, dan yang kedua berapapun jumlah yang mati, semua sepakat bahwa jumlah kematian itu adalah setengah dari jumlah penduduk bumi pada masa itu. Di kota Konstantinopel sendiri, kematian perhari pada saat saat puncak mencapai jumlah 5.000 orang.
Pada saat-saat serangan wabah Justinian itu, sesungguhnya sang kaisar sendiri sedang merevitalisasi dan merestorasi imperium Romawi Timur untuk mengambil kembali cukup banyak yang telah lepas, setelah kembarannya Romawi Barat bubar dan kehilangan sebagain besar wilayah Eropa, khususnya di bagian barat dan utara.
Kali ini sejarah keparahan akibat pandemi Antoninus dan Cyprian kembali mengguncangkan Romawi Timur, bahkan lebih dasyhat dari sebelumnya. Pasukan Romawi Timur mengalami pukulan yang sangat mendadak, baik karena banyaknya yang meninggal, ataupun susahnya mendapat taruna baru, karena kematian massal yang tinggi dan merata. Romawi Timur yang mengandalkan gandum dari Afrika Utara, Iberia-Spanyol, Sicylia, dan Mesir secara umum juga mengalami ancaman dan pengalaman kekurangan pangan. Keuangan negara menjadi goncang, dan program besar Kaisar Justinian untuk mengembalikan kebesaran Roma seperti yang pernah ada pada awal Masehi, terutama pada masa 5 kaisar terbaik Romawi menjadi sirna.
Mimpi besar Kaisar Justinian untuk mengembalikan kejayaan Romawi dengan pusat Konstatinopel kini berhadapan dengan sang wabah. Kemenangan awal yang didapatkan dari penaklukan kembali sebagian kawasan Italia yang telah lepas ketika tenggelamnya Romawi Barat seharusnya menjadi tonikum baru untuk merebut semua wilayah yang telah hilang. Tetapi kemenangan itu kini menjadi jelaga, karena Romawi Timur menghadapi perang besar melawan balatentara yersin pestis yang sangat sistematis menggerus kebesaran Romawi, melalui dimensi biologi kesehatan, ekonomi, sosial politik. Dan itu membuat Romawi Timur tak berdaya.
Konsolidasi, revitalisasi, dan restorasi Justinian yang begitu hebat pada awalnya kini dikalahkan oleh wabah Justinian. Romawi timur telah masuk dalam keranda kematian, dan tak pernah mampu lagi bangkit untuk kembali jaya seperti yang petnah dicapai pada masa sebelumnya. Hampir semua wilayah Eropa lepas, dan benua itu memasuki zaman kegelapan yang butuh waktu sekitar 1.000 tahun. Byzantium sendiri mengalami dinamika yang hebat, dan usianya setelah wabah Justinian juga mencapai 1.000 tahun dalam keadaan bertahan, tanpa banyak kemajuan dan perluasan, dan bahkan mulai terdesak dengan datangnya agama baru, Islam dari jazirah Arab. Dan akhirnya paku terakhir kerandą kematian Romawi Timur dipalu oleh penguasa dari Dinasti Ottoman Turki, Sultan Mehmed II yang mengalahkan raja Konstantinus XI dan merebut Konstantinopel pada tahun 1453 Masehi.
Penulis adalah Guru Besar Unsyiah.